PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyuluhan
ialah suatu istilah yang secara baku
telah digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan pendidikan non-formal yang semula hanya ditujukan
kepada petani ataupun peternak yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di
sektor produksi pertanian. Maunder
(1972) mengartikan penyuluhan (dari istilah extension) sebagai suatu layanan atau sistem yang membantu petani, melalui prosedur-prosedur pendidikan praktis,
mengembangkan metode-metode dan teknik-teknik baru pertanian untuk meningkatkan
efisiensi produksi dan pendapatan serta memperoleh tingkat hidup yang lebih
tinggi bagi diri dan keluarga mereka.
Penyuluhan sebagai pendidikan non-formal, setelah revolusi hijau kurang menghasilkan
kesejahteraan bagi petani kecil. Struktur
komunikasi yang dikembangkan cenderung diganti dari model-model yang mengikuti
struktur komunikasi “guru-murid”/top down,
berkembang ke arah pola komunikasi dyadic
dan menjadi struktur komunikasi “petani sebagai partner.” Artinya, kegiatan
penyuluhan berkembang menjadi “saling
belajar” dan karena itu fungsi penyuluh lebih difokuskan pada fasilitator.
Dalam hal ini, penyuluh berfungsi sebagai fasilitator bagi
masyarakat yang perlu mengalami proses belajar memperbaiki dirinya sendiri
(Slamet, 1992). Dengan pendidikan non-formal
atau penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Masyarakat di sini
hendaknya jangan dijadikan sebagai obyek pembangunan saja, melainkan harus
dilibatkan sebagai subyek pembangunan yang perlu mengalami suatu proses belajar
untuk mengetahui adanya kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya,
memiliki kemampuan
dan keterampilan untuk memanfaatkan kesempatan itu, serta mau bertindak
memanfaatkan kesempatan memperbaiki
kehidupannya. Asngari (2001) menyebutkan hal ini sebagai upaya empowerment, yakni memberdayakan SDM-klien
sebagai subyek penyuluhan yang aktif mendinamiskan diri dan sebagai aktor yang
berupaya untuk lebih berdaya diri dan mampu berprestasi prima. Untuk itu
prakarsa dari masyarakat petani harus dirangsang, demikian juga pembangunan
kelembagaannya harus diarahkan dan diawasi cara mereka berkinerja dan melakukan fungsi-fungsinya dengan efektif
dan efisien (Tjondronegoro, 1998).
Malah, kini penyuluh di beberapa kegiatan pemberdayaan
masyarakat petani (community development) dan penyuluhan capacity building (penguatan kapasitas kelembagaan) berubah fungsi
sesuai dengan perkembangan SDM-klien. Peran penyuluh dalam hal ini menjadi konsultan, dengan sasaran meningkatkan kelembagaan
masyarakat petani maupun kapasitas SDM-klien, dimana petani diharapkan aktif
mencari, mendapatkan atau meminta advis atau layanan akan informasi yang dibutuhkan dan aktif
mendatangi penyuluh atau mengontak sumber informasi.
Kegiatan penyuluhan
sapi potong pun diduga mengalami perubahan struktur komunikasi. Pola komunikasi
bukan lagi berupa penyuluhan “tetesan minyak”/ SSBM (swasembada bahan makanan)
berpola“guru-murid”/top down atau
mengandalkan penyuluhan sistem LAKU (latihan dan kunjungan) yang berpola dyadic memadukan kepentingan top
down dan bottom up dengan
pendekatan komunikasi interpersonal maupun kelompok. Penyuluhan di sini harus
lebih menekankan pada capacity building
kepada masyarakat.
Untuk mempercepat kesiapan masyarakat (petani/peternak)
memasuki era pasar bebas dan globalisasi di bidang ekonomi, maka pembangunan
pertanian, termasuk usahaternak sapi potong secara bertahap telah melakukan
transformasi rekayasa sistem agribisnis. Transformasi rekayasa sistem
agribisnis di sini adalah upaya membuat perubahan (bentuk, rupa, sifat dan
sebagainya) rancangan perlakuan sistem agribisnis ke arah ideal ditinjau secara
ekonomis dan sosial-budaya. Transformasi
rekayasa sistem agribisnis tersebut bertujuan untuk memicu percepatan kesiapan
fisik maupun mental masyarakat petani-peternak dalam menghadapi pasar bebas dan
era globalisasi di bidang ekonomi.
Banyak ilmuwan sosial melihat istilah “rekayasa” terlalu mekanistik,
sehingga lebih melihatnya sebagai proses yang lebih lambat atau bertahap disebut
“akulturasi” atau “sosialisasi.”
Perubahan
rancangan perlakuan pada sistem agribisnis, berarti proses perubahan berencana
dalam pembangunan peternakan sapi potong berwawasan agribisnis.
Di sini penyuluhan ikut memegang peranan penting. Untuk itu perlu dipikirkan strategi
penyuluhan pembangunan peternakan sapi potong yang bagaimana, yang dapat
dijadikan sebagai salah satu upaya menswadayakan petani-peternak, sehingga
lebih berdaya diri dan mampu berprestasi prima.
Dalam upaya ini, kegiatan aspek transformasi rekayasa tersebut lebih
difokuskan sebagai suatu strategi
penyuluhan agribisnis sapi potong. Transformasi rekayasa dalam pengertian
tersebut meliputi upaya rekayasa sosial budaya, ekonomi, politik dan
teknologi. Hal ini perlu
dipertimbangkan, karena ia merupakan langkah awal pembenahan upaya pembangunan
menuju masyarakat (petani/peternak) berkualitas dan partisipatif.
Strategi
sebagai desain operasional yang digunakan oleh pemerintah untuk
mengimplementasikan kebijakan penyuluhan pertanian dan peternakan pada PJP I
(Pembangunan Jangka Panjang tahap Pertama), lebih kepada alasan kepentingan
percepatan pembangunan karena lebih banyak diorientasikan kepada strategi alih
teknologi (technology delivery strategy) daripada strategi pembangunan perdesaan
(rural development strategy), yang berorientasi penguatan kapasitas kelembagaan
dan pemandirian individu khalayak sasaran penyuluhan. Kenyataan, sampai sekarang kebijakan
penyuluhan masih bersifat “technology delivery system,” hanya teknologinya yang diubah.
Sejak awal
repelita VI, genderang pembangunan peternakan berorientasi agribisnis sebenarnya
telah dikumandangkan dan kini setelah lebih dari lima tahun implementasi sistem agribisnis
dalam pembangunan peternakan ini dilakukan, diharapkan reorientasi strategi
penyuluhan pun sudah dilaksanakan. Yakni dari penyuluhan peternakan ke penyuluhan agribisnis yang paling tidak
meliputi: (1) penyuluhan teknik budidaya sudah berubah ke total agribisnis, (2)
penyuluhan teknologi ke arah bisnis, (3) penanganan sentralisasi ke desentralisasi dan (4) sasaran
penyuluhan hanya petani-peternak (aspek on-farm/di
tingkat infrastruktur) diperluas ke berbagai jenis sasaran strategis lainnya
(aspek off-farm/di tingkat
suprastruktur).
Melihat
sasaran strategis penyuluhan yang semakin variatif, maka media penyuluhan
seharusnya tidak hanya berorientasi pemanfaatan saluran komunikasi
interpersonal, tetapi juga mulai intensif menggunakan saluran media massa dan memfungsikan
forum-forum media (farm forum) yang ada di sistem petani (user). Hal ini
terjadi, karena tidak terlepas dari globalisasi informasi yang merupakan
tantangan dan peluang untuk lebih mengefektifkan dan memaksimalkan fungsi
berbagai media penyuluhan (saluran komunikasi).
Diharapkan masyarakat sudah berubah pola komunikasinya. Dimana peternak sudah mampu menyerap dan
menerapkan informasi untuk meningkatkan usahaternaknya, sehingga mendapat
keuntungan yang lebih besar. Kemampuan komunikasi peternak atau masyarakat
perdesaan diharapkan sudah menjadi lebih baik, termasuk telah ada dialog antara
sesama mereka atau antara peternak dengan pemimpin mereka, dan dengan para
penyuluh/agen pembaruan atau dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini telah
terjadi peningkatan kebebasan atau terdedah informasi (selective exposure) dan
transparansi informasi.
Bukti
empiris lain menunjukkan bahwa aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi
relatif tersedia di petani, seperti hampir setiap petani di hampir seluruh
wilayah perdesaan memiliki pesawat radio terutama transistor kecil (van den Ban
dan Hawkins, 1999); dan stasiun pemancar radio, terutama swasta dan radio-radio
lokal juga semakin banyak. Pemanfaatan
radio bagi komunikasi pertanian di Indonesia sudah dilakukan
sejak tahun 1969 hingga kini oleh RRI
(Radio Republik Indonesia) melalui “siaran pertanian/siaran perdesaan.” Setiap desa/kelurahan di era orde baru pada
tahun 80an difasilitas pesawat televisi dan dipancarkan siaran program
perdesaan/pembangunan pertanian dua kali setiap minggunya melalui TVRI. Kini Indonesia telah memiliki cakupan tv
yang lebih baik, sudah meningkat stasiun siaran dan jumlah stasiun penerima,
termasuk bermunculannya puluhan televisi swasta (nasional dan lokal) yang turut
menyemarakkan penyampaian pesan pembangunan dengan porsi beragam dan minim. Di
Indonesia proporsi penduduk desa yang menonton televisi sekitar 64,77 persen
(BPS, 1994). Proporsi ini terus meningkat, karena kesejahteraan masyarakat yang
kian membaik telah merangsang mereka membeli pesawat tv, di samping program
penyebaran tv ke perdesaan yang dilancarkan pemerintah (Jahi, 1993). Dengan
kemajuan teknologi informasi dan adanya teknologi satelit memungkinkan
masyarakat menyaksikan siaran melintas antar stasiun tv negara-negara di dunia
(Rusadi, 1991), bahkan masyarakat perdesaan yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga, malah terjadi intervensi (terdedah) siaran televisi asing
dengan mudah (Harmoko, 1992 dan Rusadi, 1991).
Aksesibilitas radio dan televisi tersebut, serta adanya kebijakan koran
masuk desa (KMD) tentunya memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh informasi
sesuai kebutuhan yang didasarkan pengalaman petani dan/atau hasil temuan
penelitian.
Adanya
globalisasi informasi, kebebasan dan transparansi informasi, serta
berkembangnya komunikasi antar petani dalam mengadopsi teknologi dan informasi
pembangunan sesuai dengan kebutuhan, maka perlu pembenahan pola komunikasi
dalam penyuluhan agar partisipasi petani dapat semakin ditingkatkan. Dengan kemampuan peternak menggunakan
pengetahuan dan keterampilan dalam mencari, mendapatkan atau menerima, mengolah
dan memanfaatkan peluang membangun, menyerap serta menerapkan informasi
peternakan yang tepat dan relevan, diharapkan akan berpengaruh positif terhadap
tingkat produktivitas.
Berdasarkan hal di atas, masalah utama penelitian ini untuk melihat (1) sejauhmana telah terjadi
perubahan perilaku komunikasi peternak, baik dalam penggunaan media massa (media
exposure) maupun dalam pemanfaatan saluran media interpersonal; (2) sebagai
akibat dari keterbukaan informasi maka partisipasi peternak dalam gerakan
pembangunan juga diharapkan meningkat; dan (3) aktivitas “self supporting” menggalang kerja membangun dalam dirinya juga meningkat melalui jaringan komunikasi sapi
potong; dan (4) komunikasi sebagai gejala sosial dipengaruhi oleh dua faktor
yang dominan, yakni faktor struktural dan kultural. Salah satu faktor
struktural ialah pelapisan sosial yang terbentuk atas karakteristik personal
turut mempengaruhi perilaku komunikasi, baik dalam hal selective exposure atau keterdedahan (terpaan atau pajanan)
terhadap media massa
maupun jaringan komunikasi yang terjadi. Kalaupun hambatan struktural dapat di atasi
maka kultur (kebudayaan) dapat pula menjadi penghalang proses komunikasi
yang berakibat tidak mau menerima informasi yang terdedah
terhadap dirinya. Dengan demikian upaya mendiseminasikan informasi di kalangan
masyarakat tidak dapat dilakukan dengan mudah apabila kedua faktor tersebut
tidak dapat di atasi. Oleh karena itu, faktor-faktor personal peternak yang
dilibatkan dalam penelitian ini penting juga untuk dikaji.
Fenomena
sudah terjadi perubahan penggunaan saluran komunikasi yang variatif di kalangan
peternak ini, perkuat pula oleh pendapat Slamet (1995) yang menyebutkan bahwa
masyarakat petani telah berubah secara nyata, yakni lebih baik tingkat
pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan keteram-pilannya telah
jauh lebih baik, telah mampu berkomunikasi secara impersonal. Di samping, telah terjadi perubahan
karakteristik personal peternak sebagai akibat pembangunan pertanian itu
sendiri, dimana sudah terbentuk berbagai strata ko-mersial pada diri petani
(Jarmie, 1994; Slamet, 1999). Penelitian Sumardjo (1999) malah menyebutkan
bahwa beberapa petani telah mengarah pada terbentuknya petani mandiri. Petani komersial dan mandiri ini membuat
jejaring komunikasi sendiri, mencari dan memanfaatkan informasi penyuluhan
sesuai kebutuhan.
Masalah Penelitian
Sejak awal dilaksanakan kegiatan
penyuluhan pertanian periode 1945-1959 yang berupa kegiatan mendidik masyarakat
desa dengan sistem penyuluhan pertanian tetesan minyak. Kemudian, periode 1959-1963 menjadi gerakan massa SSBM (swasembada bahan makanan). Sekitar tahun 1964 tetesan minyak diganti
dengan metode penyuluhan “tumpahan air,” yang ditandai dengan kampanye
besar-besaran di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Dampak negatif
penyuluhan sistem komando ini adalah para petani menjauhi penyuluh. Periode 1963-1993 dikenal dengan gerakan
swasembada beras karena penyuluhan pertanian diintegrasikan dengan gerakan
Bimas/Inmas untuk swasembada pangan melalui sistem LAKU (latihan dan kunjungan)
dan sukses swasembada berasnya dicapai tahun 1984. Menyusul
periode 1993-Sekarang, yang ditandai adanya perubahan orientasi pendekatan
komoditas ke pendekatan agribisnis dan otonomi daerah. Dimana di tahun 1993 urusan penyuluhan
pertanian diserahkan kepada pemerintah daerah yang menyebabkan dinamika
penyuluhan pertanian menurun drastis. Di tahun 1998 diluncurkan program Gema
Palagung 2001, Gema Protekan 2003 dan Gema Proteina 2003, ini pun menuai
masalah. Memang, peningkatan produksi berhasil tetapi meninggalkan masalah
utang macet, dan prinsip penyuluhan dirusak dengan pemberian insentif kepada
penyuluh.
Terlihat bahwa penyuluhan
hingga saat ini, intinya hanya
untuk alih teknologi dan mengejar peningkatan produksi. Sedangkan kegiatan penyuluhan pertanian untuk
meningkatkan kapasitas manusia (SDM)nya belum dilakukan. Padahal, di kalangan petani telah banyak
terjadi perubahan seperti tingkat pengetahuan dan pendidikan yang semakin baik,
tingkat pendapatan yang meningkat,
semakin tersedianya aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi, sehingga
petani mencari dari sumber lain akan kebutuhan yang mereka perlukan. Fenomena ini dikuatkan oleh hasil penelitian
Puspadi (2002) yang menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan pemenuhan
kebutuhan informasi dan perilaku usahatani yang semakin komersial, dimana
akibat relatif tingginya tingkat pendidikan para petani, perubahan cara belajar
petani, makin tingginya kapasitas inovasi dan informasi para petani, bangkitnya
kesadaran petani atas hak-haknya, perubahan referensi petani, munculnya
gejala-gejala relativitas nilai di
perdesaan, makin tingginya otoritas petani dalam pengambilan keputusan,
menuntut perubahan peran, sistem
dan paradigma penyuluhan
pertanian.
Kalau
penelitian Puspadi (2002) melihat pada perubahan pemenuhan kebutuhan informasi,
maka studi ini lebih melihat (pada) perubahan penggunaan saluran komunikasi dan
menentukan pola komunikasi yang paling efektif dalam penyuluhan serta
mengungkapkan distorsi informasi penyuluhan teknologi sapi potong di sistem user.
Seperti telah disebutkan di atas, telaah komunikasi dalam
penelitian ini adalah telaah yang berkaitan dengan pembangunan. Komunikasi
pembangunan yang dilakukan di Indonesia,
seperti halnya di banyak negara berkembang sebenarnya bukan komunikasi
pembangunan yang diungkapkan Schramm dan Lerner (1976) dari studi penelitiannya
di Desa Balgat, Turki, yakni komunikasi
sebagai unsur penting dalam proses pembangunan yang dengan komunikasi diharapkan
mampu mengubah sikap, pikiran serta kepribadian tradisional menjadi modern.
Selain itu, komunikasi bukan merupakan alat untuk diseminasi, tetapi menjadi
alat bagi peternak sendiri untuk menentukan saluran komunikasi yang akan
digunakannya dan informasi yang akan diambil. Sehingga, seperti halnya program
pengembangan sapi potong di desa-desa yang umumnya dilaksanakan dalam situasi
dan keadaan mikro berbentuk kampanye dan kaji tindak yang segera akan diakhiri
bila proyek pembangunan telah selesai dilaksanakan (Jayaweera, 1989), tak akan
terjadi. Inilah yang mendasari perlunya
komunikasi penunjang pembangunan (KPP). Pendekatan
ini bertentangan dengan kondisi pembangunan selama ini. Melaksanakan KPP pada
dasarnya tidak mengubah paradigma pemba-ngunan itu sendiri. Kegagalan
komunikasi dalam pembangunan di Indonesia
lebih merupakan kegagalan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu paradigma
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan fisik. Oleh karena itu,
kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia merupakan kegagalan
komunikasi linear, maka studi-studi komunikasi hendaknya mengacu pada model
komunikasi konvergensi yang memandang proses komunikasi bukan secara sepihak
dari komunikator kepada penerima (user), melainkan suatu proses berbagi
informasi tanpa menunjukkan superioritas salah satu unsur yang terlibat dalam
proses komunikasi. Salah satu penelitian yang mengacu pada model komunikasi konvergensi tersebut adalah studi mengenai
jaringan komunikasi interpersonal yang menggunakan metode analisis jaringan (Rogers, 1995).
Keuntungan menggunakan metode ini yang menggunakan
hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisis dibandingkan dengan
metode yang menggunakan individu sebagai unit analisis (survei) ialah dapat
dihimpitkannya struktur sosial yang diambil dari pengkategorian karakteristik
personal pada arus komunikasi. Hal ini memungkinkan kita memahami hubungan
antara struktur sosial dengan arus pesan. Pemahaman ini sangat berguna sebagai
masukan untuk perumusan strategi komunikasi pembangunan, yang sering diabaikan
oleh para ekonom yang merancang pembangunan. Telaah komunikasi yang berkaitan
dengan pembangunan perlu dilakukan, terlebih pada usaha-usaha pemerataan
kesempatan menikmati hasil-hasil pembangunan
yang menuju sasaran berupa peningkatan pendapatan warga masyarakat,
peternak yang hidup di perdesaan. Untuk
itu fokus penelitian ini adalah usaha pemahaman hubungan antara karakteristik
personal, terpaan atau keterdedahan arus informasi (selective exposure),
keterlibatan peran komunikasi peternak sapi potong dalam jaringan komunikasi
dan distorsi informasi. Konsep distorsi
yang dimaksud di sini adalah ketimpangan tingkat informasi antar anggota jaringan
komunikasi.
Dari latar belakang dan uraian di atas, maka dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian utama, yakni “Apakah perilaku komunikasi peternak
dalam penyuluhan sudah tidak sepenuhnya mengandalkan komunikasi interpersonal?”
Dari pertanyaan utama tersebut dan
melihat kondisi profil peternak yang sudah lebih baik (terutama pendidikan dan
strata komersial/ kelas ekonomi), menimbulkan kecenderungan berperilaku
komunikasi yang tidak hanya interpersonal melainkan juga berkomunikasi impersonal sebagai alternatif pola-pola
terdahulu (tetesan minyak/SSBM, LAKU, US.Extension
seperti sekolah lapangan atau kursus maupun pelatihan). Untuk itu, empat pertanyaan penelitian yang lebih
operasional berikut ini coba dirumuskan sebagai masalah penelitian, yaitu:
1.
Bagaimana perilaku
komunikasi peternak dalam mendapatkan informasi?
2.
Apa saja peran-peran
komunikasi yang dilakukan peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong?
3.
Sejauhmana hubungan karakteristik
personal (tingkat pendidikan, kelas ekonomi, kepemilikan media massa) dengan keterdedahan media massa dan perilaku
komunikasi interpersonal; keeratan hubungan karakteristik personal,
keterdedahan media massa
dan perilaku komunikasi interpersonal dengan peran-peran komunikasi peternak
dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan keterkaitan hubungan peran komunikasi
peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi informasi?
4.
Bagaimana pola
jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bermaksud untuk menelusuri dan menganalisis perubahan proses komunikasi
penyampaian informasi penyuluhan pembangunan kepada masyarakat, berupa program
pengembangan sapi potong. Secara spesifik, tujuan-tujuan yang ingin dicapai
dengan studi ini adalah untuk:
1.
Melihat perilaku
komunikasi peternak dalam mendapatkan
informasi.
2.
Mengidentifikasi tingkat
partisipasi peternak dilihat dari peran-peran komunikasi dalam jaringan
komunikasi sapi potong.
3.
Menganalisis hubungan karakteristik personal dengan
keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal; hubungan karakteristik
personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal dengan
peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan
hubungan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan
distorsi pesan.
4.
Mengetahui pola
jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong.
5.
Mendesain strategi/model komunikasi penyuluhan.
Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1. Sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan komunikasi dan pembangunan perdesaan, bagi praktisi bidang komunikasi, penyuluhan, penerangan dan sebagainya, mengenai kemungkinan efektivitas jaringan komunikasi dapat digunakan sebagai saluran komunikasi untuk menyampaikan informasi pembangunan. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan dalam memperbaiki kebijakan komunikasi penyuluhan yang sekarang masih berlaku.
2. Bagi disiplin ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan hasil
penelitian ini dapat membuka jalan bagi pengembangan ilmu di bidang pembangunan
masyarakat dan bidang komunikasi pembangunan pada umumnya dan ilmu penyuluhan
pembangunan pertanian bagi masyarakat perdesaan pada khususnya, dengan
memperhatikan beragam permasalahan yang terdapat di perdesaan. Selain itu, hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian-penelitian berikutnya
terutama dalam menelaah pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan bagi
masyarakat perdesaan.
3. Penelitian ini juga diharapkan untuk dapat menggugah
kesadaran pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang kegiatan sosial, seperti
lembaga swadaya masyarakat (LSM), akan pentingnya penelitian-penelitian
komunikasi manakala khalayak sasaran kegiatannya adalah warga masyarakat.
DEFINISI ISTILAH
Karakteristik personal adalah suatu ciri atau sifat seseorang yang bersumber dari unsur keturunan dan kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan.
1. Karakteristik personal responden terpilih yang dikaji mencakup:
a. Pendidikan formal adalah pendidikan
tertinggi yang telah dicapai atau ditamatkan melalui jenjang sekolah oleh
responden pada saat penelitian dilakukan, diukur berdasarkan skala nominal,
yang dikategorikan menjadi Tidak Tamat/Tidak Lulus SD, Tamat SD dan Tamat
Sekolah Lanjutan (SMP/SMA).
b.
Kelas ekonomi, adalah status/kedudukan seseorang di
masyarakat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya, diukur dengan skala
rasio berdasarkan nilai rupiah kepemilikan barang atau hewan/ternak, seperti:
rumah, tanah, lampu teplok, petromak, mobil (pick up), sepeda motor, sepeda,
mesin jahit, kulkas, jam tangan, radio, tape
recorder, televisi, telepon/Hp, sapi/kerbau dan kambing/domba, modal usaha,
tabungan atau deposito yang dimiliki saat penelitian dilakukan. Kemudian
dikelompok-kan menjadi tiga kategori, yakni rendah (< Rp. 55 juta), sedang
(Rp. 55-110 juta) dan kategori tinggi (di atas Rp. 110 juta).
c.
Kepemilikan media massa,
adalah macam media massa
(radio, televisi, suratkabar, majalah, bulletin,
telepon, Hp, poster/pamlet, booklet, leaflet, brosur, folders) yang dipunyai saat penelitian dilakukan, diukur dengan
skala nominal dan dikelompokkan menjadi
empat kategori, yakni sama sekali tidak memiliki media massa, punya satu, punya dua dan punya lebih
dari dua media massa.
2. Perilaku komunikasi interpersonal informal, ialah aktivitas komunikasi interpersonal yang
digunakan responden dalam berinteraksi dengan orang-orang di dalam dan di luar
sistem sosialnya, diukur dengan skala
rasio berdasarkan intensitas/frekuensi kontak atau komunikasi tatap muka
responden peternak dengan pembina, penyuluh, pejabat dinas peternakan dan
pejabat terkait lainnya, pedagang, pemodal dan pendamping, atau dengan sesama
peternak, maupun dengan kontak tani di luar pertemuan kelompok atau
kursus/pelatihan selama sebulan terakhir saat penelitian ini dilaksanakan. Perilaku komunikasi interpersonal informal ini
dilihat berdasarkan perilaku responden peternak sapi potong dalam (a) menerima,
(b) mencari, (c) mengklarifikasi atau mendiskusikan
dan (d) menyebarkan informasi.
3. Keterdedahan media massa (mass media exposure) yang dikaji
mencakup :
a.
Keterdedahan pada siaran radio, adalah aktivitas
peternak mendengarkan siaran radio dalam berbagai acara, yang diukur dengan
skala rasio berdasarkan frekuensi mendengarkan siaran radio dalam seminggu
terakhir saat penelitian dilakukan.
b.
Keterdedahan pada tayangan televisi, adalah aktivitas
peternak menonton tayangan televisi dalam berbagai acara, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi
menonton tayangan televisi dalam seminggu terakhir saat penelitian
dilakukan. Juga diukur acara apa yang
ditonton berdasarkan skala nominal.
c.
Keterdedahan pada suratkabar, ialah aktivitas peternak
membaca berbagai media suratkabar (lokal) baik tentang sapi potong maupun
masalah umum, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi membaca
dalam satu minggu terakhir saat penelitian dilakukan.
4. Jaringan komunikasi responden yang dikaji
dalam penelitian ini diukur dengan mengajukan pertanyaan sosiometris (kepada siapa peternak tersebut bertanya, dan dijadikan
tempat bertanya oleh anggota kelompok atau peternak lain tentang informasi sapi
potong). Kemudian diukur peran
komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong
tersebut, yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:
a. neglectee, adalah pemeran komunikasi yang
pernah membicarakan pesan penyuluhan sapi potong, tetapi tidak pernah diajak
bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh peternak anggota kelompok lain.
b. mutual pairs, adalah pemeran komunikasi
yang bersifat pilihan timbal balik (dyadic) dan hubungan mutual atau saling
memilih sebagai tempat bertanya informasi sapi potong.
c. star, adalah pemeran komunikasi yang
menjadikan diri peternak tersebut sebagai tempat bertanya dan merupakan pemusatan jalur komunikasi dari
beberapa anggota jaringan dalam klik.
4. Distorsi pesan ialah tingkat
informasi yang dimiliki responden, dikumpulkan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui salah benarnya informasi yang dimiliki
yang berhubungan dengan berusahaternak sapi potong, dengan menggunakan skala
rasio.
Data mengenai tingkat informasi ini dikumpulkan melalui butir-butir
pertanyaan yang telah diujicobakan berdasarkan pemenuhan persyaratan koefisien
reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas
Guttman (Kerlinger, 1986; Nawawi dan Hadari, 1995; Siegel, 1997;
Singarimbun dan Effendi, 1995). Secara garis besar butir-butir pertanyaan yang
diajukan meliputi pengertian dan cara berbisnis sapi potong seperti aspek (a)
bibit dan permodalan, (b) pakan konsentrat dan hijauan makanan ternak, (c)
perkandangan/peralatan peternakan, (d) pemeliharaan dan manajemen, (e) kesehatan
ternak dan obat-obatan, (f) reproduksi dan perkembangbiakan: kawin alam atau
IB, (g) pemasaran (h) pascausaha atau pascapanen dan pemanfaatan limbah serta
(i) kemitraan.
5. Pemuka pendapat, adalah tokoh
masyarakat tempat orang-orang bertanya yang diambil dari kategori peran unisolate anggota kelompok peternak,
dalam hal ini berupa star atau
memiliki struktur komunikasi integration
dalam jaringan komunikasi tersebut.
Diukur berdasarkan skala nominal, dengan dua kategori, yakni pemimpin polimorfik apabila pemuka
pendapat tersebut merupakan sumber informasi lebih dari satu jenis informasi
dan pemimpin monomorfik, bila
sebagai tempat bertanya hanya satu jenis informasi.
6. Pergeseran tingkat pemanfaatan media massa ialah perubahan
yang diindikasikan oleh perbedaan penggunaan media komunikasi massa (radio, televisi dan suratkabar) oleh
peternak maju dibandingkan dengan yang kurang maju untuk mendapatkan informasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi dan Masyarakat
Komunikasi pada hakekatnya adalah
proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan (Berlo, 1960).
Konsep komunikasi ini berasal dari bahasa latin, yaitu communicare yang secara harfiah berarti berpartisipasi atau
memberitahukan; bisa juga berasal dari kata communis
yang berarti milik bersama (kebersamaan).
Komunikasi dianggap sebagai suatu proses berbagi informasi untuk mencapai
saling pengertian atau kebersamaan (Rogers, 1986; Kincaid dan Schramm, 1987). Hybels dan Weaver II (1998) menambahkan bahwa
komunikasi itu bukan saja proses orang-orang berbagi informasi, melainkan juga ide
(gagasan) dan perasaan. Selanjutnya Rogers mengemukakan bahwa komunikasi adalah
suatu proses dimana para partisipan saling mengembangkan dan membagi informasi
antara satu dengan lainnya untuk mencapai suatu pemahaman bersama (Rogers, 1995). Di sini
tersirat pengertian bahwa antara satu partisipan dengan partisipan lainnya
masing-masing menyadari kekurangannya atas informasi-informasi yang lengkap
mengenai suatu isu. Karena itu penting untuk mengkomunikasikan
pengetahuan-pengetahuan antara satu dengan yang lain untuk membangun suatu
pemahaman bersama yang sempurna.
Effendy (2001)
menambahkan bahwa komunikasi di sini merupakan proses penyampaian pikiran atau
perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa
berupa gagasan, informasi, opini dan lain sebagainya yang muncul dari benaknya.
Sedang perasaan bisa merupakan keyakinan,
kepastian, keragu-raguan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang
atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise),
terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan
untuk melakukan umpan balik (Devito, 1997).
Baik
Miller (1986), Hovland (Effendy, 2000) maupun Mulyana dan Rakhmat (2001) melihat
komunikasi sebagai proses mengubah perilaku seseorang. Dimana kegiatan
komunikasi tersebut berupa proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui saluran tertentu dengan efek tertentu (Effendy, 2000; Laswell,
1976). Hal ini sejalan dengan pemikiran
Slamet (2003) yang melihat kegiatan komunikasi pembangunan (development
communication) sebagai aktivitas
penyuluhan pertanian (agricultural extension atau extension education), karena
pada dasarnya tiga istilah itu semua
mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Di sini beliau menyatakan bahwa tujuan
penyuluhan pertanian yang sebenarnya adalah perubahan perilaku kelompok sasaran
(Slamet, 1978). Mardikanto (1993) menegaskan melalui penyuluhan pertanian ingin
dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas, memiliki sikap yang
progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap informasi baru, serta
terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan demi
perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa proses komunikasi antara lain terdiri dari model komunikasi linear dan relational. Dalam model linear,
informasi yang berasal dari sumber disebut pesan dan yang berasal dari penerima
disebut umpan balik. Di sini penerima hanya memberikan umpan balik kepada
sumber, tetapi tidak menciptakan dan meneruskan pesan-pesannya. Model
komunikasi seperti ini biasanya terjadi secara vertikal. Dalam model komunikasi
relational, setiap partisipan komunikasi
dapat saling meneruskan atau memberikan pesan baru karena setiap pesan dapat
dipakai sebagai perangsang untuk mendapat umpan balik dari pesan-pesan
sebelumnya. Proses komunikasi ini tidak terhenti sesudah terdapat umpan balik,
melainkan kembali ke peserta pertama kemudian peserta tersebut menyusun pesan
yang baru lagi (Kincaid dan Schramm, 1987). Dengan demikian dalam model ini
proses komunikasi berlangsung bolak-balik, yang menurut Effendy (2001) dikenal
sebagai two-way traffic communication atau
komunikasi dua arah. Rahim (Depari dan MacAndrews, 1998) menyebutkan bahwa arah
komunikasi dalam pembangunan desa biasanya mengalir dari atas yang bersumber
pada perencana pembangunan atau pejabat daerah. Selain itu arus komunikasi bisa
terjadi antar anggota masyarakat yang setara (horisontal).
Ruben dalam Muhammad (2000) mendefinisikan komunikasi manusia adalah
suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam
organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirim dan menggunakan informasi
untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain. Sendjaja et
al. (1994) sepakat melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan untuk berbagi
informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang
terlibat di dalamnya guna mencapai kebersamaan makna. Tindakan komunikasi
tersebut dapat dilakukan dalam beragam konteks. Konteks komunikasi tersebut
menurut Tubbs dan Moss (2000) terdiri dari komunikasi dua orang, wawancara,
komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, komunikasi organisasi, komunikasi
massa dan
komunikasi antarbudaya.
Komunikasi yang diartikan sebagai
suatu proses dimana informasi terbagi, lebih lanjut ditambahkan oleh Middleton
(1980) bahwa proses ini sering disebut juga sebagai jaring-jaring masyarakat (web
of society) dimana individu, kelompok dan pranata-pranata diatur bersama untuk
membentuk suatu masyarakat. Middleton pun menjelaskan bahwa sebagai suatu
proses yang luas, komunikasi melibatkan beberapa fungsi, seperti memberi dan
menerima informasi, mempengaruhi dan dipengaruhi, belajar dan mengajar,
menghibur dan dihibur. Pernyataan Middleton ini pernah disinggung oleh Rao
(1966) yang pernah menjadi anggota Departemen Komunikasi Massa UNESCO yang mengemukakan bahwa komunikasi lebih mengacu
pada proses sosial, yakni arus informasi, peredaran pengetahuan dan
gagasan-gagasan dalam masyarakat, pengembangan dan internalisasi pikiran.
Fungsi komunikasi menurut Laswell
adalah (1) pengamatan terhadap lingkungan, (2) penghubung bagian-bagian yang
ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap
lingkungan tersebut dan (3) pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke
generasi berikutnya (Laswell, 1976). Konsep pengamatan terhadap lingkungan
mengandung arti proses mengumpulkan dan mendistribusikan “informasi” mengenai
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari
dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Konsep penghubung bagian-bagian
masyarakat mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai
lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara-cara memberikan reaksi terhadap
apa yang terjadi. Sedangkan konsep pemindahan warisan sosial dari satu generasi
ke generasi yang berikutnya berfokus pada
mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma sosial dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Kegiatan yang terakhir ini dikenal dengan
sebutan pendidikan (Wright, 1986).
Ketiga fungsi komunikasi tersebut
harus dijalankan seluruhnya. Bila salah
satu fungsi komunikasi itu terhambat, maka perkembangan masyarakat tidak akan
berjalan secara wajar, dan pada gilirannya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan
yang merusak masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan ketiga macam fungsi
komunikasi tersebut, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat
yang sederhana dan oleh masyarakat yang maju.
Komunikasi
dalam masyarakat sederhana atau primitif cenderung berlangsung secara tatap
muka. Misalnya mereka merasa perlu berkomunikasi antar sesamanya, baik waktu
bermain maupun waktu beristirahat, berkumpul
di goa untuk melawan hawa dingin atau berlindung dari bahaya. Kelompok masyarakat primitif ini juga menunjuk
seorang penjaga yang bertugas mengawasi keadaan sekeliling dan segera
memberikan laporan bila musuh datang atau memberi tahu bila ada binatang buruan
yang dapat dijadikan bahan makanan muncul. Informasi yang sampai pada masyarakat yang
tinggal di goa ini, dipakai untuk membuat keputusan mengenai hal yang harus dilakukan.
Pemimpin atau dewan pimpinan harus
membuat keputusan setelah melakukan tukar-menukar pendapat. Pimpinan kemudian
menjelaskan situasi, mengeluarkan perintah dan membagi tanggung jawab.
Kebijakan yang diambil dalam masyarakat primitif dapat juga didasarkan atas
kepercayaan, kebiasaan atau hukum yang berlaku di masyarakat tersebut. Jadi
kewajiban penting yang harus dilakukan oleh masyarakat ini adalah mengajarkan
kepercayaan, kebiasaan, hukum dan keterampilan-keterampilan baru yang
dibutuhkan oleh masyarakat yang masih muda. Orang tua mengajari anak-anak
mereka, orang yang lebih tua dan pemuka agama mengajari orang-orang yang sudah
dewasa. Peranan komunikasi yang tampak pada masyarakat yang masih sangat
sederhana ini adalah berupa: peranan penjagaan (melakukan pengawasan terhadap
alam sekeliling dan melaporkannya), peranan kebijaksanaan (memutuskan kebijakan
yang perlu diambil, memimpin dan mengatur), dan peranan mengajar agar
masyarakatnya mempunyai keterampilan dan kepercayaan yang dipandang bernilai oleh
masyarakat yang bersangkutan. Di samping fungsi komunikasi formal tersebut, ada
fungsi komunikasi yang bersifat tidak formal, yaitu percakapan antar mereka
sehari-hari. Seperti mengungkapkan ekspresi cinta, persahabatan, menantang,
berargumen dan bertukar pikiran, barter dan perdagangan, menari, menyanyi,
bercerita dan melakukan komunikasi informal lainnya, memberi warna dan daya
pengikat masyarakat tersebut (Schramm, 1964).
Pada
masyarakat maju atau masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi jangkauan
komunikasi sangat luas. Aktivitas yang semula tidak formal dan santai telah
diformalkan. Sesuatu yang semula cukup ditangani oleh seorang atau beberapa
orang, sekarang diperlukan suatu lembaga sosial tersendiri untuk menanganinya
dengan memasukkan pula mesin-mesin ke dalam proses komunikasi. Mesin-mesin
digunakan untuk melihat, mendengar, berbicara dan menulis dengan kemampuan
jangkauan kerja yang sangat tinggi. Di lingkungan mesin-mesin ini muncul pula
institusi komunikasi yang sangat besar yang disebut media massa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa
fungsi dasar komunikasi sendiri tetap sama. Pekerjaan mengawasi lingkungan
sekarang ditugaskan kepada media massa.
Pekerjaan yang membutuhkan konsensus, pembuatan kebijakan, dan pengarahan
tindakan-tindakan terutama menjadi tugas pemerintah. Organisasi seperti partai
politik dan media massa
telah masuk jauh ke dalam proses pembentukan opini dan tindakan. Tugas yang
semula dilakukan oleh suatu kelompok kecil dalam suatu percakapan singkat,
sekarang menjadi diskusi berbulan-bulan, yang melibatkan beratus-ratus ribu
atau bahkan berjuta-juta manusia dan mungkin memerlukan kampanye berskala
nasional. Namun, esensi kewajiban mereka tetap sama dengan yang dilakukan oleh
masyarakat sederhana, yaitu memutuskan kebijakan dan memimpin. Kewajiban
melakukan proses sosialisasi terhadap anggota masyarakat dibebankan kepada
sekolah dan media pendidikan lainnya, seperti buku, radio, televisi pendidikan,
film instruksional dan ensiklopedi. Kebutuhan akan pengetahuan dan latihan tidak
hanya tersedia terbatas untuk anak-anak, melainkan juga untuk orang dewasa
berupa lembaga dan instruksi khusus, misalnya penyuluh pertanian, petugas
peneliti dan universitas, penyalur (dealer) penyediaan sarana, perbankan maupun
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Organisasi ini disebut “pelayanan informasi”
(Lionberger dan Gwin, 1982). Seluruhnya menjadi makin kompleks dan makin
canggih. Namun esensinya tetap sama, yaitu keperluan akan pelayanan informasi
(Schramm, 1964).
Di
banyak desa di Indonesia,
media komunikasi tradisional masih sering dijumpai. Ketika sewaktu-waktu akan
mengumpulkan warga masyarakat, cukup dengan membunyikan kentongan yang dipukul
dengan cara tertentu (kode) yang berarti ada bahaya ataupun keadaan aman. Pertunjukan kesenian, selain sebagai alat
hiburan juga merupakan sumber nilai-nilai atau petuah untuk menghadapi berbagai
masalah kehidupan yang mengarus melalui dialog ataupun perilaku yang
diperdengarkan dan dipertunjukan dalam kesenian seperti nyanyian rakyat, tarian
rakyat, musik instrumental rakyat dan drama rakyat. Menurut Jahi (1993) media
tradisional yang dekat dengan rakyat sangat efektif untuk menyampaikan pesan
pembangunan.
Soesanto
(1985) menyebutkan bahwa seni tradisional merupakan nilai-nilai budaya yang
dianut suatu masyarakat. Nilai budaya merupakan dasar kehidupan sehari-hari dan
karenanyalah merupakan pula dasar dan titik bertolaknya komunikasi. Ungkapan
ini menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan proses komunikasi. Pertunjukan
tradisional ini haruslah mengandung tiga aspek yaitu pendidikan, penerangan dan
hiburan (Departemen Penerangan, 1984), atau bermaksud menghibur, menjelaskan,
mengajar dan mendidik (Jahi, 1993).
Jadi,
komunikasi di sini didefinisikan sebagai proses penyampaian dan pemahaman pesan
dari satu orang ke orang lain atau kepada kelompok, organisasi, publik maupun
kepada masyarakat luas. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih
yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise),
terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada
kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi dalam hal ini berupa
kegiatan membagi perasaan/gagasan dan nilai-nilai melalui bahasa, visualisasi,
fasilitas sarana komunikasi yang digunakan, sehingga terjadi suatu kesamaan
makna tentang pesan yang disampaikan antara penyampai pesan dan penerima pesan.
Kesamaan makna inilah yang menjadi tujuan komunikasi dan sekaligus menentukan efektif
tidaknya suatu kegiatan komunikasi. Dalam
melaksanakan fungsi komunikasi, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh
masyarakat yang sederhana dan masyarakat maju. Namun, perbedaan cara tersebut
tidak mengurangi makna dari ketiga fungsi proses komunikasi. Perbedaannya
adalah pada masyarakat sederhana menggunakan cara yang sederhana, sedangkan
masyarakat maju menggunakan cara-cara yang lebih kompleks yang menuntut
dimilikinya keterampilan yang lebih tinggi.
Komunikasi Pembangunan dan Komunikasi dalam
Masyarakat Desa
Komunikasi Pembangunan
Seperti sudah dijelaskan di sub bab di
atas, secara umum dapat dijelaskan bahwa komunikasi ialah proses penyampaian
informasi/pesan dari sumber kepada penerima, dengan tujuan timbulnya respons
dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna (Berlo, 1960, Rogers, 1995,
Kincaid dan Schramm, 1987). Sedangkan
pembangunan, yang bila dikaitkan dengan perubahan, dia adalah perubahan
berencana. Menurut Boyle (1981) apabila perubahan atau segala sesuatu
yang terlihat atau terasa berbeda dalam suatu jangka waktu
tertentu, dimana perbedaan-perbedaan tersebut dengan sengaja ditimbulkan dan
telah direncanakan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
diinginkan, maka dikatakanlah sebagai perubahan berencana.
Pembangunan itu sendiri merupakan
serangkaian usaha berencana yang secara umum ditujukan untuk menimbulkan
perubahan-perubahan yang bersifat positif, diinginkan dan bermanfaat pada diri
manusia dan lingkungan sekitarnya (Slamet, 1986). Sebagai akibat dari
pembangunan, manusia yang menjadi sasaran pembangunan tersebut akan tumbuh dan berkembang,
baik dalam arti badaniah dan rohaniah, sehingga dapat mengambil manfaat yang
lebih baik dari lingkungannya.
Proses
perubahan manusia itu sendiri melibatkan banyak usaha dan tenaga. Usaha-usaha
pendidikan yang lazim dikenal dengan penyuluhan, yang di dalamnya tak lain
adalah kegiatan proses komunikasi persuasif merupakan salah satu faktor yang
dapat memainkan peranan penting dalam menimbulkan perubahan manusia tersebut.
Menurut Slamet (1986) perubahan semacam inilah yang perlu diperhatikan, karena
inti utama dari pembangunan tidak lain daripada pertumbuhan dan perkembangan
manusia. Pembangunan fisik yang sering
kali menarik banyak perhatian, tidak akan berarti banyak apabila tidak disertai
dengan pembangunan manusianya.
Kalau di tahun 50-an dan 60-an
pemerhati pembangunan menekankan pada investasi, modal, teknologi,
produktivitas sebagai hal yang penting bagi pembangunan. Kemudian, sebelum
tahun 70-an telah dimulai proses penyeimbangan. Hal ini menekankan pada
kebutuhan redistribusi, kebutuhan mengejar tujuan lain seperti pendidikan,
kesehatan dan kualitas umum kehidupan daripada penambahan volume barang dan
jasa (Jayaweera, 1989). Dengan kata lain pembangunan jangan hanya dilihat dari Gross National Product (GNP) melainkan
juga harus diukur dengan peningkatan Indeks Hidup Kualitas Fisik (IHKF) dan GNP,
yang satu sama lain tidak terpisah. Dengan hal ini kualitas fisik kehidupan
jauh lebih baik, jelas Jayaweera (1989). Indikatornya adalah perbaikan angka
buta huruf (illiteracy), kesehatan, kematian bayi, harapan hidup dan
pendidikan. Di tahun 80-an, orang
melihat pembangunan sebagai suatu paket dari konsep kebutuhan dasar, berdikari
atau mandiri
dan partisipasi, yang merupakan
alternatif bentuk pembangunan yang dihasilkan dari penekanan pada pertumbuhan
dan output. Pengertian kebutuhan dasar
meliputi metode analisis permasalahan masyarakat desa, yaitu merupakan suatu
model yang dapat digunakan untuk menganalisis masalah yang terdapat dalam
masyarakat (Slamet, 1986), yang menurut Slamet (2003) bisa digali dari berbagai
kebutuhan dan keinginan dalam diri warga masyarakat yang akan dapat mereka
penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk
dikembangkan. Kata potensi dan kemampuan warga masyarakat merupakan
kunci pengertian me-mandiri-kan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan
falsafah penyuluhan “membantu diri
sendiri” itu menunjukkan dinamika pribadi SDM-klien sangat menonjol (Asngari,
2001). Kemandirian (selfhelp) masyarakat, termasuk kemandirian pertanian (baca: tanpa subsidi) yang secara
bertahap telah mulai diusahakan dari sekarang, perlu diikuti dengan pengurangan
keterikatan pada program-program pemerintah (Slamet, 2003). Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikatakan oleh Slamet
(2003) bermakna sebagai ikutsertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam
kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikutserta memanfaatkan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan. Perlu ditekankan di sini bahwa partisipasi dalam
pembangunan bukan hanya berarti ikut menyumbangkan sesuatu input
ke dalam proses pembangunan, tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan.
Pembangunan harus dilihat dalam
karakter holistik. Tidak ada pembangunan yang mengabaikan produktivitas dan
pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan harus diimbangi dengan reformasi struktural
yang tidak menghambat daya produktif masyarakat. Pada waktu yang sama, itu
harus didukung oleh keseluruhan tindakan yang menjamin keadilan, menjamin
peningkatan kualitas hidup serta menjamin hak-hak asasi manusia dan kebebasan
demokrasi (Jayaweera, 1989). Sebagai suatu istilah teknis Seers (Nasution,
1996) melihat pembangunan berarti membangkitkan masyarakat di Negara-negara
sedang berkembang dari keadaan kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate)
yang rendah, pengangguran dan ketidakadilan sosial.
Dalam pengertian sehari-hari
pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. Rogers
(1976) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang terjadi pada tingkat
sistem sosial. Sama halnya seperti diseminasi, pengembangan (development),
spesialisasi, integrasi dan adaptasi (Slamet, 1986). Sedangkan modernisasi ialah proses yang
terjadi pada tingkat individu, termasuk istilah difusi inovasi, adopsi inovasi,
akulturasi, belajar atau sosialisasi. Untuk perubahan demikian disebut
perubahan mikro karena lebih memfokuskan pada perilaku perubahan individual. Pembangunan di sini diartikan Rogers (1976) sebagai proses perubahan sosial
dalam suatu masyarakat yang diselenggarakan dengan jalan memberi kesempatan
yang seluas-luasnya pada warga masyarakat tersebut untuk berpartisipasi, untuk
mendapatkan kemajuan baik secara sosial maupun material (pemerataan, kebebasan
dan berbagai kualitas lain yang diinginkan agar menjadi lebih baik). Sementara
Dissayanake (1981) menggambarkan bahwa pembangunan ialah proses perubahan
sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas
masyarakat, tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan
berusaha, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini, dan
menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri.
Rogers dan Shoemaker (1971) lebih
lanjut menyebutkan bahwa besar kemungkinan semua analisis perubahan sosial
harus memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi, karena dilihat dari kenyataan semua
penjelasan tentang perilaku manusia berpangkal pada penyelidikan mengenai
bagaimana orang-orang itu memperoleh dan mengubah gagasannya (membuat keputusan) melalui komunikasi dengan
orang lain, maupun dengan kemajuan teknologi komunikasi, baik radio, televisi
dan media cetak. Teknologi komunikasi ini memiliki kemampuan untuk menciptakan
dan menyebarkan “kesan baru” (new images) dari apa yang seseorang ingin aspirasikan,
menciptakan “mobilitas fisik” dan membangkitkan “empati” (Jayaweera dan
Amunugama, 1989).
Dari ilustrasi di atas, istilah
Komunikasi Pembangunan diartikan sebagai suatu komitmen untuk meliput secara
sistematik, problematika yang dihadapi dalam pembangunan suatu bangsa. Kegiatan
itu kemudian diperluas mencakup segala komunikasi yang “diterapkan untuk
pentransformasian secara cepat suatu negara dari kemiskinan ke suatu dinamika
pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih besarnya keadilan sosial dan
pemenuhan potensial manusiawi” (Nasution, 1996).
Definisi
ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Lerner, Pye dan Schramm bahwa
komunikasi pembangunan berhubungan dengan teknologi yang didasari pada jaringan
komunikasi yang menimbulkan iklim yang cocok untuk pembangunan, tanpa
memperhatikan pesan dan isi pesan. Di lain pihak, ada istilah komunikasi
penunjang pembangunan (KPP), yang diutarakan oleh Erskine Childers dari UNDP,
sebagai komunikasi yang secara khusus disusun untuk mendukung program
pembangunan tersebut (Jayaweera dan Amunugawa, 1989). Komunikasi pembangunan (KP) lebih besar
dibandingkan dengan KPP. Seperti halnya
KPP yang merupakan bagian yang terkecil, dapat bekerja dengan efektif pada
bidang terbatas, walaupun dengan ketidakhadiran komunikasi pembangunan. Tabel 1 berikut memperlihatkan bagaimana komunikasi
pembangunan (KP) dibedakan dengan komunikasi penunjang pembangunan (KPP).
Tabel 1. Perbedaan komunikasi pembangunan dan
komunikasi penunjang pembangunan
KP
|
KPP
|
1. Secara umum digunakan untuk
nasional atau makro.
2. Berfungsi tidak langsung
dan samar -samar.
3. Bersifat persuasif dan terbuka.
4. Mengandalkan pengaruh yang
kuat dari karakteristik teknologi.
5. Dibatasi teknologi
media massa.
6. Bersifat top-down
dan hierarkhi.
7. Penelitian banyak masalah, jumlah peubah banyak, kesulitan dalam
mengontrol. Secara konsekuen kekurangan penelitian.
8. Semakin kehilangan
kredibilitas.
|
1. Secara umum digunakan untuk lokal atau mikro.
2. Berfungsi langsung yang sesuai dengan efek dan tujuan.
3. Dibatasi waktu dan mengambil bentuk kelompok.
4. Berorientasi pesan.
Secara teliti menunjukkan
kepuasan.
5. Menggunakan semua budaya media
6. Selalu interaksi dan
partisipasi.
7. Penelitian mudah, peubah
dapat diisolasi, dikontrol dan diukur.
Secara konsekuen masih
ada penelitian.
8. Kredibilitas sangat besar. Diadopsi oleh sistem UN dan seluruh agen
pembangunan nasional dan internasional.
|
Studi
penelitian yang mengambil topik “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran
Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” merupakan
dasar dari kredibilitas KPP, dan ini menjadi fokus penyelidikan yang ingin
dideskripsikan.
Komunikasi dalam Masyarakat Desa
Tinjauan
komunikasi pembangunan dalam penelitian ini lebih melihat pada studi komunikasi
yang mendukung pembangunan/KPP (development support communication) yang melihat
pelaksanaan komunikasi pembangunan dengan membatasinya atas waktu dan mengambil
bentuk kelompok sebagai unit analisis. Tinjauan
berdasarkan pendekatan komunikasi penunjang pembangunan (KPP) ini sebenarnya
mengikuti rekomendasi Rogers
(1995), dimana pada penelitian difusinya dia beranjak dari komunikasi
pembangunan (KP) dan konsekuensinya kehilangan validitasnya (Jayaweera dan
Amunugawa, 1989).
Homan
(dalam Blau, 1975) memberikan batasan
tentang struktur sosial sebagai perilaku yang ajeg (enduring), yaitu suatu
ekspresi yang menunjukkan konfigurasi hubungan
antar orang seorang dan posisinya, yang bisa dilihat dari karakteristik
personal. Kelompok formal ialah salah
satu contoh perilaku yang ajeg tersebut, menunjukkan suatu keadaan saling
terkait antara posisi dan peranan, suatu tatanan distribusi stratifikasi
berdasarkan ciri personal, suatu pola interaksi dan aktivitas antar partisipan
anggota suatu kelompok. Dimana hal tersebut dapat diperlakukan sebagai suatu sistem,
yakni kelompok sebagai sistem sosial (Slamet, 1997) atau masyarakat sebagai
suatu sistem sosial (Loomis, 1960; Slamet 1986).
Tinjauan kelompok sosial yang
relatif sederhana dibandingkan dengan pengamatan masyarakat sebagai sistem
sosial, adalah (bagian) masyarakat desa. Deskripsi tentang pengertian
masyarakat desa tidak mudah diberikan karena acuan yang dipakai untuk mendasari
masih sangat beragam. Misalnya,
berdasarkan luas daerahnya, teknologi yang digunakan, kepadatan penduduk,
nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya. Dengan demikian apapun dasar yang
dipakai untuk mendeskripsikan pengertian desa, maka hal tersebut hanyalah
merupakan suatu stereotype agar
didapat gambaran tentang suatu masyarakat yang relatif sederhana.
Masyarakat desa menurut Soekanto
(2001) adalah wilayah kehidupan sosial di perdesaan yang masih kuat derajat
hubungan sosialnya dalam bentuk ikatan kekeluargaan dan komunikasi yang
dibangun di antara anggota secara langsung. Gillin dan Gillin dalam Koentjaraningrat (1990) merumuskan
masyarakat (society) sebagai: “… kelompok terbesar dimana secara umum adat
istiadat (custom), tradisi, sikap dan perasaan tampak sebagai suatu kesatuan
yang berproses.” Hal ini diperkuat oleh Soemardjan (1993) yang menyatakan bahwa
masyarakat desa hidup dari persamaan profesi pertanian, peternakan atau
perkebunan itu diperkuat dengan persamaan adat, persamaan bahasa dan persamaan
sistem sosial. Masyarakat desa termasuk
dalam kategori masyarakat modern, walaupun penggunaan teknologi dan sistem
sosial serta lembaga masyarakat yang ada masih bersifat sederhana. Masyarakat desa memiliki karakteristik yang
khas, berbeda dengan masyarakat kota.
Masyarakat desa mempunyai berbagai lembaga atau pranata sosial yang digunakan
sebagai ajang pertemuan untuk memelihara nilai-nilai yang merupakan faktor
integratif bagi masyarakat desa yang bersangkutan. Desa juga mempunyai beragam
jenis selamatan, mulai dari selamatan kelahiran sampai dengan kematian.
Proses sosialisasi di desa, selain
dilakukan melalui pengajaran langsung secara verbal atau melalui perilaku yang
dianggap terpuji oleh orang tua kepada
anak-anak mereka atau oleh tetua desa, tokoh agama dan tokoh adat kepada
generasi yang lebih muda. Juga sering dilakukan melalui bentuk pertunjukan kesenian
(seni tradisional atau pertunjukan rakyat) yang sarat dengan pewarisan petuah
dan nilai-nilai.
Di kalangan masyarakat desa, selain
pemimpin formal juga sering dijumpai pemimpin/tokoh informal yang dijadikan sebagai
pemuka pendapat (opinion leaders). Menurut Rogers (1995) mereka sering menjadi
pusat informasi dan karenanya menjadi tempat bertanya dan meminta pendapat dari
warga desa tentang berbagai hal, khususnya yang menyangkut kegiatan dan kebutuhan
masyarakat desa sehari-hari. Dalam konteks adopsi inovasi dikemukakan bahwa
pemimpin informal ini adalah orang-orang kunci (key person) yang berpengaruh di
desa, terhadap siapa warga desa berpaling dalam ide-ide baru (Havelock et al., 1971). Orang-orang ini biasanya
mempunyai pengaruh yang besar karena pengakuan kredibilitasnya mengenai hal-hal
tertentu yang diakui oleh para anggota masyarakatnya. Mereka ini juga berfungsi
sebagai penjaga gawang (gate keeper) terhadap inovasi dan nilai-nilai yang masuk
ke dalam masyarakat perdesaan tersebut (Rogers, 1995; Jahi, 1993; Goldberg dan
Larson, 1985).
Pemimpin
menurut hasil penelitian Ginting (1999) bisa terdiri atas pemimpin informal
tradisional seperti pemimpin atau tokoh adat, pemimpin agama dan raja di kampung
(raja huta) dan pemimpin informal
kontemporer yakni seseorang yang kepemimpinannya diakui oleh warga masyarakat
dalam waktu yang belum terlalu lama, seperti guru, cendekia desa, pegawai/pensiunan,
pedagang, pengusaha atau petani yang berhasil. Efektivitas peranan pemimpin
informal ini terutama didukung oleh sifat masyarakat desa yang relatif homogen
dan dapat melakukan kontak langsung atau tatap muka.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi
merupakan kebutuhan mutlak baik pada masyarakat yang sederhana, yang berada
pada masa transisi maupun pada
masyarakat modern. Studi dengan menganalisis KPP, yang melihat masyarakat desa
atau lebih spesifik lagi kelompok peternak sebagai unit analisis akan dijadikan
acuan pada penelitian ini, termasuk analisis jaringan komunikasinya.
Perbedaan pokok antara
kegiatan komunikasi pada masyarakat yang sederhana, transisi dan masyarakat
maju hanyalah terletak pada alat-alat penyampaiannya, tidak pada fungsi
komunikasi. Fungsi komunikasi tetap sama, yaitu untuk pengamatan lingkungan,
menghubungkan bagian-bagian masyarakat agar memberikan respons terhadap
lingkungan, dan melakukan pemindahan warisan nilai-nilai termasuk difusi
inovasi. Bila mensitir rekomendasi dari
rencana tindak yang diusulkan pada Deklarasi Komunikasi Pembangunan ke-9 yang
diselenggarakan FAO dan UNESCO, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 6-9
September 2004 di Roma, maka disepakati bahwa “komunikasi untuk pelaksanaan
pembangunan yang dianjurkan, dilaksanakan oleh masyarakat sendiri (themselves)
untuk lebih menarik perhatian para pembuat keputusan, untuk memastikan bahwa
komunikasi tersebut dapat dikenali sebagai komponen sentral pada semua
inisiator pembangunan.” Deane (2004) menyebutkan bahwa konteks Komunikasi
Pembangunan tahun 2004 adalah:
“…
bila pembangunan bisa dilihat sebagai rangkaian aktivitas jutaan orang,
komunikasi mewakili hal-hal penting yang menyatukan mereka. Komunikasi adalah
dialog dan debat yang terjadi secara spontanitas dalam setiap perubahan sosial.
Peningkatan kebebasan berekspresi sekarang ini hampir bersamaan dengan
perubahan struktur politik global. Di lain
pihak, komunikasi dengan sengaja diintervensi untuk mempengaruhi perubahan sosial
dan ekonomi. Strategi pembangunan yang menggunakan pendekatan komunikasi dapat
mengubah sikap rakyat dan kebijakan tradisional, membantu rakyat untuk beradaptasi,
untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru, dan menyebarkan
pesan-pesan sosial baru kepada khalayak yang lebih luas. Rencana yang
menggunakan teknik komunikasi, aktivitas dan media memberikan kepada rakyat
perangkat yang berguna untuk perubahan pengalaman dan bahkan untuk menuntunnya
berubah. Untuk meningkatkan pertukaran ide dari masing-masing sektor masyarakat
dapat digunakan pemimpin yang terlibat dengan rakyat. Hal ini adalah syarat
yang mendasar atau fundamental bagi pembangunan yang berkelanjutan.”
Perdebatan terkini dan banyak dari
catatan pertemuan “roundtable” (meja
bundar) di Roma tahun 2004 ini, telah dilengkapi dengan model komunikasi berupa
difusi, advokasi dan partisipasi (Deane, 2004).
Ada bukti yang semakin jelas bahwa program komunikasi yang cenderung
untuk menarik sumberdaya – terutama sekali yang berjanji untuk mewujudkan
sesuatu menjadi kenyataan, perubahan perilaku individu di luar batasan waktu
yang menyolok – sering tidak bisa berlanjut, berakar di dalam kultur (budaya)
dimana mereka beroperasi, mempunyai dampak terbatas dan mengalami hambatan sosial
yang lebih pokok. Pada sisi lain, lebih
partisipatori, model komunikasi perubahan sosial dari bawah ke atas kadang-kadang
gagal untuk menarik lebih banyak sumberdaya dikarenakan dampaknya menjadi
sangat sukar untuk dievaluasi dalam jangka pendek, sebab mereka sering menemui
kesulitan untuk memprogramkannya dalam skala mikro.
Di lingkungan komunikasi yang
semakin terhubung, para praktisi komunikasi mengurangi perhatian atas
penyebaran pesan tetapi lebih fokus pada pendorongan publik dan individu untuk
dapat bertindak secara kolektif dalam mengembangkan solusi-solusi bagi masalah
mereka sendiri. Tabel 2 berikut ini menyajikan
perubahan lingkungan komunikasi dari tradisional ke yang baru.
Tabel 2. Perubahan lingkungan komunikasi
Tradisional
|
Baru
|
1. Komunikasi
vertikal – dari pemerintah ke
masyarakat.
2. Sistem komunikasi unipolar.
3. Sedikit sumber informasi.
4. Mudah mengendalikan
(a) Kebaikan, memunculkan
informasi yang akurat bagi banyak orang
(b) Kelemahan, dikendalikan
pemerintah dan disensor.
5. Mengirimkan pesan.
|
1. Komunikasi horizontal (dari
seseorang ke orang lain).
2. Jaringan-jaringan komunikasi.
3. Banyak sumber informasi.
4. Susah
mengendalikan
(a) Kebaikan, lebih banyak
debat, suara-suara
lantang dan
peningkatan kepercayaan
(b) Kelemahan, makin kompleks
dan
isu-isu keakuratan berita.
5. Menanyakan sesuatu hal.
|
Jaringan Komunikasi
Salah satu cara untuk memahami
perilaku manusia adalah dengan mengamati atau memahami hubungan-hubungan sosial
yang tercipta karena adanya proses komunikasi interpersonal. Hal ini tidak lain karena manusia selain
sebagai makhluk individu adalah juga makhluk sosial yang hanya bisa
mengembangkan potensi dirinya sebagai manusia melalui interaksi dengan
lingkungan sosialnya. Sebenarnya masih banyak cara-cara lain dalam memahami
perilaku manusia, tetapi sesuai dengan perumusan masalah pada studi ini yang
hendak berupaya memahami hubungan karakteristik personal peternak pada kelompok
ternak di lokasi penelitian, perilaku keterdedahan/terpaan media massa dan
perilaku menggunakan saluran komunikasi interpersonal informal dengan
keterlibatan pada jaringan komunikasi penyuluhan, dengan objek amatan pada
Pengembangan Usahaternak Terpadu Sapi Potong. Maka jelaslah bahwa fokus
penelitian ini hanya melihat keterlibatan pada jaringan komunikasi, yang
merupakan peubah antara (intervining variable) hubungan karakteristik personal
dan keterdedahan media massa
dengan distorsi pesan.
Pengertian Jaringan Komunikasi
Jaringan
komunikasi (communication network) terdiri atas individu-individu yang saling
berhubungan satu sama lain melalui pola-pola arus informasi (Rogers dan
Kincaid, 1981), atau melalui arus komunikasi yang terpola (Rogers dan Rogers,
1976; Rogers, 1995). Lebih lanjut didefinisikan oleh Rogers dan Kincaid bahwa jaringan komunikasi
tersebut merupakan suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau
lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan. Hanneman dan McEver (1975) menyatakan bahwa
bila dua orang atau lebih ikutserta dalam proses pengiriman dan penerimaan
pesan maka mereka terlibat dalam suatu jaringan komunikasi, dimana pertukaran
informasi itu terjadi secara teratur. Begitu pun Muhammad (2000) sepakat
menamakan kejadian saling terjadi pertukaran pesan melalui jalan tertentu di
antara sejumlah orang yang menduduki posisi dan peranan tertentu dalam suatu
organisasi sebagai jaringan komunikasi. Kemudian diperjelas dengan pendapat
Schramm (1963) yang menyatakan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari
orang-orang yang saling berhubungan satu sama lain, saling mempengaruhi dan
berbagi informasi untuk mencapai tujuan bersama.
Proses Pembentukan Jaringan Komunikasi
Selain sebagai sekumpulan
orang-orang, masyarakat juga merupakan kumpulan hubungan-hubungan. Hubungan-hubungan ini dapat berupa hubungan
darah/keturunan, hubungan persahabatan, pertemanan karena persamaan pekerjaan,
hubungan bertetangga dan masih banyak hubungan yang lain. Hubungan-hubungan ini
hanya akan terjadi dan bermakna bila ada proses komunikasi. Hubungan darah atau
hubungan keturunan sekali pun kurang berarti bila antar anggota seketurunan
tersebut tidak terjadi kontak-kontak satu dengan yang lain melalui proses
komunikasi tersebut.
Hubungan
dalam masyarakat ini sedemikian banyaknya, ibarat jaringan laba-laba yang
berlapis-lapis, karena setiap jenis informasi akan mempunyai jaringan
komunikasinya sendiri-sendiri. Keseluruhan jaringan komunikasi dalam masyarakat
ini dibentuk oleh individu-individu melalui pola arus informasi (Rogers,1995). Jahi (1993)
menekankan pada aspek isu-isu atau pesan komunikasi sebagai salah satu batasan
(rambu-rambu) dalam analisis jaringan komunikasi. Karena setiap individu atau lembaga, untuk
isu yang berbeda memiliki kedudukan dan posisi yang berbeda dalam jaringan
komunikasi. Pernyataan ini mengisyarat-kan,
ada banyak jaringan komunikasi dalam sebuah sistem sosial, tergantung isu apa
yang menjadi fokus perhatian. Jadi pada sebuah desa misalnya, bisa ditemukan
jaringan komunikasi keluarga berencana (KB), kesehatan, pertanian dan
sebagainya.
Untuk mendeteksi keberadaan suatu
jaringan komunikasi dalam masyarakat digunakan metode yang mengacu kepada model
konvergensi yang menjadikan hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Menurut
Rogers (1995) hakekat dari suatu jaringan komunikasi adalah hubungan-hubungan
yang bersifat homofili (homophilous), yakni kecenderungan manusia untuk
melakukan hubungan atau kontak sosial dengan orang-orang yang memiliki atribut
sama atau yang lebih tinggi sedikit dari posisi dirinya. Tetapi dapat juga
terjadi antar orang-orang yang memiliki atribut yang tidak sama. Sebagai contoh, A berkomunikasi dengan B yang
mempunyai pendidikan lebih rendah sedikit dari A. Sebaliknya B berkomunikasi
dengan C yang tingkat pendidikan lebih rendah dari B. Dengan demikian A dan C
yang tingkat pendidikannya berbeda, juga melakukan komu-nikasi. Namun secara
tidak langsung, karena komunikasinya melalui B sebagai penghubung. Dengan kata
lain A dan C berada pada jalur komunikasi yang sama (Lin, 1975).
Di sisi lain, masing-masing individu
tidak hanya mempunyai hubungan (komunikasi) satu jenis jaringan komunikasi
saja. Seorang yang mempunyai jabatan
tertentu, misalnya guru. Dia tidak hanya akan berhubungan dengan sesama guru,
tetapi juga mungkin berhubungan dengan anggota keluarga dengan kedudukan
sebagai seorang kepala rumahtangga, anggota suatu organisasi klub bulutangkis
dan lainnya. Seorang petani di desa
misalnya, selain terlibat dalam jaringan komunikasi pertanian, juga sangat
mungkin terlibat dalam jaringan komunikasi agama, kesehatan, transmigrasi dan
lain-lain. Visualisasi dari posisi
seseorang dalam jaringan-jaringan komunikasi tersebut adalah sebagai berikut,
seperti yang tertera pada Gambar 1.
Gambar
1 menunjukkan bahwa orang nomor 1 menjadi anggota A, B, C dan D. Orang nomor 2
hanya menjadi anggota B dan C. Orang nomor 3 menjadi anggota C dan D. Orang
nomor 4 dan 5 menjadi anggota A dan B. Orang nomor 6 menjadi anggota A dan C.
Sedangkan orang nomor 7 dan 8 adalah anggota A dan D. Ilustrasi contoh jaringan komunikasi pada
Gambar 1 tersebut baru dua dimensi. Apabila dibuat tiga dimensi dapat
dibayangkan betapa kompleks hubungan-hubungan tersebut. Dalam realitasnya
seorang petani di desa bukan mustahil terlibat tidak saja pada keempat macam
jaringan komunikasi tersebut, tetapi juga terlibat pada jaringan komunikasi
perkreditan, jaringan komunikasi KB, jaringan komunikasi pemasaran produksi
pertaniannya, jaringan komunikasi peternakan, jaringan komunikasi “hobby” memelihara ayam pelung dan
sebagainya yang bila disebutkan satu persatu akan banyak sekali. Sehingga tidak
mudah untuk divisualisasikan seperti halnya mengenai empat jenis jaringan
komunikasi tersebut.
Keterangan:
A = Jaringan komunikasi agama
B = Jaringan komunikasi pertanian
C = Jaringan komunikasi kesehatan
D = Jaringan komunikasi transmigrasi.
Gambar
1. Keanggotaan pada berbagai jaringan komunikasi
Setiap
jenis jaringan komunikasi mempunyai kecepatan perkembangan yang berbeda-beda.
Semakin penting suatu jenis informasi bagi suatu anggota sistem sosial, makin
cepat perkembangan dan luas jangkauan jaringan komunikasinya. Jaringan
komunikasi yang berhubungan dengan informasi tentang kebutuhan primer akan
mempunyai jangkauan yang tercepat dan terjauh (Rogers, 1995). Bagi seorang peternak, informasi mengenai
peternakan mestinya akan merupakan informasi terpenting. Maka penelitian
jaringan komunikasi peternakan di kalangan peternak di suatu desa, sangat
mungkin akan mendapatkan suatu jaringan komunikasi yang sangat luas, yang menjangkau
seluruh peternak di desa tersebut. Sedangkan usaha pertanian lain atau usaha off-farm yang sebagai usaha penunjang,
sangat mungkin memiliki jaringan komunikasi yang kurang luasnya dibanding
dengan jaringan komunikasi peternakan sebagai usaha pokok/ primer.
Perkembangan jaringan komunikasi
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosial, politik,
ekonomi, budaya dan agama. Perbedaan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya
dan agama antar masyarakat atau kelompok sosial akan sangat menentukan
keberhasilan suatu proses komunikasi.
Contoh pengaruh faktor sosial
terhadap jaringan komunikasi, misalnya pada masyarakat yang tingkat
pendidikannya sangat rendah, jaringan komunikasi kesehatan akan sulit
berkembang. Seperti kampanye air masak di desa Los Malinos di Peru, yang berusaha
memperkenalkan inovasi program peningkatan kesehatan masyarakat tetapi gagal.
Hal ini dikarenakan anjuran agar air yang hendak diminum harus dimasak terlebih
dahulu tidak diindahkan oleh anggota masyarakat. Penjelasan bahwa air mentah
mengandung kuman, dan karenanya harus dimasak dahulu tidak masuk akal mereka.
Mereka tidak percaya bahwa kuman yang sangat kecil yang tak terlihat mata mampu
menimbulkan sakit pada diri mereka (Rogers,
1995).
Kita dapat membayangkan kampanye larangan menanam bibit padi unggul
yang tidak tahan hama wereng coklat, dimana “media mix” yang dipakai tidak hanya terbatas pada suratkabar,
majalah, radio dan televisi saja, melainkan juga saluran administrasi
pemerintahan, seperti pejabat-pejabat pemerintah daerah, pemerintah desa dan
dinas pertanian bersama para penyuluh, mengakibatkan petani tidak berani
membicarakan apalagi menanam bibit padi tersebut. Terlebih ketika aparat desa
mengambil tindakan membakar padi para petani yang berani melanggar larangan itu.
Kasus ini, contoh keterkaitan faktor politik terhadap jaringan komunikasi. Cara ini terbukti efektif. Sekalipun hama wereng belum terbasmi, tapi pada musim
tanam berikutnya serangan hama
tersebut sudah dapat dikendalikan sampai ke tingkat minimal (Kompas, 1989).
Studi Windarti (2000) pada kasus penerapan inovasi skim kredit Karya Usaha
Mandiri (KUM) di desa Kiarapandak Bogor menyimpulkan bahwa tingkat
adopsi penerapan skim kredit KUM
memberikan pengaruh tidak langsung terhadap pendapatan melalui pemantapan
adopsi. Mengingat peningkatan pendapatan
dapat dicapai jika keputusan inovasi anggota kelompok akan kredit KUM semakin
mantap dan kondisi usaha yang semakin berkembang, maka disarankan untuk
melakukan pembinaan usaha kepada anggota lewat pertemuan minggon rembug pusat. Paparan ini adalah fakta adanya keterkaitan
faktor ekonomi dengan jaringan komunikasi kredit pola grameen bank.
Sedangkan faktor budaya, terlihat
dari fenomena pada masyarakat yang masih menganut paham bahwa “banyak anak
banyak rezeki” akan sulit dikembangkan jaringan komunikasi KB, karena program KIE (Komunikasi, Informasi dan
Edukasi) KB ini mengandung nilai yang sangat bertentangan dengan paham
tersebut. Keadaan yang demikian ditemui misalnya pada awal pengenalan program
KB di Indonesia di tempat-tempat masyarakat yang mempunyai paham seperti ini
sebagai pandangan hidup yang kuat. Hal
ini diperkuat hasil penelitian Sugiyanto (1996) yang menyebutkan masih kuatnya
persepsi masyarakat pantai tentang nilai-nilai tradisional yang berlaku
terutama di desa belum maju, seperti “anak adalah karunia Tuhan” dan “banyak
anak banyak rezeki.” Gejala tersebut juga terlihat pada masyarakat pantai di
desa-desa maju.
Untuk faktor agama terlihat bukti
empiris pada program pengembangan ternak
babi, bahwa pada masyarakat Islam yang religiusitasnya tinggi, jaringan
komunikasi peternakan babi tidak akan berkembang dengan baik. Penyebabnya
adalah orang Islam tidak mau makan daging babi, karena ajaran agama melarangnya
(Rogers, 1995).
Pengaruh Jaringan Komunikasi terhadap
Psikologi dan Perilaku
Sekali suatu jaringan terbentuk maka
pada setiap hubungan komunikasi akan terjadi gerak atau perpindahan informasi
dari seseorang ke orang lain. Apabila
hubungan komunikasi telah terjadi sehingga pemindahan dan penerimaan informasi
telah berjalan, maka informasi tersebut akan mulai berpengaruh kepada
orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi tersebut. Secara garis besar pengaruh tersebut ada dua
macam, yakni pengaruh terhadap pola pikir (psikologi) dan pengaruh pada pola perilaku
(Lin, 1975). Contoh pengaruh psikologi adalah perubahan persepsi, retensi dan
sikap. Pendapat Lin ini didukung oleh
pernyataan Liliweri (2003) yang menyebutkan komunikasi merupakan pusat dari
seluruh sikap dan tindakan yang terampil (communication involves both attitudes
and skills) dari orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi.
Penelitian Kadusihin (dalam Burt, 1987) di tiga lokasi di
Amerika Serikat menemukan adanya hubungan antara “kepadatan hubungan”
(kepadatan jaringan komunikasi) dengan kesehatan mental. Penelitian ini
dilakukan terhadap orang-orang yang berusia antara 27-37 tahun yang pernah
terlibat pada Perang Vietnam.
Sedangkan studi jaringan komunikasi
yang menunjukkan adanya bukti kuat bahwa jaringan komunikasi sangat berpengaruh
terhadap perilaku manusia, di antaranya diungkapkan oleh Katz dan Mendel, dan
juga Coleman. Menurut Katz dan Mendel (Lin, 1975), mereka pernah membuktikan
bahwa para dokter yang melakukan adopsi terhadap obat-obatan baru adalah para
dokter yang berada pada jaringan komunikasi profesional. Coleman membuktikan
pula bahwa kecepatan penggunaan gammanym,
yaitu obat keras di kalangan dokter disebabkan oleh jaringan persahabatan di
kalangan dokter tersebut (Rogers,
1995). Kemudian, penelitian Rogers (1995) di Korea
Selatan juga mengungkapkan bahwa ibu-ibu
yang melakukan adopsi terhadap metode kontrasepsi ialah ibu-ibu yang berada
dalam jaringan komunikasi keluarga berencana.
Ilustrasi-ilustrasi bentuk jaringan
yang demikian banyak di masyarakat ini merupakan modal sosial yang harus
disikapi secara optimal. Modal sosial dimaksud
adalah (1) structural social capital,
berupa jaringan pengelompokkan yang struktural, perkumpulan, lembaga beserta
peraturan dan prosedur, dan (2) coqnitive
social capital, berupa sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan reciprocity (Tjondronegoro, 2005).
Pemuka Pendapat dan Jaringan Komunikasi
Seperti
pernah dijelaskan di atas, bahwa pemuka pendapat adalah orang yang mempunyai
pengaruh dalam suatu masyarakat walaupun dirinya tidak menduduki jabatan
formal. Adakalanya fungsi pemuka
pendapat ini dirangkap oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan formal sebagai
pemimpin.
Studi empiris mengisyaratkan adanya
petunjuk yang kuat bahwa orang yang mempunyai banyak hubungan dalam jaringan
komunikasi cenderung mempunyai informasi dan pengaruh yang besar. Pola-pola sosiometris, yaitu hubungan antar
anggota masyarakat juga membentuk secara teratur pola sentralisasi dan
kompetisi kepemimpinan (Pool, 1973).
Dengan demikian, orang yang banyak mempunyai informasi biasanya menjadi
pemuka pendapat, karena dia menjadi tempat bertanya orang banyak.
Peranan pimpinan informal atau
pemuka pendapat dalam mendorong masyarakat menerima suatu pembaruan adalah
sangat besar (Rogers,
1995). Pemimpin seperti ini mempunyai
peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga. Pemimpin
tertentu, khususnya pemimpin berkharisma, juga di masyarakat yang agak besar
diferensiasinya, dapat mempunyai pengaruh besar atas diterima atau ditolaknya
gagasan baru di berbagai bidang kehidupan (Schoorl, 1980). Hal ini dibuktikan misalnya pada penelitian
kasus yang terjadi di desa Oryuli di Korea Selatan, dimana kemajuan sosial
ekonomi di desa itu dicapai berkat adanya pimpinan informal atau pemuka pendapat
tersebut (Rogers,
1995).
Pemuka pendapat yang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap lingkungannya ini ada dua macam. Pertama, pemuka
pendapat yang polimorfik, yaitu
pemuka pendapat yang menjadi sumber untuk berbagai jenis informasi. Hal ini
sering dijumpai di daerah perdesaan di negara yang sedang berkembang,
dikarenakan pengetahuan orang-orang di perdesaan belum terspesialisasikan.
Sehingga seseorang yang mampu menjelaskan suatu masalah tertentu dianggap juga
mampu menjelaskan masalah-masalah yang lain.
Lain halnya dengan yang terjadi di negara yang sudah maju dan
terspesialisasi, sehingga pemuka pendapat hanya mampu menjadi sumber bagi satu
jenis informasi saja (pemuka pendapat monomorfik). Pemuka pendapat ini dipercayai baik karena
tingkat pendidikan, kekayaan maupun usianya. Di negara berkembang, usia sering
dianggap sebagai tanda memiliki pengalaman yang banyak. Beberapa studi seringkali menunjukkan bahwa
pemuka pendapat adalah orang yang kelas ekonominya lebih tinggi dari rata-rata
orang yang berada di sekitarnya atau para pengikutnya (Rogers, 1995).
Dari hasil beberapa penelitian
menunjukkan bahwa para pemuka pendapat cenderung berubah bila norma-norma
sosialnya juga berubah. Sebaliknya apabila norma-norma sosial cenderung tidak
berubah, maka para pemuka pendapat ini juga cenderung tidak inovatif (Rogers, 1995). Pada masyarakat yang norma sosialnya
bersifat tradisional, pemuka pendapat merupakan sekelompok orang yang terpisah
dari para inovator. Para
inovator dipandang dengan rasa curiga dan sering kali tidak dihormati oleh para
anggota masyarakatnya. Anggota
masyarakat tersebut tidak percaya terhadap penilaian mereka mengenai inovasi.
Studi Herzog et al. (Rogers,
1995) di desa di Brazilia menemukan bahwa tidak ada para pemuka pendapat maupun
pengikutnya yang inovatif apabila masyarakatnya tetap tradisional. Sebaliknya
pada masyarakat yang sangat modern, dimana norma sosialnya cenderung inovatif,
maka para pemuka pendapat dan pengikutnya juga cenderung inovatif. Dalam
masyarakat yang baru mengenal modernisasi, para pemuka pendapatnya akan
mengajak para pengikutnya untuk melaksanakan modernisasi dengan cara
melaksanakan dahulu gagasan-gagasan baru
tersebut (Rogers,
1995). Bahkan kegiatan penyuluhan yang
bermaksud meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kemauan warga dalam
menerapkan berbagai pembaruan, terlebih dahulu perlu diketahui, disyahkan dan
direstui oleh pemimpin informal (Havelock et
al., 1971).
Kelompok Peneliti lain yang dapat
dianggap sebagai pendahulu analisis jaringan komunikasi tentang informasi
berlangkah adalah Lazarfelds dan Katz.
Penelitian mereka menyimpulkan bahwa arus-arus informasi bergerak dalam
dua langkah. Pertama, dari media massa ke pemuka pendapat
sebagai pemindahan informasi, dan kedua dari pemuka pendapat ke para
pengikutnya sebagai langkah penyebaran informasi dan pengaruh (Katz,
1963). Begitu juga sumber informasi
dari saluran interpersonal, seperti penyuluh sering tidak dapat bekerja sendiri
dalam arti informasi pembaruan yang mereka sampaikan cenderung kurang diterima
oleh masyarakat, sehingga perlu bantuan “orang dalam” atau pemimpin mereka
untuk menyampaikannya. Penyuluh perlu bekerjasama atau memanfaat-kan pemimpin
pendapat ini (Chambers, 1987; Rogers, 1995).
Analisis Jaringan Komunikasi
Gonzalez (Jahi, 1993) menegaskan,
dalam jaringan komunikasi erat kaitannya dengan komunikasi interpersonal yang
menekankan pada seperangkat hubungan yang mungkin ada di antara
individu-individu yang terlibat dalam situasi tertentu. Hubungan yang demikian
ini dikenal dengan istilah personal
network. Analisis personal network dalam sistem sosial
disebut sebagai “analisis jaringan sosial.”
Sistem sosial yang dimaksud mungkin sebuah desa, perusahaan, kelompok
ataupun sebuah organisasi kompleks.
“Analisis jaringan komunikasi
merupakan suatu metode penelitian untuk
mengidentifikasi struktur komunikasi dalam sebuah sistem, dimana data yang
berhubungan dengan alur komunikasi dianalisis dengan berbagai tipe hubungan
interpersonal sebagai unit analisis” (Rogers dan Kincaid, 1981). Pengertian ini menunjukkan jaringan komunikasi
hanyalah alat, bukan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu penelitian jaringan.
Hasil yang diperoleh dalam analisis jaringan komunikasi berupa struktur dan
pola komunikasi dalam suatu sistem. Struktur yang dimaksud adalah elemen-elemen
yang berbeda, yang ditemukan pada alur komunikasi yang terpola dalam sebuah sistem,
atau untuk memahami “gambaran besar” interaksi antar manusia dalam sebuah
sistem (Rogers dan Kincaid, 1981).
Ada tiga bentuk analisis jaringan komunikasi
yang disarankan oleh Rogers
dan Kincaid (1981), yaitu:
(1) Identifikasi
dalam keseluruhan sistem dan mengetahui struktur sub kelompok yang mempengaruhi
perilaku dalam sistem.
(2) Identifikasi
peran-peran komunikasi tertentu yang spesifik, seperti liaisons, bridge dan isolate.
(3) Mengukur
beragam indeks struktur komunikasi, misalnya connectedness dan integration
untuk individu, dyadic, jaringan
personal, “klik” dan keseluruhan sistem.
Dalam suatu sistem sosial sering
ditemukan individu-individu yang lebih intensif berinteraksi satu sama lain
daripada dengan anggota sistem sosial lainnya, sehingga membentuk
kelompok-kelompok kecil dari kelompok sosial yang lebih besar.
Kelompok-kelompok kecil inilah yang disebut “klik” (Gonzales dalam Jahi, 1993).
Roger dan Kincaid (1981)
mendefinikan liaison sebagai
seseorang yang menghubungkan dua atau
lebih “klik” dalam suatu sistem, namun ia tidak menjadi anggota dari “klik”
manapun. Apabila individu yang berperan sebagai penghubung sekaligus menjadi
anggota “klik” maka disebut sebagai bridge. Isolated
adalah individu yang tidak menjadi anggota dalam suatu sistem sosial atau
individu yang tidak terlibat dalam jaringan komunikasi. Sementara connectedness ialah derajat atau tingkat
sebuah unit berhubungan dengan unit lainnya dalam suatu sistem sosial.
Sedangkan
integration adalah derajat atau
tingkat dari anggota-anggota jaringan sebuah unit yang menjadi fokus
berhubungan (linked) satu sama lainnya (Rogers dan Kincaid, 1981). Peran-peran komunikasi anggota kelompok
jaringan tersebut dilihat dari derajat keterhubungan atau integration dapat berupa mutual
pairs, neglectee dan star.
Mutual pairs adalah individu-individu
anggota kelompok jaringan komunikasi yang satu sama lain saling memilih sebagai
tempat bertanya sesuatu. Adapun neglectee adalah individu anggota
kelompok jaringan komunikasi yang pernah membicarakan, akan tetapi tidak pernah
diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok lainnya. Sedangkan star
adalah orang yang merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa orang
atau individu yang paling banyak dipilih oleh beberapa orang lain sebagai
tempat bertanya.
Menurut
Gonzalez (Jahi, 1993) untuk suatu kelompok yang kecil dan sedikit interaksi,
teknik sosiometri dapat digunakan untuk analisis jaringan komunikasi. Hasil
yang diperoleh berupa sosiogram yang merupakan ilustrasi hubungan “siapa
berinteraksi dengan siapa” atau menggambarkan interaksi dalam suatu jaringan
sosial, sangat berguna untuk menelusuri aliran informasi ataupun difusi suatu
inovasi.
Sosiometri
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur tingkat hubungan
interpersonal, yakni interaksi-interaksi sosial dari para anggota satu kelompok
(Vredenbregt dalam Suparman, 1987).
Sosiometri didefinisikan oleh Best (Suparman, 1987) sebagai cara untuk
mendeskripsikan hubungan-hubungan sosial antar orang-orang dalam suatu
kelompok. Sama seperti pendapat Gonzalez
di atas, Rogers
dan Kincaid (1981) pun menyatakan bahwa
sosiogram merupakan hasil dari analisis data kuantitatif tentang pola
komunikasi di antara orang-orang dalam sebuah sistem sosial dengan menanyakan
kepada siapa mereka berhubungan.
Dari pengertian-pengertian
sosiometri di atas, disimpulkan bahwa sosiometri merupakan sebuah metode
pengukuran hubungan-hubungan sosial yang ada di antara orang-orang dalam suatu
sistem sosial. Pengukuran ini dapat
diusahakan dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan sosiometri kepada responden
tergantung informasi atau pesan penyuluhan pembangunan yang menjadi topik atau
lingkup penelitian ini.
Metode analisis sosiometri yang
digunakan adalah sosiogram. Sosiogram adalah gambar yang menyajikan
pilihan-pilihan responden kepada responden lainnya, baik itu memilih, dipilih,
menolak dan ditolak. Dari penyajian
sosiogram ini diperoleh informasi adanya “klik,” penghubung, “isolate” atau penyempilan dan lain
sebagainya. Selain itu, setelah sosiogram terbentuk akan memudahkan mengetahui
indeks struktur komunikasi yang ingin dicari seperti derajat koneksi, integrasi
dan perbedaan individu. Di samping itu,
ada beberapa parameter lain yang dapat digunakan untuk menganalisis
keterlibatan seseorang dan mempelajari aliran informasi dalam jaringan
komunikasi, misalnya sentralitas global dan sentralitas lokal.
Model
jaringan komunikasi dalam penelitian ini adalah konvergen yang terbentuk karena
terjadinya komunikasi atau pertukaran informasi antar petani ternak anggota kelompok
ternak dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong. Peran-peran komunikasi peternak yang diamati
ialah peran sebagai mutual pairs, neglectee dan star.
Karakteristik Personal
Karakteristik
personal, yang sebagian peneliti menyebutnya sebagai karakteristik individu (individual
characteristic) merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki seseorang
yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik
tersebut terbentuk oleh faktor biologis yang mencakup genetik, sistem syaraf
serta sistem hormonal, dan faktor sosio-psikologis berupa komponen-komponen
konatif yang berhubungan dengan kebiasaan dan afektif (Rakhmat, 2001). Karakteristik individu menurut Newcomb, et al. (1978) meliputi umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan lain-lain. Hasil
penelitian Saleh (1984) menunjukkan bahwa karakteristik warga desa yang nyata
berhubungan dengan bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, keikutsertaan kursus, jumlah anggota usia kerja dan tingkat
penghasilan. Sedang Azwar (1997) dalam
bukunya menyebutkan bahwa karakteristik
individu yang menentukan perilakunya meliputi berbagai peubah seperti motif,
nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain. Adapun
Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan
ada tujuh unsur karakteristik individu, yaitu: pendidikan, tempat tinggal,
pekerjaan orangtua, kecakapan dalam manajemen, kesehatan, umur dan perilaku.
Rogers
(1995) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih terinci mengenai perbedaan
individu yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu: (1)
umur, (2) pendidikan, (3) status sosial ekonomi, (4) pola hubungan (lokalit
atau kosmopolit), (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan
sosial, (7) motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme (tidak adanya
kemampuan mengontrol masa depan sendiri) dan (10) dogmatisme (sistem kepercayaan yang
tertutup). Warner dan Lunt (1941)
melihat karakteristik personal pada kategori sosial yang ada di masyarakat yang
ditelitinya meliputi: pendapatan, sumber pendapatan, pendidikan, pekerjaan,
tempat tinggal dan organisasi yang diikuti.
Menurut
Kotler (1997) segmentasi khalayak dalam kampanye informasi publik dapat
didasarkan atas persamaan mereka dalam karakteristik bersama yang dapat
ditinjau secara: (1) geografik, (2) demografik, (3) behavioral dan (4)
psikografik. Karakteristik geografik
dapat berupa karakteristik wilayah tertentu, seperti sebuah desa, kecamatan,
kabupaten dan sebagainya. Karakteristik
demografik antara lain adalah: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penghasilan
dan pekerjaan. Segmentasi karakteristik behavioral
dalam hubungannya dengan isu tertentu juga dapat digunakan, misalnya,
petani-peternak dapat disegmentasikan atas dasar intensitas mereka mendengarkan
siaran perdesaan dari radio. Segmentasi
karakteristik psikografik dikembangkan atas dasar gaya hidup, bekerja dan menggunakan waktu
luang.
Geertz
(1986) pada hasil penelitiannya tentang dinamika sosial di sebuah desa kecil di
Jawa Timur yang diberi nama samaran Mojokuto melihat karakteristik personal
respondennya dengan parameter nominal berdasarkan aliran agama. Menurut Geertz,
karakteristik personal responden penelitiannya dikategorikan menjadi dua, yakni
kelompok santri yaitu orang-orang yang
menjalankan agama dengan konsekuen serta kelompok abangan adalah orang-orang
yang mengaku beragama Islam tetapi masih menjalankan praktek-praktek animistik
dan Islam sinkritik. Secara umum Blau (1975) dalam tulisannya yang berjudul
“beberapa parameter struktur sosial” (Parameters of Social Structure) menjelaskan
bahwa karakteristik personal untuk struktur sosial mempunyai dua tipe
parameter, yakni parameter nominal dan parameter graduate atau rasio. Contoh parameter nominal adalah jenis kelamin,
agama, ras, pekerjaan dan lingkungan. Sedangkan parameter graduate misalnya pendidikan, umur, pendapatan, prestise dan
kekuasaan (Blau, 1975).
Havelock et al. (1971) menyatakan bahwa peubah-peubah individual yang
mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah: kompetensi dan
penghargaan, kepribadian, nilai-nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman
dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan
sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi.
Rogers
dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa dalam penyebaran ide baru atau difusi
inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga
karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur,
pendidikan, status sosial dan skala usaha; (2) perilaku komunikasi meliputi
partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan
media massa dan (3) kepribadian, di antaranya empati, senang mengambil risiko
dan lain sebagainya. Heterogenitas
khalayak dapat merupakan kesulitan bagi komunikator dalam menyampaikan
pesan-pesannya, hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik individual
khalayak yang meliputi: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan,
pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita dan sebagainya
(Effendy, 2001). Lionberger (1960)
mengemukakan bahwa faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses difusi dan
adopsi inovasi antara lain adalah umur, tingkat pendidikan dan karakteristik
psikologiknya. Dilihat dari aktivitas
komunikasi, Burt (1987) menyatakan bahwa komunikasi akan lebih mudah dilakukan
antara orang-orang yang mempunyai hubungan bersifat homofili yaitu hubungan
karena adanya persamaan karakteristik personal seperti: usia, ras, pendidikan,
pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciri-ciri yang
mencerminkan karakteristik individu dapat berbeda-beda, tergantung pada
penekanan masing-masing. Dengan kata
lain, pilihan karakteristik personal tertentu tergantung pada tujuan penelitian
yang hendak dilakukan. Misalnya, sejauhmana karakteristik personal yang dipilih
tersebut dapat menjelaskan hubungan antara keterkaitannya dengan keterdedahan
terhadap media massa,
keterlibatan dalam jaringan komunikasi dan distorsi informasi tentang pesan
penyuluhan sapi potong. Karakteristik
personal yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: pendidikan formal, kelas
ekonomi dan pemilikan media massa
serta perilaku komunikasi interpersonal informal dan keterdedahan media massa (radio, televisi
dan suratkabar). Pada penelitian ini
karakteristik personal, termasuk keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal
informal dijadikan peubah bebas terhadap keterlibatan anggota komunitas
(kelompok ternak) dalam jaringan komunikasi sapi potong.
Perilaku
Komunikasi atau Keterdedahan Media Massa
Pandangan tentang perilaku komunikasi warga masyarakat desa, sangat
dipengaruhi oleh teori aliran komunikasi massa
yang berlaku. Hasil penemuan studi-studi awal komunikasi menunjukkan bahwa
perilaku komunikasi pemuka masyarakat tidak banyak berbeda dengan perilaku
komunikasi warga masyarakat lainnya.
Mereka umumnya pasif dan tinggal menerima saja informasi yang
dihantarkan oleh media massa.
Menurut
studi-studi ini, aliran informasi dari sumber ke penerima, selalu bersifat
langsung, segera dan sangat menentukan terhadap khalayak penerima. Studi-studi
ini menghasilkan suatu model pendekatan yang sifatnya searah (Rogers, 1995;
Tubbs dan Moss, 2000), yang sering dikemukakan sebagai model jarum suntik (Hypodermic
Needle Model). Media massa
merupakan gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik khalayak penerima yang
pasif. Model ini sering disebut dengan
istilah teori peluru (Bullet Theory) atau Mechanistic
Stimulus Response Theory dari De Fleur (De Fleur dan Rokeach, 1982). Teori
ini menganggap bahwa komunikasi massa
memiliki kekuatan yang besar.
Menurut
model ini, setiap anggota khalayak menerima pesan langsung dari sumber suatu
medium tertentu. Apabila suntikan
tersebut cukup kuat, maka akibat yang dapat ditimbulkan suntikan tersebut pada
khalayak penerima adalah terpengaruh untuk bertindak menurut isi pesan yang
dikomunikasikan (Tubbs dan Moss, 2000). Jadi, komunikasi yang terjadi dapat
terlihat seperti peluru yang menghantarkan gagasan, perasaan atau pengetahuan,
atau motivasi hampir secara otomatis dari satu individu ke individu lain
(Schramm dan Roberts, 1974).
Kemudian, Lazarsfel dan Menzel (dalam Depari dan MacAndrews, 1998) melalui
studi penelitiannya untuk mengetahui seberapajauh media massa berperan dalam perubahan, membuktikan
bahwa hal tersebut tidak benar. Pengaruh media massa pada khalayak yang ditujunya tidaklah
sedemikian kuat, seperti apa yang kita bayangkan. Seperti, keperkasaan media
yang dipakai oleh Nazi antara 1930-1940 sebagai propaganda terhadap rakyat yang
mampu menggiring berjuta-juta orang untuk turut dalam perjuangan mereka di
Jerman Nazi. Atau penyiaran sandiwara radio
tentang “invasi dari Mars oleh Orson Welles tahun 1938” yang benar-benar
hidup sehingga menyebabkan ribuan orang menjadi panik di seluruh Amerika
Serikat (Lane dan David dalam Schramm
dan Roberts, 1974).
Ternyata menurut De Fleur dan Rokeach (1982)
masih ada sumber lain yang sifatnya interpersonal pada khalayak penerima, di samping
media massa. Sumber pengaruh ini tak lain adalah pemuka
pendapat atau pemuka masyarakat setempat (Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Pemuka-pemuka
masyarakat itu melalui hubungan personal sehari-hari mempengaruhi orang-orang
lain dalam pembuatan keputusan dan pembentukan opini (Wright dalam Tubbs dan Moss, 2000).
Hasil
penemuan ini kemudian digunakan oleh peneliti-peneliti komunikasi massa pada waktu itu
untuk mengembangkan model aliran pesan komunikasi massa yang lain, yaitu model aliran pesan
komunikasi dua tahap (two step flow of communication).
Menurut
model ini ada tiga kemungkinan aliran pesan sampai ke khalayak penerima. Pertama,
pada banyak kesempatan, informasi diteruskan dari berbagai media massa (melalui radio, televisi
dan media cetak) dan diterima oleh pemuka pendapat. Pemuka-pemuka tersebut
mempelajari dan menyaring informasi yang telah diterima dari media massa itu, kemudian
diteruskan kepada orang-orang lain yang berada dalam kawasan pengaruhnya (De
Fleur dan Rokeach, 1982; Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Rogers (1995) selanjutnya mengungkapkan bahwa
tahap pertama aliran informasi dari sumber kepada pemuka-pemuka masyarakat
umumnya merupakan transfer informasi, sedangkan tahap kedua, dari pemuka
masyarakat kepada pengikut-pengikutnya melibatkan juga penyebaran pengaruh.
Kedua, informasi yang tersebar melalui radio, televisi
dan media cetak dan diterima oleh kelompok pendengar, pemirsa dan pembaca
(forum media/farm forum); dan
tersebar kepada orang-orang lain atau ke masyarakat.
Ketiga, informasi yang tersebar dari iklan melalui
radio, televisi atau suratkabar dan diterima oleh pendengar, penonton atau
pembaca; dan tersebar ke masyarakat atau individu-individu lainnya.
Hal
di atas, yaitu uraian tentang two-step-flow
secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengaruh media massa tidaklah sedemikian kuat dan selangsung
apa yang pernah diperkirakan orang.
Sehingga peneliti-peneliti komunikasi massa mulai berpikir bahwa efek-efek media
diperantarai (mediated) oleh peubah-peubah lain, dan karenanya hanya
sedang-sedang saja dalam kekuatannya
atau kekuasaannya (Littlejohn, 1996). Salah satu di antaranya adalah
peubah keterdedahan/terpaan media massa
(selective exposure dan perception exposure).
Seseorang
boleh saja terdedah pada suatu gagasan baru, baik melalui media massa maupun melalui
saluran interpersonal, dan kemudian terlibat dalam pertukaran informasi tentang
pesan tersebut dengan rekan-rekannya (Rogers,
1995).
Studi
berikut menyarankan agar kita lebih reseptif pada kenyataan bahwa aliran pesan
komunikasi massa
itu, tidak hanya terbatas pada dua tahap saja, melainkan banyak tahap. Mencakup
semua model tahapan komunikasi. Model ini menunjukkan terdapat banyak variasi
dari penyebaran pesan-pesan dari sumber informasi kepada khalayak penerima. Hal ini dikemukakan karena pemuka-pemuka
masyarakat itu boleh jadi berkomunikasi dengan orang-orang lain yang mereka
anggap sebagai pemuka masyarakat juga (Tubbs dan Moss, 2000), atau membandingkan
isi media itu dengan isi media lainnya.
Akhir-akhir
ini, ahli-ahli komunikasi semakin memperkirakan bahwa khalayak komunikasi massa tidak lagi sebagai
khalayak yang pasif, penurut dan terisolasi, melainkan lebih sebagai khalayak
yang aktif dan tidak mudah dikontrol. Hal ini digambarkan oleh Schramm (Tubbs
dan Moss, 2000) sebagai berikut:
“suatu
khalayak yang sangat aktif mencari apa yang ia inginkan, lebih banyak menolak
daripada menerima isi komunikasi, berinteraksi baik dengan anggota-anggota
kelompok yang diikutinya maupun dengan isi media yang diterimanya, dan sering
menguji isi media massa yang diterimanya dengan jalan mendiskusikannya dengan
orang-orang lain ataupun membandingkannya dengan isi media lainnya.”
Namun demikian, sampai saat ini
peneliti-peneliti komunikasi masih tetap mendalami dalam hal apa khalayak
tersebut aktif. Informasi yang didapat
kemudian menunjukkan bahwa khalayak itu jelas memiliki kemampuan untuk memilih
saluran komunikasi yang akan digunakan.
Ia menentukan apa yang akan didengar, dilihat dan dibacanya. Misalnya, ia akan membeli suratkabar
pilihannya dan akan menonton program televisi yang disenanginya (Tubbs dan
Moss, 2000). Kemudian, bagaimana ia
meneruskan apa yang dilihat, didengar dan dibaca tersebut kepada orang-orang
lain di sekitarnya.
Apa yang diuraikan di alenia di atas, kemudian dijelaskan
melalui fenomena “selective exposure,”
yaitu kecenderungan untuk lebih menyukai keterdedahan pada komunikasi yang
sesuai dengan sikap dan opini seseorang (Sears dan Freedman dalam Schramm dan Roberts, 1974; Tubbs
dan Moss, 2000; dan Rogers, 1995).
Ditambah dengan kemudahan aksesibilitas dan meningkatnya kepemilikan
media massa
maka penelitian ini memfokuskan amatannya pada perilaku komunikasi impersonal, berupa
perilaku keterdedahan responden peternak sapi potong pada media massa radio, televisi dan
suratkabar.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Kemampuan
masyarakat (peternak) untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului
oleh suatu proses belajar untuk memperoleh dan memahami informasi, kemudian
memprosesnya menjadi pengetahuan tentang
adanya kesempatan-kesempatan bagi dirinya, melatih diri agar mampu berbuat, dan termotivasi agar mau benar-benar bertindak (Slamet,
2003). Kegiatan proses belajar tentang sesuatu program dapat mencapai hasil
yang baik dalam waktu yang lebih singkat, diperlukan usaha-usaha khusus yang
bersistem dan berstrategi di bidang pendidikan non-formal. Lingkup tugas tersebut merupakan kerja Penyuluhan, yang merupakan pendidikan non-formal untuk semua orang, untuk
menolong dirinya sendiri, melalui belajar sambil bekerja dan dengan melihat
menjadi yakin secara kontinyu untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Lionberger
dan Gwin, 1982; Dahama dan Bhatnagar, 1985).
Sebagai
suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan tidak akan pernah berdiri sendiri.
Slamet (2003) menegaskan bahwa praktek penyuluhan pembangunan di lapangan jelas
sekali menuntut pendekatan interdisiplin. Menurut beliau, pembangunan pertanian
di Indonesia
dapat berhasil karena sejak semula menggunakan pendekatan interdisiplin
ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi yang dirangkum oleh ilmu
penyuluhan pembangunan (Slamet, 1992; Slamet, 2003).
Lebih
lanjut, Slamet (2003) mensinyalir bahwa para petani Indonesia sebagai khalayak sasaran
penyuluhan pembangunan telah berubah secara nyata. Pada umumnya profil populasi
petani Indonesia
juga telah berubah secara positif. Secara makro populasi petani telah menjadi
lebih kecil jumlahnya secara persentil tetapi lebih tinggi kualitasnya, yang
ditandai oleh lebih baiknya tingkat pendidikan mereka, lebih mengenal kemajuan,
kebutuhannya meningkat, harapan-harapannya juga meningkat, serta pengetahuan
dan keterampilan bertaninya juga telah jauh lebih baik. Para
petani kini telah memiliki pola komunikasi yang terbuka. Mereka telah lebih
mampu berkomunikasi dengan orang-orang dari luar sistem sosialnya, dan telah
lebih mampu berkomunikasi secara
impersonal melalui berbagai media massa
(Slamet, 1995; Kasryno, 1995; dan Slamet, 2003). Pernyataan yang dikemukakan Slamet dan
Kasryno ini sebenarnya telah diungkapkan oleh Hagen (1962), bahwa berubahnya petani dalam
berusahatani disebabkan karena berubahnya pengetahuan petani, pengetahuan itu
sendiri banyak dipengaruhi oleh fungsi informasi. Dalam kaitan ini pengaruh
media massa
seperti siaran radio, televisi, suratkabar dan berbagai terbitan lainnya, dapat
mendorong lebih cepatnya penerimaan gagasan dan teknologi baru yang disampaikan
dalam penyuluhan pembangunan pertanian, di samping interaksi sosial secara
langsung.
Dari
ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku komunikasi petani, termasuk
dalam hal ini peternak sapi potong dalam mengikuti kegiatan penyuluhan diduga
telah bergeser, yang dulunya dominan memanfaatkan informasi penyuluhan melalui
saluran komunikasi interpersonal lewat sistem penyuluhan “tetesan minyak”
bersifat top down ke sistem
penyuluhan “LAKU” (latihan dan
kunjungan), dan kini diduga sudah lebih memanfaatkan atau “terdedah” informasi penyuluhan
melalui media massa.
Komunikasi sebagai gejala sosial yang turut
membentuk perilaku dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yaitu pertama: faktor
struktural yang di dalamnya termasuk aspek karakteristik personal, pelapisan
sosial, dan ketersediaan sarana-prasarana yang memberikan kemudahan mendapatkan
informasi (accessibility). Kedua, adalah
penerimaan informasi (acceptability) menyangkut aspek kultural
(kebudayaan). Jadi keberhasilan
komunikasi ditinjau dari ada tidaknya hambatan struktural (karakteristik
personal) dan penerimaan (kultural).
Dari
kerangka berpikir di atas dapat dilakukan eksplorasi teoritikal mengenai
kasus-kasus yang menimbulkan gagasan untuk melakukan penelitian mengenai
karakteristik personal dikaitkan dengan tingkat pengunaan media massa dan jaringan
komunikasi di perdesaan. Pertama, mengapa penelitian komunikasi yang
menjadi fokus pengamatan? Karena, ingin
melihat bagaimana pola jaringan komunikasi di antara peternak sapi potong. Apakah
benar telah terjadi perubahan perilaku pada khalayak sasaran penyuluhan ke arah
perilaku komunikasi impersonal. Diduga telah terjadi pergeseran tingkat
pemanfaatan media massa
oleh peternak untuk mendapatkan informasi.
Dalam penelitian ini “pergeseran” dilihat dari perbedaan
penggunaan media komunikasi oleh peternak maju dibandingkan dengan peternak
kurang maju. Peternak kurang maju, kurang memanfaatkan media massa dalam mendapatkan informasi dan lebih
mengandalkan media interpersonal.
Sebaliknya, peternak maju tingkat pemanfaatan media massanya lebih besar
dibandingkan pada peternak kurang maju dalam mendapatkan informasi. Kedua, karena metode penelitian ini
menggunakan hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisis, maka
jaringan komunikasi dapat juga dijadikan peubah yang turut diamati sebagai peubah
terikat. Ketiga, peubah terikat lain yang juga ingin dipelajari adalah
perubahan informasi yang terjadi pada kegiatan penyuluhan sapi potong, diukur
berdasarkan peubah distorsi pesan.
Mengingat obyek studi mengenai jaringan komunikasi ini adalah seluruh
partisipan kelompok peternak, maka karakteristik peternak tersebut otomatis
dapat diartikan juga sebagai pelapisan sosial.
Pelapisan di sini atau karakteristik personal haruslah dipandang sebagai
suatu kontinum agar dapat diuji secara statistik, untuk melihat perbedaan
kategori karakteristik personal mana yang menghalangi komunikasi antara anggota
jaringan komunikasi dengan orang-orang yang tidak menjadi anggota jaringan
komunikasi.
Rogers (1995) menyatakan bahwa jaringan komunikasi
akan lebih mudah terbentuk di antara orang-orang yang mempunyai persamaan
atribut. Faktor karakteristik personal yang diduga mempengaruhi jaringan
komunikasi tersebut adalah: pendidikan formal, kelas ekonomi dan
kepemilikan media massa.
Faktor tingkat pemanfaatan media massa
oleh peternak dilihat berdasarkan perilaku keterdedahan media massa (media exposure) meliputi: keterdedahan
terhadap siaran radio, televisi dan suratkabar) dalam mencari dan menerima
informasi. Adapun faktor perilaku responden dalam memanfaatkan media
interpersonal dilihat dari perilaku komunikasi interpersonal peternak sapi
potong dalam mencari, menerima, mengklarifikasi dan menyebarkan terpaan pesan
dari media massa
atau diperoleh dari sumber interpersonal lain. Ketiga faktor ini diduga
berhubungan dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi
sapi potong. Dimana ketiga faktor tersebut pada penelitian ini dijadikan
sebagai peubah bebas. Walaupun demikian, diduga karakteristik personal pun
berhubungan dengan perilaku keterdedahan media massa dan perilaku memanfaatkan media
interpersonal. Keterkaitan antar
peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok
dalam jaringan komunikasi penyuluhan ini, digambarkan dalam model penelitian
seperti tersaji pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Kerangka berpikir model hubungan berbagai peubah penelitian
Desa lokasi penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai “desa terbuka.” Artinya mudah disentuh oleh berbagai
macam informasi yang berasal dari luar desa, karena adanya berbagai prasarana
dan fasilitas media massa.
Prasarana tersebut misalnya jalan aspal, fasilitas kesehatan, pasar dan
koperasi (KUD). Sarana pelayanan ini
juga menjadi ajang tempat pertemuan untuk saling tukar-menukar informasi bagi
orang-orang yang saling berjumpa di tempat-tempat tersebut.
Selain
media massa, “informasi” yang sampai ke warga masyarakat di lokasi penelitian
lewat saluran birokrasi desa, penyuluh lapangan, pedagang, pemodal, pendamping,
ketua kelompok, melalui sesama anggota kelompok, rumah ibadah dan sebagainya.
Dengan
adanya berbagai prasarana, media massa
dan berbagai lembaga yang mampu menyalurkan berbagai informasi tersebut, maka
desa lokasi penelitian ini dapatlah dikatakan penyaluran informasinya sejalan
dengan model komunikasi banyak tahap. Kelemahan model ini adalah tidak mampu
menggambarkan orang-orang yang tidak terlibat pada jaringan komunikasi
interpersonal dan tidak dipengaruhi oleh
pemuka pendapat, tetapi selalu nampak pada hampir setiap penelitian yang
menggunakan metode analisis jaringan komunikasi. Mereka ini juga perlu dikenai atau disentuh
informasi, atau bahkan yang paling membutuhkan informasi untuk dapat serta
memanfaatkan fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh pemerintah dalam
rangka pembangunan perdesaan.
Orang-orang inilah yang disebut sebagai pemencil (Rogers dan Kincaid,
1981). Untuk memperjelas proses
terjadinya jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok ternak di desa
penelitian, Gambar 3 berikut ini mencoba memvisualisasi proses pembentukan
jaringan tersebut yang mampu menggambarkan para pemencil jaringan komunikasi
yang diteliti.
TAHAP PERTAMA TAHAP KEDUA
(1) (2) (3)
Sebelum
terkena Sesudah terkena Jaringan
yang terbentuk
informasi
informasi setelah terkena
informasi
Gambar
3. Proses pembentukan jaringan
komunikasi
Ilustrasi (1) dan (2) adalah kepala
keluarga belum membentuk jaringan komunikasi. Pada ilustrasi (2) kepala
keluarga sudah mendapat informasi, yang kemungkinan diperoleh dari berbagai
macam saluran, forum dan media.
Sedangkan ilustrasi (3) terlihat sejumlah kepala keluarga peternak sapi
potong membentuk jaringan komunikasi dengan cara bertanya kepada orang-orang
yang dipercayainya sebagai usaha konfirmasi atas informasi yang didapatnya.
Dari
Gambar 3 terlihat bahwa hanya sebagian dari warga desa atau anggota kelompok
peternak yang memberikan respons terhadap informasi yang diterimanya dari
berbagai saluran dengan mencari tambahan informasi atau mengonfirmasikan
informasi tersebut kepada jaringan sosialnya.
Orang-orang inilah yang kemudian menjadi anggota jaringan komunikasi
yang mendapatkan tambahan informasi melalui jaringan sosialnya. Sedangkan sebagian lagi tidak berusaha
menanyakan kembali atau mengonfirmasikan informasi yang telah mereka terima.
Dalam kerangka teori, studi empirik
menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai banyak hubungan cenderung memiliki
informasi dan pengaruh yang besar.
Orang-orang ini disebut sebagai pemuka pendapat. Tentu saja hal ini juga berlaku di desa
lokasi penelitian, dimana masyarakat desa di Jawa umumnya menggunakan orientasi
nilai paternalistik yang menyebabkan peranan pemuka pendapat sangat besar dalam
derap dinamika masyarakat. Terutama dalam hal pengambilan keputusan, dimana
orang-orang cenderung membentuk pola jaringan komunikasi yang memusat kepada
orang-orang tertentu, yaitu mereka yang kelas ekonominya relatif lebih tinggi
dan memiliki semacam kredibilitas karena dianggap mengetahui atau memang
memahami hal-hal yang ingin diketahui oleh anggota masyarakatnya. Di samping itu, karena jaringan komunikasi
sapi potong yang diteliti ini merupakan program pemerintah, maka yang menjadi
pemuka pendapat semestinya cenderung pula adalah orang-orang yang juga
mempunyai status formal. Karena desa
yang dipilih sebagai lokasi penelitian bukan termasuk desa dengan masyarakat
sudah maju, maka pemuka pendapatnya cenderung bersifat polimorfik. Artinya, seorang pemuka pendapat dapat
menjadi sumber informasi lebih dari satu jenis informasi. Hal ini dimungkinkan karena pemuka pendapat ialah
orang yang mobilitas dan kontak sosialnya tinggi.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis
utama yang diuji dalam penelitian ini adalah “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk
mendapatkan informasi.” Dengan melihat asumsi pada kerangka berpikir di
atas yang menyebutkan, peternak sapi potong dalam penelitian ini dibagi menjadi
dua golongan yakni “peternak kurang maju” dan “peternak maju” sebagai pengganti
dimensi waktu. Dimana indikasi perbedaan pemanfaatan media massa antara peternak maju dan kurang maju,
menunjukkan pergeseran tingkat pemanfaatan
media massa.
Termasuk perbedaan di antara masing-masing kategori berdasarkan tingkat
pendidikan formal dan status ekonomi peternak sapi potong dalam memanfaatkan
media massa
untuk mendapatkan informasi, merupakan indikator terjadinya pergeseran pemanfaatan
media massa. Sehingga pengujian hipotesis pertama di atas,
dapat ditunjukkan oleh hipotesis kerja sebagai berikut:
H1a
= adanya perbedaan nyata tingkat
pemanfaatan media massa
untuk mendapatkan informasi antara peternak maju dengan kurang maju.
H1b
= di
antara masing-masing peubah personal (tingkat pendidikan, kelas ekonomi,
pemilikan media massa)
dan perilaku pemanfaatan media interpersonal peternak, terdapat perbedaan nyata
tingkat pemanfaatan media massa
untuk informasi dari lokasi yang berbeda.
Selain
hipotesis utama di atas, dari kerangka berpikir tentang keterkaitan antar
peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok
dalam jaringan komunikasi sapi potong, dirumuskan pula beberapa hipotesis kerja
sebagai berikut:
H2 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik
personal dengan keterdedahan media massa.
H3 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik
personal dengan perilaku komunikasi interpersonal informal.
H4 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal
dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong.
H5 = Terdapat hubungan nyata antara perilaku
komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam
jaringan komunikasi sapi potong.
H6 = Terdapat hubungan nyata antara keterdedahan
media massa
dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong.
H7 = Terdapat hubungan nyata antara peran
komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan
distorsi informasi.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
Populasi dalam penelitian ini ialah kepala
keluarga peternak sapi potong yang terhimpun dalam kelompok peternak, yang
berdomisili dan berusaha di tiga kabupaten yakni Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat;
Kabupaten Sukohardjo, Jawa Tengah dan Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Penentuan
tiga kabupaten dan penentuan kelompok terpilih dilakukan berdasarkan pada
tingkat kemajuan kelompok peternak sapi potong.
Data tingkat kemajuan kelompok peternak tersebut diperoleh dari
Direktorat Jenderal Peternak (Ditjenak) Departemen Pertanian RI.
Kabupaten Sukabumi dipilih karena termasuk
kategori kabupaten yang kelompok peternaknya relatif baru dan belum maju.
Alasan pertimbangan lain dipilihnya Kabupaten Sukabumi adalah karena kabupaten
ini memiliki motto untuk menjadikan “Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten
peternakan,” dan telah merancang untuk mengembangkan Pembangunan Kawasan
Agribisnis Terpadu Ternak Sapi Potong di wilayah Sukabumi Selatan. Kecamatan terpilih
di Kabupaten Sukabumi ini adalah Kecamatan Nyalindung dan Kecamatan Surade.
Sedangkan kelompok peternak terpilih di
Kabupaten Sukohardjo dan Gunung Kidul termasuk kategori kelompok “utama” atau
sudah maju dan pernah jadi juara lomba ternak sapi potong tingkat nasional.
Baik di Kabupaten Sukohardjo maupun Gunung Kidul diambil satu kecamatan
terpilih yakni Kecamatan Polokarto dan Gedangsari, dimana di masing-masing
kecamatan tersebut terdapat kelompok peternak sapi potong pemenang Lomba
Agribisnis Ternak Sapi Potong tingkat Nasional pada tahun 2003.
Sampel
Sampel berasal dari populasi yang tersebar
di empat kecamatan terpilih diambil sebanyak 125 responden, yang mewakili
kelompok peternak sapi potong yang sudah eksis (maju) yakni dari dua kelompok peternak sapi potong, satu dari Desa
Ngalang Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul dan satu lagi dari Desa
Mranggen Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo; dan dua kelompok dari
kelompok peternak sapi potong yang relatif baru, dari Desa Cisitu Kecamatan
Nyalindung dan dari Desa Jagamukti Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.
Penentuan besarnya sampel yang mewakili
populasi sebanyak 125 orang ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan nonteknis.
Pertimbangan teknis dilihat berdasarkan (a) variabilitas atau derajat keragaman
data yang dipelajari, (b) tingkat kepercayaan dalam angka estimasi yang
dihasilkan, (c) presisi atau batas penyimpangan yang bisa ditolerir dalam angka
estimasi, dan (d) rencana analisis data. Sedangkan pertimbangan nonteknis berupa
efisiensi biaya, keterbatasan tenaga peneliti dan waktu yang tersedia
(Scheaffer et al., 1992). Perhitungan Penetapan jumlah sampel dilakukan
atas pertimbangan ragam (varians =2) yang didapat di lapangan (diambil dari peubah
yang paling besar sebagai pembatas) yakni dari data kelas ekonomi pada selang
kepercayaan 90% bagi a. Secara umum untuk menghitung nilai n atau penarikan jumlah sampel adalah
sebagai berikut:
|
Keterangan:
n = Jumlah peternak yang dijadikan contoh
= Taraf nyata
2 = Ragam
z =
Nilai peubah untuk normal baku
a = Konstanta
sehingga a merupakan selang kepercayaan (1-)
Untuk memperoleh akurasi yang tinggi, secara teori
nilai a harus kecil sehingga
diperoleh nilai n relatif besar.
Berdasarkan rumus di atas, dengan menggunakan selang kepercayaan dugaan
90% (yang diambil dari tabel z =1,645) diperoleh nilai
(4,04632E+15)
n = (1,645)2 --------------------- = 109 orang.
Agar n data cukup layak/ mewakili
(10.000.000)2
(representativeness), diambillah jumlah sampel
dalam penelitian ini sebanyak 125 responden peternak, dengan mempertimbangkan
kemungkinan adanya pencilan dan keragaman yang tinggi.
Desain Penelitian
Untuk
memetakan (mapping) jaringan komunikasi, diambil dua kelompok peternak sapi
potong yang maju (“sedyo rukun” atau
Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul dan kelompok “subur” atau Polokarto Kabupaten
Sukohardjo) dan dua kelompok belum maju (Cisitu dan Surade) sebagai unit
contoh. Contoh ini diambil dengan teknik “sampling
intact system” (Rogers dan Kincaid, 1981).
Dengan metode “intact system”
ini, semua individu dalam setiap kelompok peternak sapi potong sebagai suatu
sistem sosial adalah sebagai responden.
Penelitian
ini dirancang sebagai penelitian survei
deskriptif korelasional. Sedangkan pemetaan jaringan komunikasi menggunakan
kajian analisis jaringan komunikasi
yang dilakukan dengan pembuatan matriks hubungan komunikasi yang berasal dari
hasil pertanyaan sosiometris. Dari
matriks tersebut dibuat sosiogram jaringan komunikasi sapi potong.
Dipilihnya
metode analisis jaringan komunikasi, karena metode ini dapat dengan jelas
mendeskripsikan jaringan komunikasi dengan sosiogram. Metode ini bertitik tolak
dari analisis konvergensi yang berlandaskan pada teori cybernetic, yakni teori yang memandang tingkah laku manusia dari
perspektif sistem-sistem (Rogers dan Kincaid, 1981). Teori ini beranggapan
bahwa perilaku seseorang akan lebih ditentukan oleh relasi-relasi sosialnya
daripada ciri-ciri individunya.
Sedangkan
analisis korelasional digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang diduga
berhubungan dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi
potong. Faktor yang diduga berhubungan
secara nyata dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi
tersebut adalah tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa, serta perilaku
komunikasi interpersonal yang digunakan dan keterdedahan media massa (radio, tv dan suratkabar). Termasuk melihat keterkaitan hubungan
karakteristik personal terpilih dengan pemanfaatan media massa maupun
pemanfaatan media interper-sonal, hubungan peran komunikasi anggota kelompok
dalam jaringan komunikasi dengan tingkat informasi yang dimiliki (distorsi
pesan), hubungan kelas ekonomi dengan
pemusatan jaringan komunikasi, serta hubungan kelas ekonomi dengan macam kepemimpinan
komunikasi pemuka pendapat.
Data dan Instrumentasi
Data
Dalam penelitian ini ada dua jenis data
yang diambil, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data
kuantitatif, yakni data yang berkaitan dengan peubah bebas berupa karakteristik
personal terpilih, saluran komunikasi interpersonal yang digunakan dan keterdedahan media massa, dan data peubah
terikat berupa peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi penyuluhan
sapi potong dan distorsi; serta data kualitatif (soft data) berupa hasil
wawancara mendalam (indepth interview) kepada responden dan informan, dimana
informasi dikumpulkan dengan alat tape
recorder.
Data sekunder meliputi kondisi umum
wilayah penelitian, data ternak dan kelompok peternak serta data yang relevan
dengan penelitian ini yang diperoleh dari kantor desa/kecamatan lokasi
penelitian dan kantor dinas peternakan maupun KIPP (Kantor Informasi dan
Penyuluhan Pertanian) Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sukohardjo dan Kabupaten
Gunung Kidul, UPP (Unit Penyuluhan Pertanian) dan KCD (Kepala Cabang Dinas)
kecamatan lokasi penelitian. Di samping
itu dilakukan studi literatur, diskusi dan observasi lapangan untuk memperoleh
gambaran wilayah, situasi dan kondisi lokasi penelitian.
Data
primer yang dikumpulkan terdiri dari:
1.
Karakteristik personal terpilih yang meliputi:
pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa.
2.
Perilaku komunikasi interpersonal yang digunakan,
berupa aktivitas interaksi peternak secara individu dengan pembina, penyuluh,
pejabat dinas peternakan dan pejabat terkait lainnya, pedagang, pemodal dan
pendamping, atau dengan sesama peternak, kontak tani dalam bentuk komunikasi
tatap muka. Perilaku komunikasi
interpersonal dalam hal ini meliputi: perilaku menerima, mencari,
mengklarifikasi atau mendiskusikan dan menyebarkan informasi tentang sapi
potong.
3.
Keterdedahan media massa yang meliputi: perilaku komunikasi
peternak dalam mencari atau mendapatkan informasi dari siaran radio, televisi
dan suratkabar.
4.
Data
jaringan komunikasi yang terdiri atas sosiogram yang mengandung indikasi jenis
jaringan, arah arus informasi, anggota jaringan, pemencil, tingkat informasi
masing-masing individu baik yang menjadi anggota jaringan, orang yang mempunyai
posisi sebagai pemuka pendapat, orang yang berposisi sebagai pengikut pemuka
pendapat, jaringan utama dan sub-sub jaringannya. Peran-peran Komunikasi yang
diamati dari sosiogram jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong ini meliputi:
mutual pairs, neglectee dan star.
Instrumentasi
Untuk
keperluan pengumpulan data diperlukan alat bantu kuestioner berupa daftar
pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati terhadap objek
penelitian. Kuestioner terdiri atas tiga
bagian yakni bagian pertama mengidentifikasikan karakteristik personal, bagian
kedua untuk memperoleh data tentang perilaku komunikasi interpersonal dan
keterdedahan media massa,
serta bagian ketiga untuk memperoleh data tentang jaringan komunikasi dan distorsi. Beberapa data tambahan untuk pendalaman
dikumpulkan melalui interview dan observasi
ke lokasi penelitian.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen. Penentuan validitas dan reliabilitas
instrumen dilakukan dengan uji coba kuestioner.
Uji coba kuestioner dilakukan terhadap peternak yang memiliki ciri-ciri
relatif sama dengan peternak yang dijadikan sampel penelitian. Pelaksanaan uji coba dilaksanakan dari tanggal
1-10 Desember 2004 di Desa Nyalindung dan Desa Kertaangsana Kecamatan
Nyalindung Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengumpulan data uji coba
dilaksanakan melalui wawancara langsung dengan 30 peternak.
Validitas Instrumen. -- Validitas instrumen merupakan suatu
tingkat keabsahan kuestioner sebagai alat ukur untuk menunjukkan sejauhmana
instrumen tersebut benar-benar mengukur apa yang seharusnya ia ukur (Kerlinger,
1986; Rakhmat, 2005, Wimmer dan Dominick,1983). Pengukuran validitas instrumen
diarahkan ke validitas isi atau “content
validity,” yakni sejauhmana isi alat pengukur tersebut memadai mewakili
semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep, dan diarahkan ke
validitas konstrak atau “construct
validity,” yaitu dengan melihat faktor-faktor apa yang dapat menerangkan
keragaman (varians) sesuatu yang diukur
(Kerlinger, 1986).
Untuk mencapai validitas instrumen,
maka langkah yang biasa dilakukan adalah: (1) menentukan peubah-peubah apa yang
mungkin berhubungan dengan sesuatu yang menjadi pokok pengamatan, (2)
menyesuaikan dengan apa yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk
mendapatkan data yang sesuai, (3) menjadikan teori-teori dan kenyataan yang
telah diungkapkan pada berbagai kepustakaan sebagai dasar membangun instrumentasi, (4) menyesuaikan isi pertanyaan/pernyataan
dengan keadaan peternak dan lingkungan komunikasinya serta (5) memperhatikan
nasehat-nasehat para ahli, terutama Komisi Pembimbing. Tingkat validitas suatu alat ukur bisa
diketahui dari nilai koefisien validitasnya yang memiliki rentang dari nol
sampai 1,00 dengan pengertian semakin mendekati angka satu maka validitas
semakin sempurna. Dengan menggunakan rumus korelasi moment product nilai
koefisien validitas instrumen penelitian ini dapat diperoleh (Kerlinger, 1986;
Singarimbun dan Effendi, 1995).
Hasil
uji korelasi produk momen, Pearson correlation
menunjukkan nilai total validitas sebesar 0,4299 pada taraf nyata 5%, yang bila
dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi (rtabel) = 0,361
menunjukkan nilai yang lebih besar; maka secara keseluruhan butir pertanyaan
dikatakan valid. Apabila dilihat per butir pertanyaan, maka hasil
hitungan uji validitas ini menunjukkan ada tiga butir pertanyaan tidak signifikan, yakni butir
pertanyaan nomor 7 (P7), butir P14 dan butir P23. Koefisien validitas ketiga butir tersebut
berada di bawah angka kritis, bahkan negatif.
Untuk itu, dua butir pertanyaan tak valid (P7 dan P14) dihilangkan dari
kuestioner yang diberikan kepada responden, karena pernyataan tersebut
bertentangan dengan pernyataan/pertanyaan yang lain. Sedangkan pertanyaan nomor 23 (P23)
didiversifikasi atau dipecah menjadi tiga butir pernyataan yang lebih spesifik,
agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Reliabilitas Instrumentasi. -- Malo dan
Trinoningtias (1991) mengemukakan bahwa reliabilitas instrumen adalah tingkat
kemantapan atau konsistensi suatu alat ukur atau disebut juga keterandalan alat
ukur. Reliabilitas lebih mudah dimengerti dengan memperhatikan tiga aspek dari
suatu alat ukur, yakni unsur kemantapan
(stabilitas), unsur ketepatan
(akurasi ataupun presisi) dan yang ketiga ialah unsur error ataupun kesalahan pengukuran dimana semakin kecil keragaman
(variabilitas) maka semakin tinggi akurasi instrumen pengukuran tersebut, oleh
karena semakin kecil eror yang terdapat (Kerlinger, 1986). Analisis reliabilitas digunakan untuk
mengukur tingkat akurasi dan presisi dari jawaban yang mungkin dari beberapa
pertanyaan. Dalam penelitian ini metode
yang digunakan ialah metode konsistensi internal, dengan Reliability Analysis Scale Alpha (Cronbach’s Alpha). Hasil analisis uji keterandalan terhadap kuestioner
penelitian ini diperoleh nilai koefisien
reliabilitas alfa Cronbach sebesar 0,6635. Karena nilai rhasil =
0,6635 > rtabel = 0,361, dapat dikatakan bahwa kuestioner yang
digunakan terandal (reliabel).
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilaksanakan
selama dua bulan, dari tanggal 14 Desember 2004 sampai 16 Februari 2005 dengan
teknik wawancara memakai kuestioner dan observasi lapangan, termasuk pengumpulan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan di
kelompok peternak sapi potong Cisitu
Kecamatan Nyalindung dan kelompok Surade Kabupaten Sukabumi
Jawa Barat, di kelompok Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa
Yogyakarta dan di kelompok Polokarto Kabupaten Sukohardjo Jawa Tengah.
Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian
dianalisis dengan menggunakan dua macam metode, yakni Pertama: analisis jaringan komunikasi untuk merekonstruksikan
struktur peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi
sapi potong yang terbentuk di empat lokasi penelitian. Analisis jaringan
komunikasi dilakukan dengan menggunakan teknik sosiometri, untuk mendapatkan
sosiogram. Kedua, analisis statistik
deskriptif yang relevan misal, tabel distribusi, frekuensi, rataan (boxplot)
dan persentase, serta untuk melihat
hubungan menggunakan metode tabulasi silang (cross tab), uji lintas (path
analysis), uji beda vektor nilai tengah (Inferences about a mean vector) atau T2
Hotelling, uji diskriminan yang bertatar (stepwise), analisis matriks
korelasi, ana-lisis biplot, analisis korespondensi (correspondence analysis)
dan uji khi-kuadrat dengan bantuan program SPSS versi 12 for Windows dan program SAS
seri 8.2.
Analisis Jalur
Pengujian
hubungan antara peubah pemberi pengaruh kepada peran-peran komunikasi anggota
kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, dilakukan analisis regresi
linear ganda (multiple linear regression).
Adapun bentuk umum untuk regresi linear ganda peubah tak bebas Y atas X1,
X2, …, Xk ditaksir oleh:
|
dengan konstanta
b0 dan koefisien-koefisien b1, b2
,…, bk dapat
ditaksir berdasarkan n buah pasang data (X1, X 2 , …, Xk,
Y) yang diperoleh dari pengamatan (Sudjana, 1996). Berdasarkan model
regresi linear ganda di atas ditentukanlah koefisien lintas (path coefficient). Koefisien jalur ini pada dasarnya merupakan
koefisien beta atau koefisien regresi baku.
Notasi yang dipakai untuk koefisien jalur ialah pij dengan
pengertian i menyatakan akibat atau peubah tak bebas dan j menyatakan penyebab/peubah
bebasnya. Koefisien ini bisa dicantumkan pada garis jalur yang bersesuaian
dalam diagram jalur. Dalam penelitian
ini, tampilan diagram dan koefisien jalur
faktor-faktor yang mempengaruhi peran komunikasi anggota kelompok dalam
jaringan komunikasi sapi potong tersaji pada Gambar 4. Dalam diagram jalur tersebut, pendidikan (X1)
dan kelas ekonomi (X2) merupakan peubah eksogenus. Korelasi antara kedua eksogenus ini
dilukiskan berupa garis beranak panah tunggal pada ujungnya, dengan nilai p21. Peubah pemilikan media massa (X3), X4, X5,
X6, X7, X8 dan Y adalah peubah endogenus. Jalur juga berupa garis beranak
panah tunggal pada ujungnya, ditarik dari peubah-peubah bebas sebagai penyebab
kepada peubah-peubah tak bebas yang diambil sebagai akibat.
|
|
|
|
|
||||
|
|
Gambar 4. Tampilan diagram jalur
antar peubah yang mempengaruhi peran-peran komunikasi dalam jaringan komunikasi
sapi potong dan distorsi pesan
Dari
diagram jalur ini, diturunkanlah model jalur, yang persamaannya (dinyatakan
dalam angka baku
z) menjadi sebagai berikut:
z1 =
e1
z2 =
p21 z1 + e2
z3 =
p31 z1 + p32 z2 + e3
z4 =
p41 z1 + p45 z5 + p46 z6
+ p47 z7 + e4
z5 =
p51 z1 + p53 z3 + e5
z6 =
p62 z2 + p63 z3 + e6
z7 =
p72 z2 + p73 z3 + e7
zy
= py1 z1 + py2 z2 + py3
z3 + py4 z4 + py5 z5 + py6
z6 + py7 z7 + ey
dengan persamaan
ini, maka koefisien-koefisien jalur dapat dihitung dinyatakan oleh korelasi rij. Oleh karena itu harga-harga peubah dinyatakan
dalam angka baku,
maka untuk n buah pengamatan berlaku
rumus: (Sudjana, 1996)
|
Di
samping itu, diagram jalur pada Gambar 4 menyajikan pula peubah-peubah residual
untuk menunjukkan efek peubah-peubah yang tidak termasuk dalam model rekursif
antara peubah-peubah bebas (karakteristik personal, keterdedahan media massa
dan perilaku komunikasi interpersonal) yang berkaitan langsung dan tidak
langsung dengan peubah tak bebas (peran komunikasi peternak dalam jaringan
komunikasi sapi potong). Peubah residual tersebut adalah X8 (pemuka
pendapat) dan Y2 (distorsi pesan), dimana untuk menghitung koefisien
jalur antara peubah X8 dan Y (peran komunikasi anggota kelompok
dalam jaringan komunikasi sapi potong), dihitung dari model persamaan:
z8 =
e8
zy
= py8 z8 + ey
dan menghitung
koefisien jalur antara peubah Y dan Y2 (distorsi pesan), dihitung
model jalur dari model persamaan:
zy =
ey
zy2
= py2y zy + ey2
Perhitungan kesemua koefisien jalur
di atas dapat dibantu dengan pengolahan data dan prosedur analisis regresi
menggunakan piranti lunak program SPSS versi 12 for Windows.
Matriks Korelasi
Untuk mendapatkan gambaran data
hasil pengamatan yang terdiri dari banyak peubah dengan melihat seberapa kuat
hubungan antara peubah-peubah itu terjadi, dapat ditentukan derajat hubungan
antara peubah-peubah tersebut dalam bentuk matriks koefisien korelasi.
Untuk menentukan koefisien-koefisien
korelasi rij antara xi
dan xj, dan koefisien-koefisien korelasi dengan rumus ryi antara y dan xi,
dapat dibantu dengan jalan memanfaatkan jasa komputer. Untuk itu amatan peubah xi (i = 1,
2, …, k) dan y diubah menjadi bilangan baku
zx dan zy seperti berikut:
|
kemudian
menggunakan bilangan-bilangan baku
ini, koefisien-koefisien korelasi sederhana
rij antara xi dan xj, dan ryi
antara y dan xi secara umum dihitung dengan rumus: rxy = (Sudjana, 1996).
Analisis Biplot
Untuk
mendapatkan gambaran keragaan umum tentang objek dan gambaran tentang peubah, baik tentang keragamannya maupun
korelasinya, maka digunakan analisis biplot. Dimana panjang vektor akan
memberikan gambaran tentang keragaman. Semakin panjang vektor peubah tersebut,
makin tinggi keragamannya. Sedangkan sudut antara vektor menunjukkan korelasi
antara peubah. Bila sudut antara kedua
vektor tersebut mendekati 0 maka makin besar korelasi positif antara kedua
peubah tersebut. Korelasi sama dengan 1 diperoleh bila= 0. Bila sudut antara
kedua vektor mendekati , makin besar korelasi negatif antara kedua peubah
tersebut. Korelasi sama dengan -1 akan
diperoleh bila = . Makin dekat terhadap /2, makin kecil korelasi kedua peubah tersebut dan korelasi
sama dengan 0 atau tidak ada korelasi diperoleh apabila = /2.
Metode
analisis ini digunakan untuk menyajikan data peubah ganda dari ruang yang
berdimensi banyak ke dalam ruang yang berdimensi rendah, sehingga dimaksudkan
data lebih mudah untuk ditafsirkan. Hal
ini sesuai dengan istilah bi dalam
biplot dikaitkan dengan peragaan bersama atau serempak berupa penumpangtindihan
antara vektor-vektor yang mewakili baris dan kolom matriks (Siswadi dan
Suhardjo, 2002).
Data
yang digunakan untuk analisis biplot berupa matriks X berpangkat r,
berukuran n x p (n = banyaknya objek dan
p = banyaknya peubah) dikoreksi dengan nilai tengah. Matriks X diuraikan menggunakan konsep
Penguraian Nilai Singular (PNS). Dengan menggunakan program statistik SAS seri
8.2 didapat hasil grafik Biplot, adapun bentuk persamaan dan penguraiannya
sebagai berikut:
|
Keterangan: U = matriks berukuran n x
r dengan lajur saling ortonormal
L = matriks diagonal berukuran r x r dengan unsur pada diagonal
utamanya ialah akar kuadrat
dari akar ciri matriks X’X
dan unsur-unsur diagonal ini
disebut nilai singular matriks X
A = matriks berukuran p x r dengan lajur saling ortonormal
r = pangkat dari matriks X.
dengan
mendefinisikan G = ULa dan H = AL1-a ; 0 < a < 1.
Fakta
yang diperoleh untuk a = 0 (G = U dan H = AL) yang digunakan dalam studi ini, adalah:
1. hi hj = (n-1)sij, dengan sij = (n-1)-1
xik-) (xjk-).
Artinya,
penggandaan titik antara vektor hi
dengan hj akan memberikan
gambaran koragam antara peubah ke-i dengan peubah ke-j.
2. = (n-1)-1/2 si.
Artinya,
panjang vektor tersebut akan memberikan gambaran tentang keragaman peubah ke-i.
Makin panjang vektor hi dibandingkan dengan vektor
lainnya, katakanlah hj,
makin besar pulalah keragaman peubah ke-i dibandingkan dengan peubah ke-j.
3.
cos = rij,
merupakan sudut antara
vektor hi dengan vektor hj dan rij
merupakan korelasi antara peubah ke-i dengan peubah ke-j. Bila sudut antara kedua vektor tersebut
mendekati 0 maka makin besar korelasi positif antara kedua peubah tersebut.
Korelasi sama dengan 1 diperoleh bila = 0. Bila sudut antara
kedua vektor tersebut mendekati , makin besar korelasi negatif antara kedua peubah
tersebut. Korelasi sama dengan -1 akan
diperoleh bila = . Makin dekat terhadap /2, makin kecil korelasi kedua peubah itu, dan korelasi sama
dengan 0 atau tidak ada korelasi diperoleh bila = /2.
4.
Bila pangkat X = p, maka (xi-xj)
S-1 (xi-xj) = (n-1) (gi-gj)’ (gi-gj).
Artinya, (kuadrat) jarak Mahalanobis antara xi dengan xj akan sebanding dengan
(kuadrat) jarak Euclid
antara gi dengan gj. Makin kecil jarak Euclid antara titik gi dan gj
yang terlihat dalam plot akan memberikan gambaran makin dekatnya xi dengan xj yang diukur dengan
menggunakan peubah ganda asal dengan jarak Mahalanobis. Sebaliknya, makin besar jarak Euclid antara titik gi dan gj yang terlihat dalam plot akan memberikan gambaran
makin jauhnya xi dengan xj yang diukur dengan
menggunakan peubah ganda asal dengan jarak Mahalanobis.
Uji Beda Vektor Nilai Tengah
Untuk
menguji hipotesis pertama “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi
potong untuk mendapatkan informasi” digunakan uji beda vektor nilai tengah (Inferences
about a mean vector) dengan alat uji T2 Hotelling
(Johnson dan Wichern, 2002).
Uji
T2 Hotelling ini memiliki kemampuan melihat adanya perbedaan antara
dua kelompok amatan. Karena amatan
perubahan berdasarkan dimensi waktu tidak mungkin dilakukan, digunakanlah upaya
melihat perubahan tersebut atas dasar lokasi pemilihan sampel penelitian. Satu kelompok kurang maju (Kecamatan
Nyalindung dan Surade, Sukabumi) dan satu
kelompok lagi yang maju (Kecamatan Polokarto Sukohardjo dan Kecamatan
Gedangsari Gunung Kidul). Gambaran input
analisisnya tersaji pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Data
yang diolah dengan T2 Hotelling
Observasi
(Responden)
|
Peubah
X4-1
X4-2 X4-3 X4-4 X5 X6 X7
|
Status
Kelompok
|
1
2
.
.
n1
|
K1
(Kelompok Maju)
|
|
1
2
.
.
n2
|
K2
(Kelompok Kurang Maju)
|
Keterangan: X5 = Perilaku
keterdedahan radio
X4-1 = Perilaku menerima informasi sapi potong
(pasif) X6 = Perilaku
keterdedahan tv
X4-2 = Perilaku mencari informasi sapi potong
(aktif) X7 = Perilaku keterdedahan koran
X4-3 = Perilaku
klarifikasi/diskusi informasi sapi potong n1 = Banyaknya observasi K1
X4-4 = Perilaku
menyebarkan informasi sapi potong n2 = Banyaknya observasi K2
Perhitungan
rumus uji statistik T2 Hotelling adalah sebagai berikut:
|
Untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok dilanjutkan Uji F dengan rumus;
|
Keterangan:
n1 =
ukuran sampel pada kelompok 1
n2 =
ukuran sampel pada kelompok 2
p =
banyaknya peubah yang diamati
S-1 = invers matriks koragam
x1
= vektor rataan kelompok 1
x2
= vektor rataan kelompok 2
dengan
derajat bebas (p, n1 + n2 – p – 1). Bila Fhitung
> Ftabel (p, n1 +
n2 – p – 1) dimana = 0,05, menyatakan
bahwa ada perbedaan perilaku komunikasi di kalangan peternak sapi potong pada
kelompok maju dan kurang maju yang memiliki perbedaan karakteristik personal
yang diuji. Sedangkan untuk penguatan deskripsi analitis terjadi pergeseran
tersebut, digunakan matriks korelasi antar indikator-indikator dari peubah yang
diamati dan penyajian analisis biplot.
Analisis Diskriminan
Analisis lainnya adalah analisis
diskriminan. Analisis ini bertujuan mencari garis atau persamaan yang mampu
membedakan antar kelompok dengan baik. Jadi, masalah yang ditelusuri dalam
analisis diskriminan ialah (1) mencari cara terbaik untuk menyatakan perbedaan
antar kelompok objek (masalah diskriminasi); (2) cara untuk mengalokasikan
suatu objek (baru) ke dalam salah satu kelompok tersebut (masalah klasifikasi).
Fungsi diskriminan merupakan fungsi
atau kombinasi linear peubah-peubah asal yang akan memberikan cara terbaik
dalam pemisahan kelompok-kelompok tersebut.
Fungsi ini akan memberikan nilai-nilai yang sedekat mungkin dalam
kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok.
Fungsi ini tentunya di samping dapat digunakan untuk menerangkan perbedaan antar kelompok, juga bisa digunakan dalam
masalah klasifikasi.
Bila matriks koragam total T = (tij),
matriks koragam dalam kelompok W = (wij), dan matriks koragam antar
kelompok B = (bij) maka T = W + B.
Bila fungsi diskriminan Z1 = a11X1 + a12X2 + …+ a1pXp
= a1’X
yang memaksimumkan nisbah antara
ragam antar kelompok dengan ragam dalam kelompok maka yang ingin dicari ialah a1
sehingga a1’B a1/a1’Wa1
maksimum. Fungsi diskriminan lainnya yaitu Zi = a1’X yang memaksimumkan a1’B a1/ a1’Wa1
dengan kendala tidak berkorelasi dalam kelompok dengan Z1, Z2,
… , Zi-1. Vektor-vektor a1, a2, …, ai dapat diperoleh sebagai vektor ciri yang
berpadanan dengan akar ciri dari matriks W-1B.
Dari analisis diskriminan ini dapat
pula digunakan untuk mencari peubah-peubah asal yang dianggap dominan untuk
digunakan dalam membedakan antar kelompok.
Salah satu pendekatan yang relatif efisien dalam komputasi ialah melalui
penggunaan peubah secara bertatar (stepwise) yaitu menambahkan peubah satu per
satu yang relatif dominan ke dalam fungsi sampai suatu saat dimana penambahan
peubah lainnya dianggap tidak menambah baik diskriminasinya. Menurut Supranto (2004) analisis diskriminan
berguna untuk menganalisis data kalau peubah kriterion atau dependen (tak
bebas) berupa kategori dengan skala pengukuran nominal atau ordinal dan peubah
bebasnya berskala interval atau rasio (kuantitatif, hasil penilaian/rating).
Analisis Korespondensi
Analisis
ini digunakan untuk melihat hubungan antar peubah kelas ekonomi dengan macam kepemimpinan komunikasi ketokohan
peternak yang beratribut star dalam
jaringan komunikasi sapi potong, berupa analisis untuk tabel kontingensi.
Tujuan
dari analisis korespondensi (correspondence
analysis) yaitu memperagakan baris
dan kolom suatu matriks data secara serentak dari tabel kontingensi dua arah
dalam ruang dimensi rendah.
Matriks korespondensi didefinisikan
sebagai iPj = (1/n..) N, dengan n = 1’N1.
Vektor yang unsur-unsurnya merupakan jumlah unsur dari vektor-vektor
baris matriks P ialah r =
P1; ri > 0, i = 1, 2,
..., i. Vektor yang unsur-unsurnya merupakan
jumlah unsur dari vektor-vektor kolom matriks P ialah c = P’1; cj
> 0, j = 1, 2, …, j. Definisikan Dr sebagai
matriks diagonal yang unsur-unsur diagonal utamanya ialah unsur-unsur dari
vektor r, yang dilambangkan sebagai Dr = diag (r), dan Dc = diag (c).
Matriks profil baris
didefinisikan sebagai R = Dr-1P dan matriks profil kolom didefinisikan
sebagai C = Dc-1P’.
Jadi, vektor r juga merupakan rataan terboboti dari profil-profil kolom dan
vektor c juga merupakan rataan terboboti dari profil-profil
baris. Andaikan R = [r1, r2, .., ri] dan C = [c1, c2, .., cj], maka
jarak yang digunakan untuk menggambarkan kedekatan antar profil ialah jarak
Khi-kuadrat, yaitu:
(ri – rj)’Dc-1(ri – rj) untuk
jarak antara profil baris ri dengan profil baris rj,
dan
(ci
– cj)’Dr-1(ci – cj) untuk
jarak antara profil kolom ci dengan profil kolom cj.
Profil-profil
baris dan kolom di atas ingin digambarkan dengan menumpang- tindihkannya dalam
ruang berdimensi rendah.
Bila dengan Penguraian
Nilai Singular (PNS) Umum diperoleh bahwa P
– rc’ = ADB; A’Dr-1A
= B’Dc-1B = I, maka profil baris matriks R yang posisi relatifnya sama dengan
profil baris matriks R – 1c’, diberikan oleh F = Dr-1AD Profil
kolom matriks C yang posisi
relatifnya sama dengan profil kolom matriks C – 1r’, diberikan oleh G = Dc-1BD. Bila
dengan profil baris R atau profil
kolom C digunakan jarak Khi-kuadrat maka
dengan profil dari matriks F dan G representasinya diperoleh jarak Euclid. Seperti halnya
dalam biplot, penggambaran dalam ruang berdimensi rendah, katakanlah k maka
koordinat yang digunakan untuk menggambarkan profil-profil tersebut ialah k
unsur pertamanya.
Seperti halnya dalam analisis
biplot, interpretasi kedekatan antar profil dalam kategori yang sama didasarkan
pada jarak Euclidnya sedangkan hubungan profil-profil antar kategori dapat
ditelusuri melalui formula transisi, yaitu F
= RGD-1 atau G
= CFD-1.
Jarak yang jauh antar profil akan memberikan kontri-busi yang relatif besar
terhadap tak adanya kebebasan antar kategori yang diamati.
Jadi, peragaan hasil analisis
korespondensi, seperti halnya dengan analisis biplot, merupakan
penumpangtindihan profil-profil baris dan kolom yang dalam analisis ini
diperoleh dari tabel kontingensi dengan menggunakan jarak khi-kuadrat. Penggunaan PNS Umum (Generalized Singular
Value Decomposition) dalam penghitungan analisis ini akan memberikan
keterkaitannya dengan analisis lain dalam APG
atau Analisis peubah Ganda (Siswadi dan Suhardjo, 2002).
Kerangka Pendekatan Analisis Penelitian
Kerangka
pendekatan analisis dari penelitian “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran
Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” disajikan
pada Tabel 4 berikut ini. Kerangka
pendekatan analisis tersebut dikembangkan dari empat masalah penelitian dan
untuk menguji tujuh butir hipotesis sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Tabel 4. Kerangka
pendekatan analisis penelitian
MASALAH
PENELITIAN
|
TUJUAN
PENELITIAN
|
HIPOTESIS
|
KOMPONEN YANG DIUKUR
|
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
|
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
|
DATA YANG DIPERLUKAN
|
||
1.
Bagaimana perilaku komunikasi peternak
dalam mendapatkan informasi.
|
1. Melihat perilaku peternak dalam mendapatkan informasi.
|
Hipotesis 1.
Terjadi
pergeseran tingkat pemanfaatan media massa
oleh peternak untuk mendapatkan informasi.
|
||||||
Hipotesis kerja 1a:
Terdapat perbedaan nyata
tingkat pemanfaatan media massa
untuk mendapatkan informasi antara peternak maju dengan peternak kurang maju.
|
Perbandingan
tingkat peman-faatan media massa
dengan perilaku peman-faatan media interpersonal
|
Mengkaji keterde-dahan
media massa
dan perilaku pemanfaatan media
interpersonal antara kelompok maju dan kurang maju
|
Matriks
korelasi,
Biplot,
Uji beda
vektor nilai tengah / T2 Hotelling,
Uji
diskriminan
|
Data
keterdedahan media massa
dan frekuensi komunikasi interpersonal
dengan unit analisis Kab. Sukabumi,
Sukohardjo dan Gunung Kidul
|
||||
Hipotesis kerja 1b:
Di antara masing-masing
peubah personal dan perilaku pemanfaatan media interperso-nal, terdapat
perbedaan nyata penggunaan media massa
untuk mendapatkan informasi dari
lokasi yg berbeda.
|
Idem
|
Membandingkan
antara 10 peubah amatan antar kelompok.
|
Idem
|
Idem
|
||||
2.
Bagaimana partisipasi peternak dalam Jaringan kom. sapi potong, dilihat dari pe-ran kom.?
|
2. Mengidentifikasi tingkat partisipasi
peternak dilihat dari peran kom. dalam jaringan komunikasi sapi potong
|
-
|
Peran-peran komunikasi
peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong
|
-
|
-
|
Data
peran kom. peternak dalam jaringan dengan unit analisis Kabupaten Sukabumi,
Sukohardjo dan Gunung kidul
|
||
MASALAH
PENELITIAN
|
TUJUAN
PENELITIAN
|
HIPOTESIS
|
KOMPONEN YANG DIUKUR
|
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
|
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
|
DATA YANG DIPERLUKAN
|
||
3.
Sejauhmana hubungan karakteristik
personal dgn keterdedahan media massa
dan kom. interpersonal; hubungan ke-peubah tsb dengan peran kom.
peternak dalam jaringan komunikasi
sapi potong; dan hubungan peran kom. peternak sapi potong dengan distorsi
pesan?
|
3. Menganalisis hubungan karakteristik personal dengan keterdedahan media massa dan komunikasi
interpersonal; Hubungan karakteristik, keterdedahan media massa, komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi dlm jaringan kom sapi
potong; dan hub. peran komunikasi dlm jaringan kom sapi potong dgn distorsi
pesan.
|
Butir 2.
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan
perilaku keterdedahan media massa
|
Pendidikan
formal, kelas ekonomi,
kepemilikan media massa,
dengan keterdedahan media massa
|
Melihat korelasi dan
keragaman antar peubah karakteristik personal dengan keterdedahan media massa
|
Analisis jalur,
Matriks korelasi,
Analisis biplot.
|
Data
karakteristik dan perilaku keterdedahan media massa dengan unit analisis Kabupaten
Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul.
|
||
Butir 3.
Terdapat hubungan nyata
antara karakteristik personal dengan perilaku komunikasi interpersonal informal
|
Pendidikan
formal, kelas ekonomi,
kepe-milikan media massa,
dengan perilaku kom. interpersonal
|
Melihat
korelasi dan keragaman antar peubah karakteristik personal dengan perilaku
kom. interpersonal
|
Matriks
korelasi,
Analisis
biplot.
|
Data
karakteristik dan perilaku komunikasi interpersonal dengan unit analisis Kabupaten Sukabumi,
Sukohardjo
dan Gunung Kidul.
|
||||
Butir 4.
Terdapat hubungan nyata
antara karakteristik personal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi
potong
|
Pendidikan, klas
ekonomi, kepe-milikan media massa
dan peran komunikasi dalam
jaringan
|
Melihat
korelasi dan keragaman antar peubah karakteristik personal dengan peran
komunikasi dalam jaringan kom.
|
Analisis jalur,
Matriks korelasi,
Analisis biplot.
|
Data
karakteristik dan peran kom. dalam jaringan dgn unit analisis
Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul.
|
||||
Butir 5.
Terdapat hubungan nyata
antara perilaku komunikasi interpersonal
dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi
potong
|
Perilaku kom.
interpersonal dan peran kom peternak
dalam jaringan kom. sapi potong
|
Melihat
korelasi dan keragaman antar peubah pemanfaatan kom. interpersonal dgn peran
komunikasi dlm jaringan kom.
|
Matriks korelasi,
Analisis biplot
|
Data
komunikasi interpersonal dan peran komunikasi dalam jaringan dengan unit analisis tiga kabupaten sampel.
|
||||
MASALAH
PENELITIAN
|
TUJUAN
PENELITIAN
|
HIPOTESIS
|
KOMPONEN YANG DIUKUR
|
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
|
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
|
DATA YANG DIPERLUKAN
|
||
Butir 6.
Terdapat hubungan nyata
antara keterdedahan media massa dengan peran komunikasi peternak dalam
jaringan komunikasi sapi potong
|
Keterdedahan
media massa
dgn peran kom. peternak dalam
jaringan kom.
|
Melihat
korelasi dan keragaman antar peubah keterdedahan media massa dengan peran komunikasi
|
Matriks korelasi, Analisis biplot
|
Data
keterdedahan media massa
dan peran komunikasi dalam jaringan
dengan unit analisis tiga kabupaten sampel.
|
||||
Butir 7.
Terdapat hubungan nyata
antara peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan
distorsi pesan
|
Peran kom. peternak dalam jaringan kom. sapi
potong dan distorsi pesan
|
Melihat
korelasi dan keragaman antar peubah peran kom. dalam jaringan kom.
dgn distorsi pesan
|
Matriks
korelasi, Analisis biplot
|
Data
peran komunika- si dalam jaringan dan distorsi pesan dengan unit
analisis tiga kabupaten sampel
|
||||
4. Bagaimana pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak
sapi potong?
|
4. Mengetahui pola jaringan komunikasi antar
anggota kelompok peternak sapi potong
|
-
|
Peran
komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong, dan kelas ekonomi
|
Melihat
korelasi dan keragaman antar peubah peran kom. anggota kelompok dalam
jaringan kom. sapi potong dengan kelas ekonomi
|
Matriks korelasi
Analisis biplot
|
Data
peran komunikasi dan kelas ekonomi
dengan unit analisis tiga kabupaten sampel
|
||
-
|
Karakteristik
kelas ekonomi peternak star dalam jaringan komunikasi sapi potong, dan
macam kepe-mimpinan kom.
|
Melihat
hubungan peubah kelas ekonomi dan macam kepemimpinan
komunikasi peternak beratribut star
dalam jaringan komunikasi sapi potong
|
Uji khi-kuadrat,
Analisis korespondensi,
|
Data
kelas ekonomi dan macam kepemimpinan kom. ketokohan peternak dalam jaringan kom. sapi potong dengan unit
analisis tiga kabupaten sampel
|
||||
5. Mendesain strategi/ model
komunikasi penyuluhan.
|
-
|
|||||||
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Lokasi Penelitian
Kabupaten Sukabumi
Kabupaten
Sukabumi termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di
antara 6o57’ - 7o25’ Lintang Selatan dan 106o49’-107o00’
Bujur Timur dengan topografi umumnya bergelombang. Pegunungan berada di bagian utara, tengah dan
selatan, bergelombang sampai daerah pantai dengan ketinggian mulai 0 – 2.969
meter di atas permukaan laut. Sedangkan
secara klimatologi, kabupaten ini berada pada daerah yang beriklim sedang, suhu
harian berkisar antara 18-29oC dengan kelembaban rata-rata 85%,
curah hujan antara 2.000 sampai dengan 4.000 mm per tahun, dengan rata-rata
bulan basah enam bulan dan rata-rata bulan kering dua bulan.
Luas
wilayah daratan Kabupaten Sukabumi seluruhnya 4.164,0427 kilometer persegi atau
416.404,27 hektar dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor di sebelah utara,
Samudra Indonedia di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat, di
sebelah timur Kabupaten Cianjur dan di tengahnya berbatasan dengan Kota Sukabumi.
Gunung Salak dan Gunung Gede menjadi
batas alam dengan Kabupaten Bogor
dan Cianjur.
Secara
administratif, kabupaten ini dibagi dalam 45 kecamatan dengan 341 desa/
kelurahan. Kawasan agribisnis sapi
potong, khususnya untuk penggemukan sapi potong terdapat di sembilan kecamatan,
meliputi Kecamatan Kebonpedes, Kadudampit, Gegerbitung, Cikembar, Parungkuda,
Cicurug, Nyalindung, Purbaya dan Jampangtengah.
Sedangkan kawasan perbibitan, difokuskan di tiga lokasi pengembangan,
yakni (1) Surade, meliputi Kecamatan
Jampangkulon, Kalibunder, Cibitung, Ciracap, Waluran, Surade dan Ciemas; (2) Sagaranten, meliputi Kecamatan Cidadap, Sagaranten, Curugkembar, Pabuaran,
Tegalbuleud dan Cidolog; (3) Jampangtengah,
meliputi Kecamatan Lengkong, Nyalindung dan Purbaya. Kawasan yang ketiga ini
dikategorikan sebagai kawasan perbibitan baru, karena merupakan kawasan yang
belum tersentuh program perbibitan.
Dipilihnya dua kecamatan penelitian yakni Kecamatan Surade dan
Nyalindung adalah agar mampu mewakili kategori daerah perbibitan dan penggemukan
sapi potong.
Kecamatan
Surade berada di wilayah Sukabumi Selatan, yang bagian selatannya berbatasan
dengan Samudra Indonesia, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Waluran
dan Kecamatan Jampangkulon, di sebelah timur dengan Kecamatan Ciracap dan Kecamatan
Cibitung di sebelah barat. Kelompok peternak sapi potong yang dijadikan objek
penelitian di Kecamatan Surade ialah kelompok peternak Banjaran, yang berlokasi
di Desa Jagamukti dengan jumlah anggota
kelompok sebanyak 30 orang yang tersebar di lima dusun, yakni di Banjaran,
Cisuren, Cidadap, Sinarjaya dan Dusun Kubang.
Hampir seluruh anggota kelompok peternak sapi potong ini memelihara
ternaknya secara dilepas di ladang hamparan rumput alam. Pencapaian populasi
ternak sapi potong mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, dimana terdapat
penurunan jumlah populasi sebesar lima
persen. Salah satu penyebabnya adalah
tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) yang rendah, dimana banyak sapi
peternak yang belum bunting padahal sudah dua tahun dipelihara. Menurut penuturan ketua kelompok peternak
Banjaran, pelaksanaan kegiatan IB baru dibangkitkan kembali awal 2003, setelah
sebelumnya sempat terhenti selama empat tahun. Penyebab lain adalah faktor SDM, dimana mantri
hewan yang kurang memberikan informasi kepada peternak tentang keadaan sapi
potong peternak dan tidak ada petugas di
kantor Kepala Cabang Dinas(KCD) Kecamatan Surade.
Gambaran Desa Jagamukti dimana kelompok sapi potong
“Banjaran” berada, memiliki luas wilayah
405 Ha dan berada 250 meter di
atas permukaan laut (dpl). Termasuk daerah yang bersuhu panas karena berada
diketinggian <750 dpl. Curah hujan Desa Jagamukti rata-rata 216 mm
pertahun. Kemiringan lahan 8-15 derajat
dan termasuk lahan kering karena berkisar 10-20%. Lokasi Jagamukti ini sangat berpotensi untuk
pengembangan ternak ruminansia, baik sapi maupun ternak domba. Secara administratif desa tersebut berbatasan dengan
Desa Citangkar di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Gunung Sungging,
di sebelah barat Desa Swakarya dan di sebelah timur dengan Desa Cidahu.
Usahaternak
sapi potong di Desa Jagamukti sangat berpotensi untuk terus dikembangkan.
Potensi SDA (sumberdaya alam) dan SDM (sumberdaya manusia) perlu diolah dan
dikembangkan. Umumnya peternak memelihara sapi dengan dilepas di lapangan dan
dibiarkan mencari makan sendiri. Jumlah Penduduk yang banyak adalah salah satu
faktor tenaga kerja untuk pengembangan sapi potong.
Menurut
Tabel 5, jumlah penduduk di Desa
Jagamukti adalah sebanyak 5.032 jiwa, yang terdiri atas 2.453 orang laki-laki
dan 2.579 orang perempuan. Sedangkan kepala keluarga ada sebanyak 1.444 KK,
berarti setiap keluarga memiliki rataan besar keluarga sekitar 3,48. Terlihat,
jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan ternyata sedikit lebih banyak dari
penduduk berjenis kelamin laki-laki. Penduduk yang berjenis kelamin perempuan seharusnya dilibatkan dalam
kegiatan peternakan. Perempuan mempunyai sifat yang ulet dalam melaksanakan
pekerjaan dan potensi ini perlu dikembangkan. Banyak sekali potensi
yang dimiliki oleh wanita yang bernilai positif bagi pembangunan
peternakan secara luas. Mulai dari
memelihara, mengolah hasil ternak sampai memasarkannya. Di lokasi penelitian
semua responden berjenis kelamin laki-laki (100%). Perempuan dengan segala
kemampuan dan potensi dirinya perlu dilibatkan lebih serius untuk lebih
memajukan dunia peternakan Indonesia terutama
peternakan sapi potong di Desa Jagamukti.
Tabel 5. Distribusi penduduk
Desa Jagamukti menurut umur
Kelompok Umur (Tahun)
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase (%)
|
0
- 5
|
647
|
12,86
|
6 – 14
|
860
|
17,09
|
15 – 45
|
2.655
|
52,76
|
46 – 60
|
870
|
17,29
|
Total
|
5.032
|
100,00
|
Sumber: Monografi Desa Jagamukti, 2005.
Dari
Tabel 5 diperoleh informasi bahwa hampir dua pertiga (sekitar 70 persen)
penduduk Desa Jagamukti tergolong peternak usia produktif, yakni 15-60 tahun
dan ini adalah potensi yang menjadi pertimbangan dalam pembangunan agribisnis
sapi potong, karena di usia produktif umumnya peternak mempunyai semangat
tinggi, mau bekerja keras, dinamis, kreatif, inovatif dan aktif dalam melakukan
aktivitas usahaternak sapi potong yang mereka geluti.
Sebagian besar (73%) mata pencaharian
penduduk Desa Jagamukti adalah bertani, sedangkan macam pekerjaan lainnya
sebagai buruh, pegawai negeri sipil (PNS), pedagang dan tukang kayu atau tukang
batu. Sisanya, rata-rata satu persen ke bawah adalah bermatapencaharian sebagai
sopir, aparat keamanan, karyawan swasta, guru swasta, penjahit dan montir. Kategori jenis pekerjaan lain-lain sebanyak 70
kepala keluarga adalah bekerja sebagai
nelayan, guru SD/madrasah dan pensiunan.
Secara rinci macam pekerjaan atau mata pencaharian penduduk Desa
Jagamukti dapat dilihat pada Tabel 6
berikut ini.
Tabel 6. Macam pekerjaan penduduk Desa Jagamukti
per kepala keluarga
Jenis pekerjaan
|
Jumlah
(KK)
|
Persentase
(%)
|
PNS (Pegawai negeri
sipil)
|
70
|
4,85
|
TNI/Polri
|
13
|
0,90
|
Guru swasta
|
5
|
0,35
|
Karyawan Swasta
|
10
|
0,69
|
Berdagang
|
68
|
4,71
|
Buruh
|
92
|
6,37
|
Petani
|
1.055
|
73,06
|
Penjahit dan Montir
|
6
|
0,42
|
Sopir
|
15
|
1,04
|
Tukang Kayu dan Tukang
Batu
|
40
|
2,76
|
Lain-lain
|
70
|
4,85
|
Total
|
1.444
|
100,00
|
Sumber:
Monografi Desa Jagamukti, 2005
Kecamatan terpilih lainnya ialah Nyalindung berada di
wilayah Sukabumi Tengah, yang bagian selatannya berbatasan dengan Kecamatan
Purbaya, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kebonpedes dan Kecamatan
Gunung Guruh, di sebelah timur dengan Kecamatan Gegerbitung dan sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Cikembar dan Jampangtengah. Kelompok peternak sapi
potong yang dijadikan objek penelitian di Kecamatan Nyalindung adalah kelompok peternak Cisitu, yang
berlokasi di Desa Cisitu dengan jumlah
anggota kelompok sebanyak 32 orang.
Desa Cisitu memiliki luas 1.226 Ha dan berada 700 meter dpl
serta termasuk pada daerah yang bersuhu panas karena <750 meter dpl, yakni
rata-rata suhu udara 20-24oC pada siang hari dan 17-19oC
pada malam hari. Curah hujan Desa Cisitu rata-rata 2.412 mm pertahun. Secara administratif desa ini berbatasan dengan
Desa Kertaangsana di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Margaluyu,
di sebelah barat Desa Cintamiang dan di sebelah timur dengan Desa Nyalindung.
Usahaternak
sapi potong di Desa Cisitu sangat berpotensi untuk terus dikembangkan. Potensi
SDA dan SDM perlu diolah dan dimanfaatkan secara optimal. Jumlah Penduduk yang
banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan usahaternak
sapi potong. Gambaran jumlah
penduduk di Desa Cisitu adalah sebanyak 1.360
kepala keluarga (KK), dengan jumlah jiwa 4.305 orang yang terdiri atas 2.161
orang laki-laki dan 2.144 orang perempuan.
Sebagian besar mata pencaharian penduduk
Desa Cisitu adalah bertani, sedangkan macam pekerjaan lainnya sebagai buruh
atau pekerja karyawan, pedagang dan pegawai negeri sipil (PNS). Secara rinci mata
pencaharian penduduk Desa Cisitu dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Macam pekerjaan penduduk Desa
Cisitu per kepala keluarga
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah
(KK)
|
Persentase
(%)
|
PNS (Pegawai negeri sipil)
|
9
|
0,66
|
Petani/Buruh
|
813
|
59,78
|
Pedagang
|
124
|
9,12
|
Buruh/Pekerja Karyawan
|
336
|
24,71
|
Pensiunan
|
15
|
1,10
|
Lain-lain
|
63
|
4,63
|
Total
|
1.360
|
100,00
|
Sumber:
Monografi Desa Cisitu, 2005.
Dari jumlah penduduk di atas,
menunjukkan potensi tenaga kerja di Desa Cisitu cukup besar. Kategori
jenis pekerjaan lain-lain sebanyak 63 kepala keluarga adalah bekerja sebagai sopir, guru SD/madrasah. Hal ini berarti tingkat kelahiran di Desa
Cisitu masih terkendali.
Adapun
sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Cisitu adalah satu buah PUSTU
(Puskesmas Pembantu), 17 buah masjid,
tiga buah SD dan enam buah madrasah, 39 buah mushola, enam buah MCK, 12 buah sumber
air bersih, sebuah wartel yang dalam kondisi rusak dan koperasi non KUD satu
buah. Desa Cisitu mempunyai enam kelompoktani,
lima kelompok
lanjut dan satu pemula.
Kabupaten Gunung Kidul dan Sukohardjo
Kabupaten Gunung Kidul termasuk wilayah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Sukohardjo di Propinsi Jawa Tengah. Dua
kabupaten ini merupakan pilihan lokasi untuk kelompok peternak sapi potong
kategori maju, karena kedua kelompok ini pernah menjadi yang terbaik tingkat
nasional (Juara I).
Untuk Kabupaten Gunung
Kidul dipilih kelompok perbibitan sapi
potong “Sedyo Rukun” yang berlokasi di Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari. Desa Ngalang ini memiliki luas wilayah 1.481,7910
Ha dan berada 300-375 meter
dpl, dengan suhu udara rata-rata 19 -32oC dan curah hujan ±
320 mm pertahun.
Secara administratif desa bertopografi dataran tinggi berbukit ini
berbatasan dengan Desa Hargomulyo di sebelah utara, di sebelah Selatan
dengan Desa Gading Kecamatan Playen, di sebelah barat Desa Nglegi Kecamatan
Patuk dan di sebelah timur dengan Desa Pengkol Kecamatan Nglipar.
Usahaternak
sapi potong kelompok Sedyo Rukun di Desa Ngalang adalah usaha perbibitan dengan
target produksinya ialah pedet, sehingga pemilihan bibit dalam proses reproduksi
sangat diperhatikan. Kelompok Sedyo rukun dalam proses reproduksi seratus
persen dilakukan dengan cara IB, sehingga kelompok tidak memerlukan adanya
pejantan. Keuntungan yang diperoleh dengan proses reproduksi seperti ini adalah
anggota kelompok yang akan mengawinkan induknya dapat menentukan waktu yang
tepat dan dapat memilih bibit unggul yang diinginkan untuk mendapatkan hasil
pedet yang bernilai jual tinggi serta dapat menghindari tertularnya penyakit
yang dibawa oleh pejantan.
Bibit
yang telah dihasilkan oleh anggota kelompok, apabila berkelamin betina dan
mutunya baik diutamakan digunakan untuk induk sendiri atau dijual dalam
kelompok. Apabila bibit yang dihasilkan
adalah jantan/betina dengan mutu kurang baik, maka anggota kelompok akan
menjualnya ke luar kelompok atau ke pasar.
Jumlah
penduduk Desa Ngalang berkisar sekitar 1.688 kepala keluarga (KK) dengan jumlah
jiwa 7.180 orang, terdiri atas 3.351
orang laki-laki dan 3.829 orang
perempuan. Gambaran jumlah penduduk yang
banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan usahaternak
sapi potong. Sama halnya dengan penduduk Desa Cisitu,
sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Ngalang adalah bertani, menyusul
sebagai buruh atau pertukangan, pedagang, penjual jasa/sopir, pegawai negeri
sipil dan pensiunan. Lain-lain di sini adalah kepala keluarga yang masuk
kategori tidak memiliki pekerjaan tetap dan umumnya adalah rumahtangga muda
yang masih menumpang dengan orangtuanya. Secara rinci mata pencaharian penduduk
Desa Ngalang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Macam pekerjaan penduduk Desa
Ngalang per kepala keluarga
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah
(KK)
|
Persentase
(%)
|
PNS
|
42
|
2,49
|
Petani/Buruh
|
522
|
30,92
|
Pedagang
|
413
|
24,47
|
Buruh/Pertukangan
|
420
|
24,88
|
Pensiunan
|
32
|
1,90
|
Penjual jasa/sopir
|
173
|
10,25
|
Lain-lain
|
86
|
5,09
|
Total
|
1.688
|
100,00
|
Sumber:
Monografi Desa Ngalang, 2005.
Adapun
sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Ngalang adalah satu buah Puskesmas,
11 buah masjid, 17 buah mushola, dua buah taman kanak-kanak, lima buah SD dan satu SLTP,
39 buah mushola, satu wartel, satu orari, 506 buah pesawat televisi, 759 radio,
15 buah sepeda, 105 motor, 13 mobil dan tiga buah truk. Selain itu terdapat satu
buah industri kecil di desa tersebut berupa selepan beras, enam buah industri
rumah tangga, dua buah toko, 36 buah warung dan 200 meter saluran irigasi.
Populasi
ternak di Desa Ngalang sendiri meliputi 32.140 ekor ayam kampung, 100 ekor
itik, 500 ekor kambing dan 600 ekor sapi potong. Sedangkan kegiatan
pertambangan bahan galian yang ada di Desa Ngalang, berupa batu gunung (240 m3),
batu kali (330 m3) dan batu bangunan (2600 m3).
Kelompok
sendiri telah memiliki koperasi kelompok yang diberi nama “Koperasi Sedyo
Rukun,” dengan nomor badan hukum 0341/BH/KDK -12-3, tertanggal 5 Mei 2000. Koperasi
tersebut kini telah memiliki tiga unit usaha Simpan Pinjam, 17 buah unit
usaha Bahan-bahan Kredit dan sebuah unit usaha Ekonomi Desa.
Kelompok
peternak sapi potong yang berdiri pada bulan Februari 1989 ini, kini berstatus
kelas kelompok utama dan telah
memiliki 30 anggota kelompok dengan jumlah ternak sebanyak 150 ekor. Prestasi kelompok yang telah diraih dalam
mengimplementasikan pengembangan kawasan terpadu agribisnis sapi potong adalah:
(a) di aspek
agribisnis hulu, berupa:
1. Usaha pakan, yang dilakukan oleh kelompok
dengan menyediakan pakan sapi bagi anggota kelompok dalam bentuk melakukan
gerakan penanaman rumput kolonjono, gliricide, lamtoro dan turi di pematang
sawah milik anggota maupun di Daerah Aliran Sungai (DAS), memanfaatkan limbah pertanian (rendeng kedelai,
kacang tanah dan jerami padi), memanfaatkan hasil sampingan panen padi yaitu
katul dan membuat casapro untuk pakan penguat, melayani penjualan konsentrat
jadi bagi anggota kelompok.
2.
Usaha perbibitan, dengan memanfaatkan seratus persen IB bagi anggota kelompok
yang akan mengawinkan induk sapi potong.
3. Usaha obat/vaksin, yakni menjual obat-obatan sederhana yang dibutuhkan
anggota seperti obat cacing dan membuat obat
tradisional dari biji lamtoro.
(b) di aspek on-farm, berupa:
upaya mengembangkan dan memantapkan kelembagaan kelompok. Mulai dari merapihkan struktur kelompok,
memantapkan pengurus kelompok, mendeskripsikan tugas pokok pengurus, membina
anggota kelompok, membantu merapihkan macam administrasi kelompok dan
mengefektifkan pelaksanaan kerja kelompok.
Memberikan pelatihan di proses produksi, seperti pemilihan bibit, proses
reproduksi, pengelolaan pakan, sistem perkandangan, pengendalian dan pencegahan
penyakit, pembinaan aktivitas dan ragam usaha kelompok, serta meningkatkan SDM
kelompok dengan mengadakan penyuluhan, studi banding, pelatihan, simposium
insap (intensifikasi sapi potong) dan
mengikuti pameran (pekan nasional). Pemeliharaan
sapi potong di kelompok Sedyo Rukun dipadukan dengan budidaya tanaman
pangan, dimana kotoran sapi sebagai hasil sampingan diolah menjadi pupuk kompos
sehingga kotoran sapi yang sebenarnya merupakan limbah yang dapat mencemari
lingkungan dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman pangan. Sedangkan
limbah dari tanaman pangan berupa rendeng kedelai dan kacang maupun jerami
dapat disimpan sebagai tendon pakan alternatif yang akan dimanfaatkan pada saat
musim kemarau.
(c) aspek
agribisnis hilir, berupa:
1. Usaha penanganan pasca panen, dengan
melakukan pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk fine compos yang dilaksanakan oleh masing-masing anggota.
2. Usaha pemasaran hasil, dengan mengkoordinir
pemasaran sapi bakalan maupun induk afkir milik masing-masing anggota, dimana
bagi anggota yang melakukan penjualan ternak dikenai iuran penjualan sebesar
Rp. 10.000,00.
(d) aspek penunjang, dilakukan kegiatan berupa:
upaya
penguatan modal kelompok melalui iuran anggota setiap menjual sapi dan mencarikan
sumber bantuan modal pinjaman bergulir (misalnya bantuan dari dinas
perekonomian Kabupaten Gunung Kidul, pinjaman lunak dari PT Dana Reksa).
Untuk Kabupaten Sukohardjo dipilih kelompok peternak sapi potong “Subur” yang
berlokasi di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto.
Desa ini memiliki luas wilayah 441,7840 Ha, terdiri dari 256,7230
Ha lahan sawah, 53,8750 Ha tegalan, 119,5845 Ha lahan
pekarangan dan permukiman, 11,6015 Ha berupa jalan, sungai dan kuburan. Suhu udara rata-rata dan curah hujan pertahun mirip dengan Desa Ngalang di Kabupaten
Gunung Kidul. Secara administratif desa
bertopografi datar ini berbatasan dengan Desa Wonorejo dan Desa Jatiroso
di sebelah utara, di sebelah selatan dengan Desa Godog, di sebelah barat Desa Bakalan
dan di sebelah timur dengan Desa Polokarto dan Rejosari.
Usahaternak
sapi potong kelompok tani ternak Subur di Desa Mranggen adalah usaha perbibitan
dan kereman/penggemukan, dengan usaha pendukung pembuatan hijauan pakan ternak,
pengolahan air kencing, pengadaan sapronak dan obat-obatan/ vaksin, pengolahan
hasil ternak. Usaha lainnya berupa tani padi, tani melon, empon-empon (bahan baku jamu gendong) dengan
memanfaatkan pupuk kompos (kotoran sapi).
Jumlah
penduduk Desa Mranggen saat ini ada sebanyak 2.189 KK dengan jumlah jiwa 8.413
orang yang terdiri atas 4.051 laki-laki dan 4.362 orang perempuan. Gambaran jumlah
penduduk berdasarkan umur dan jenis
kelamin tersaji pada Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Distribusi penduduk
Desa Mranggen menurut
umur dan jenis
kelamin
Kelompok Umur
(Tahun)
|
Laki-laki
(orang)
|
Perempuan
(orang)
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
0 - 6
|
601
|
688
|
1.289
|
15,32
|
7 - 12
|
670
|
745
|
1.415
|
16,82
|
13 – 15
|
342
|
329
|
671
|
7,98
|
16 – 24
|
631
|
708
|
1.339
|
15,92
|
25 – 40
|
669
|
686
|
1.355
|
16,10
|
> 40
|
1.138
|
1.206
|
2.344
|
27,86
|
Total
|
4.051
|
4.362
|
8.413
|
100,00
|
Sumber:
Monografi Desa Mranggen, 2005.
Sedangkan
distribusi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan, seperti yang tersaji pada
Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar (hampir 58 persen) mata pencaharian
penduduk Desa Mranggen adalah bertani sebagai buruh tani, menyusul petani
peternak sekitar 32 persen (624 kepala keluarga petani dan 82 kepala keluarga
peternak). Sepuluh persen sisanya bermata
pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, jasa pengangkutan/montir, PNS dan pensiunan.
Tabel
10. Macam pekerjaan penduduk Desa Mranggen per kepala keluarga
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah
(KK)
|
Persentase
(%)
|
Petani Peternak
|
706
|
32,25
|
Buruh tani
|
1.259
|
57,51
|
Pedagang
|
34
|
1,55
|
Jasa Pengangkutan, montir
|
32
|
1,47
|
Pengrajin
|
20
|
0,91
|
PNS
|
106
|
4,84
|
Pensiunan
|
32
|
1,47
|
Total
|
2.189
|
100,00
|
Sumber:
Monografi Desa Mranggen, 2005.
Adapun
sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Desa Mranggen adalah lima buah taman kanak-kanak, tujuh unit SD dan dua SLTP, ditambah 19 unit lembaga
pendidikan keagamaan. Memiliki sarana telepon umum dan layanan wartel serta tv
umum. Termasuk satu televisi umum yang ditarok di kelompok, pesawat televisi
hadiah dari Ibu Presiden sebagai Juara tingkat Nasional Lomba Kelompok Tani
Ternak bidang Agribisnis Peternakan tahun 2003. Jumlah pesawat televisi di Desa
Mranggen ada sebanyak 756 unit, 2.157 buah radio, 62 sepeda, 105 motor, 21
mobil dan empat buah truk.
Populasi
ternak di Desa Mranggen sendiri meliputi 1.029 ekor sapi potong, 15.250 ekor
ayam ras, 3.396 ekor ayam kampung, 2.210 ekor bebek/itik, 489 ekor domba dan 310
ekor kambing. Ketersediaan hijauan pakan
ternak (HPT) sangat mendukung, di antaranya kebon pakan ternak (rumput gajah, king grass dan setaria) yang ditanam di
tanah Kas Desa seluas dua hektar dengan produksi HMT sekitar 20 ton per hektar,
cukup banyak limbah pertanian yang belum termanfaatkan (jerami padi, pucuk
tebu, tebon dan rendeng/daun kacang tanah, daun ketela, daun jagung), lahan
sekitar sawah yang subur telah digunakan untuk penanaman rumput, lamtoro, turi
dan gamal.
Pada
awal dibentuk kelompok dengan nama Kelompok Tani Ternak Subur pada tahun 1998
memiliki 25 orang anggota. Kini, telah
berkembangan menjadi 40 orang, tetapi yang aktif dan dapat ditemui saat
dilaksanakan penelitian hanya 33 orang.
Jumlah pemilikan ternak juga berkembang dari 104 ekor, kini menjadi 308
ekor dengan skala kepemilikan ternak per anggota 5-9 ekor. Pertemuan rutin kelompok setiap 35 hari sekali
(selapanan) setiap hari Minggu Kliwon merupakan modal sosial bagi masyarakat di
lokasi penelitian, termasuk aktivitas pengajian.
Berkat
ketekunan, keingintahuan, keuletan dan mengutamakan gotong royong dari anggota
kelompok serta adanya bimbingan dari Dinas /Instansi terkait dalam hal ini Sub Dinas
Peternakan Sukoharjo dan KCD Peternakan, PPL dan Mantri Hewan Polokarto, maka
kelompok tani ternak Subur mengalami kemajuan dari berbagai segi antara lain kelompok telah mengelola ternaknya
dengan sistem agribisnis. Kelas kelompok
juga mengalami peningkatan dari kelas Pemula (11 Januari 1999) menjadi Lanjut
(12 Januari 2000), lalu meningkat menjadi Madya (15 Januari 2001) dan
dikukuhkan menjadi kelas Utama pada
tanggal 7 Januari 2002.
Semua
anggota kelompok “Subur” telah menjadi anggota KUD Sukodono yang berada di Desa
Wonorejo Kecamatan Polokarto. Prestasi
kelompok yang telah diraih dalam mengimplementasikan pengembangan kawasan
terpadu agribisnis sapi potong di antaranya adalah:
(a) di aspek
agribisnis hulu, berupa:
1. Usaha pakan, baik hijauan maupun konsentrat
dihasilkan dari kelompok sendiri.
Hijauan pakan ternak dipenuhi dari kebun bibit HPT kelompok, lahan
pekarangan, lahan tegalan masing-masing anggota, lahan Kas Desa dan turus
jalan. Hijauan pakan ternak yang
diberikan berupa hijauan segar, kering maupun pakan olahan seperti: hay,
silase, amoniasi jerami dan teknologi pakan UMMB (urea mollases multinutrition
Block) atau permen sapi. Formulasi yang
dipakai untuk membuat UMMB adalah sebagai berikut: mollases/tetes 5 kg, onggok
1,75 kg, bekatul 2,5 kg, bungkil kedelai 0,75 kg, kapur 1,25 kg, urea 0,6 kg,
garam 1 kg dan mineral laktat 0,125 kg.
Konsentrat yang diberikan pada sapi berasal dari produksi kelompok
sendiri yang diolah di pabrik pakan mini
kelompok, dengan bahan baku lokal berupa bekatul, onggok/gemblong, tepung
jagung, tetes, bungkil kelapa dengan komposisi sebagai berikut: bekatul 39%,
bungkil kelapa 18%, tepung jagung 18%, onggok 22%, urea dan garam masing-masing satu persen,
mineral/kapur dan tetes masing-masing 0,5%. Sedangkan bahan baku non-lokal (bungkil kelapa sawit)
disuplai dari PT Sempulur dengan kerjasama kemitraan. Konsentrat yang
diproduksi oleh kelompok Subur sejak November 2001 ini selain untuk mencukupi
kebutuhan sendiri juga dijual kepada peternak luar anggota.
2.
Usaha perbibitan, di kelompok Subur berasal dari produksi kelompok, yakni
dengan memelihara induk yang dikawinkan dengan pejantan unggul (Simmental,
Limousin, Brahman, Brangus) melalui inseminasi buatan/IB. Untuk meningkatkan
mutu genetik ternak kelompok melakukan sistem perbibitan dengan pencatatan
(recording), seleksi, pengafkiran dan peremajaan. Pemilihan bibit sapi dengan seleksi induk
yang sesuai dengan kriteria bibit. Untuk meningkatkan conception rate (tingkat kebuntingan) beberapa hal telah dilakukan
seperti pemahaman tanda-tanda berahi, pemahaman saat yang tepat untuk IB,
pemeriksaan kebuntingan dan alat reproduksi secara rutin. Seleksi pedet hasil IB yang baik digunakan
untuk bibit dan yang kurang baik diafkir untuk dijual atau digemukkan dulu baru
dijual. Skala usaha per anggota di kelompok tani ternak sapi potong Subur
berkisar 5-9 ekor per kepala keluarga (KK).
3. Usaha obat/vaksin, dilakukan kelompok
bekerjasama dengan UPTD Poskeswan Dinas Pertanian yang menyediakan obat dan
vaksin antara lain: obat cacing (piperazine, pipedon bollus), vitamin (B12, B Compleks, B1,
ADE) bioselamin, hematopan, gusanex, super killer (obat lalat), ivomex,
antibiotik, antihistamin (delladryl) starbio dan lain-lain. Pengobatan secara rutin berupa vaksinasi massa setiap tiga bulan
sekali dilakukan kelompok bekerjasama dengan dinas peternakan sekaligus
dilaksanakan pesta patok ternak.
(b) di aspek on-farm, berupa:
upaya mengembangkan sistem budidaya dalam bentuk satu kawasan kandang kelompok,
di samping masing-masing anggota juga mempunyai kandang individu di lahan
pekarangan rumah. Pemeliharaan sapi potong di kelompok Subur dipadukan dengan
budidaya tanaman pangan, dimana sekitar lokasi kelompok tersebut ada sawah
dengan sistem pengairan teknis yang dapat ditanami sepanjang tahun. Kotoran sapi sebagai hasil sampingan diolah
menjadi pupuk kompos sehingga kotoran sapi yang sebenarnya merupakan limbah
yang dapat mencemari lingkungan dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman
pangan. Sedangkan limbah dari tanaman pangan yang berasal dari penggilingan
padi, sisa ampas pembuatan tepung tapioka dan penggilingan jagung juga dijadikan pakan sapi. Di samping itu lahan di sekitar rumah
merupakan lahan yang sangat cocok untuk ditanami rumput dan tanaman tahunan
sebagai sumber pakan sapi.
Air di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto tersedia cukup melimpah, yang
berasal dari air permukaan dan air dalam tanah (sumur) yang tersedia sepanjang
tahun. Air tersebut digunakan untuk kebutuhan keluarga, persawahan, peternakan
dan lain-lain.
(c) aspek agribisnis hilir, berupa:
1. Usaha penanganan pasca panen, dengan
melakukan penjualan hasil ternak berupa ternak sapi (lokasi kelompok dekat
dengan Pasar Hewan Bekonang), penjualan daging (ada anggota yang menjadi jagal)
dan mengolah hasil produksi ternak sapi antara lain pembuatan kripik paru,
dendeng, kripik kulit yang dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani Subur. Limbah kotoran ternak dan sisa pakan diolah
menjadi pupuk kompos/organik dengan menggunakan EM4 atau Stardex menjadi bokasi
dan fine compos. Mengolah
air kencing menjadi pupuk berkualitas tinggi. Usaha pembuatan pupuk kompos
mulai dirintis tanggal 1 Januari 2003, sedangkan fermentasi air kencing
dilakukan pada tanggal 29 Januari 2003. Dengan
adanya pengolahan pupuk kandang dan air kencing sangat mendukung usaha lain
kelompok, yaitu berupa usahatani padi, hortikultura (seperti melon dan
sayuran), rumpun tanaman empon-empon sebagai bahan baku jamu gendong.
2. Usaha pemasaran hasil, yang dikelola oleh
seksi pemasaran kelompok tani ternak sapi potong Subur antara lain: (a)
penjualan obat-obatan/vaksin dan sapronak melalui Kios Sapronak, (b) penjualan sapi
berupa pedet, induk afkir dan bakalan,
(c) penjualan sapi kereman, (d) penjualan konsentrat, (e) penjualan pupuk
organik dan (f) penjualan air kencing yang telah difermentasi.
(d) aspek
penunjang, dilakukan kegiatan berupa:
Upaya
penguatan modal kelompok melalui iuran anggota, keuntungan usaha kelompok, jasa
pelayanan IB, jasa pelayanan kesehatan, fee
penjualan ternak dan fee pembelian
bahan baku. Melakukan kegiatan kemitraan dengan (1) PT
Sempulur Desa Mranggen, Polokarto untuk pengadaan bahan baku non-lokal konsentrat
(bungkil kepala sawit), dimana kelompok mendapat fee dari PT Sempulur sebesar Rp. 25,-/Kg setiap pengadaan bungkil
kelapa sawit tersebut; (2) PT INI (suplayer peternakan) dan jagal lokal, setiap
penjualan sapi kereman anggota kelompok memberikan jimpitan kepada kelompok
sebesar Rp. 5.000,-/ekor sedangkan dari PT INI memberikan fee sebesar Rp. 10.000,- per ekor ke kelompok, (3) PT TOA (Pabrik
Pupuk Kompos) Kecamatan Polokarto dalam hal pemasaran bahan baku dan pupuk
kompos. Setiap penjualan pupuk kandang peternak memberikan jimpitan ke kas
kelompok sebesar Rp. 5,-/Kg, demikian pula setiap pembelian pupuk kandang PT
TOA memberikan fee ke kelompok
sebesar Rp. 5,-/Kg; (4) CV Lembah Hijau Multi Farm Kecamatan Mojolaban
Kabupaten Sukoharjo dalam hal pengadaan Starbio, Stardex maupun penjualan pupuk
kompos. Setiap pembelian produk dari CV Lembah Hijau Multi Farm, maka kelompok
mendapatkan fee sebesar 10 persen. Saham kelompok tani ternak Subur di PT
Sempulur pada tanggal 1 Januari 1999 sebesar 50 juta rupiah.
Karakteristik Peternak Sapi Potong
Hasil analisis peubah-peubah yang
dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas karakteristik personal peternak
sapi potong disajikan dalam Tabel 11. Sesuai dengan hipotesis sebelumnya, ada tiga
peubah karakteristik yang dianalisis derajat hubungan dengan peran-peran
komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, yakni
tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa.
Tabel
11. Sebaran responden berdasarkan
karakteristik personal di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen)
Jenis
Peubah
|
Kategori
|
Kelompok Kurang maju
|
Kelompok
Maju
|
Gabungan
|
||||
Cisitu
|
Surade
|
Total
|
Gedang
sari
|
Polo-
karto
|
Total
|
|||
Umur
|
<
31 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
> 60 tahun
|
9,38
25,00
21,88
28,12
15,62
|
10,00
20,00
26,67
20,00
23,33
|
9,68
22,58
24,19
24,19
19,36
|
10,00
30,00
16,67
20,00
23,33
|
3,03
33,34
30,30
27,27
6,06
|
6,34
31,75
23,81
23,81
14,29
|
8,00
27,20
24,00
24,00
16,80
|
Pendidikan
Formal
|
Tak sekolah/
tak
lulus SD
SD
SMP/SMA
|
6,25
87,50
6,25
|
40,00
46,67
13,33
|
22,58
67,74
9,68
|
0,00
43,33
56,67
|
33,33
51,52
15,15
|
17,46
47,62
34,92
|
20,00
57,60
22,40
|
Banyaknya
Kursus yg
Diikuti
|
Tidak pernah
Sedikit
(1-2)
Banyak(>
3)
|
12,50
84,38
3,12
|
73,34
23,33
3,33
|
41,94
54,84
3,22
|
23,33
53,33
23,34
|
0,00
96,97
3,03
|
11,11
76,19
12,70
|
26,40
65,60
8,00
|
Pemilikan
Media
Massa
|
Tidak
punya
Punya
1
Punya
2
Punya
> 3
|
15,63
15,63
62,50
6,24
|
23,33
20,00
50,00
6,67
|
19,36
17,74
56,45
6,45
|
0,00
6,67
83,33
10,00
|
0,00
3,03
87,88
9,09
|
0,00
4,76
85,71
9,53
|
9,60
11,20
71,20
8,00
|
Status
Ekonomi
|
Rp
< 55 juta
Rp 55-110 juta
Rp>110
juta
|
90,63
9,37
0,00
|
66,67
23,33
10,00
|
79,03
16,13
4,84
|
26,67
26,67
46,66
|
48,48
30,30
21,22
|
38,10
28,57
33,33
|
58,40
22,40
19,20
|
n
|
32
|
30
|
62
|
30
|
33
|
63
|
125
|
Rataan
umur responden peternak sapi potong adalah 47,43 tahun dengan kisaran antara
20-77 tahun. Proporsi terbesar dari para peternak sapi potong di kelompok maju
ternyata umurnya antara 31-40 tahun atau relatif muda dan energik, sedang di
kelompok kurang maju berada pada kisaran umur 41-50 tahun dan 50-60 tahun (muda
sampai menjelang tua). Bahkan Tabel 11
mengungkapkan bahwa proporsi yang berumur di atas 60 tahun lebih besar pada peternak
kelompok kurang maju (sekitar 19%) dibandingkan dengan di kelompok maju (hanya
14%). Secara keseluruhan, peternak sapi
potong ini dominan berumur antara 31-40 tahun (27%), menyusul masing-masing
sekitar 24 persen berumur 41-50 tahun dan 51-60 tahun. Ini berarti umur
peternak tergolong masih muda dan masuk kategori usia produktif untuk melakukan
aktivitas usahaternak sapi potong yang penuh dinamika, menuntut kerja keras dan
keberanian mengambil resiko.
Peternak sapi potong yang dilibatkan
dalam penelitian ini sebagian besar (hampir 58%) berpendidikan Sekolah Dasar
(SD/sederajat). Kecenderungan yang sama
juga tampak pada peternak dari status kelompok kurang maju dan maju (Tabel 11),
hanya saja untuk peternak dari status kelompok kurang maju proporsi kedua
terbesar (hampir 23%) adalah berpendidikan tidak tamat SD atau tidak pernah
sekolah, baru kemudian berpendidikan formal sekolah lanjutan (hampir 10%). Sedangkan peternak dari kelompok maju
proporsi kedua terbesar (hampir 35%) berpendidikan sekolah lanjutan (SMP/SMA).
Bahkan di kelompok peternak “Sedyo Rukun” Desa Gedangsari tak satupun anggota
kelompok yang tidak bersekolah/tidak tamat SD, sebagian besar (hampir 57%)
peternak di kelompok status maju ini berpendidikan sekolah lanjutan. Jadi, terlihat bahwa tingkat pendidikan formal
peternak sapi potong pada kelompok maju relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan peternak sapi potong kelompok kurang maju. Kedepan memang dituntut peternak yang masih
muda dan dengan tingkat pendidikan menengah bahkan sarjana, sehingga dapat
lebih mudah mengadopsi inovasi serta mengimplementasikan teknologi dan bisnis
peternakan sapi potong. Menghadapi
tantangan globalisasi (pasar bebas) beberapa tahun mendatang, tentulah dituntut
peternak-peternak yang mampu bersaing dan disandingkan dengan peternak-peternak
bangsa asing. Untuk itu, dibutuhkan
peternak yang memiliki jiwa dan sikap entrepreneurship
atau wawasan bisnis yang optimal, memiliki daya juang yang tinggi, dinamis,
inovatif, kreatif, tekun dan ulet.
Pendidikan non-formal yang
dimiliki para anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam
penelitian ini adalah berupa kegiatan yang dilakukan peternak untuk menambah
wawasan dan pengalaman di luar pendidikan formal. Pada Tabel 11 diungkapkan bahwa sebagian
besar (hampir 66 persen) responden telah mengikuti kursus atau
pelatihan-pelatihan di bidang pertanian/peternakan maupun di luar pertanian
seperti kewirausahaan dan koperasi sebanyak satu atau dua kali. Peternak
kelompok maju cenderung mengikuti kursus/pelatihan maupun penyuluhan lebih
banyak daripada peternak-peternak kelompok kurang maju. Malahan tidak ada satupun peternak maju
kelompok tani ternak Subur di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto yang tidak
pernah ikut kursus penyuluhan. Hampir 97
persen responden anggota kelompok tani ternak Subur tersebut telah mengikuti
satu sampai dua kali pelatihan dan kursus-kursus.
Bila diamati lebih mendalam, ternyata antara peternak kelompok maju dan
kurang maju tidak menunjukkan perbedaan
yang mencolok dalam banyaknya kursus
yang telah diikuti selama ini. Peternak sapi potong di kedua kelompok
tersebut umumnya menyatakan bahwa pernah mengikuti kursus atau pelatihan, yakni
peternak kelompok kurang maju sekitar 58% dan peternak maju 89 persen.
Adapun
macam kursus yang cenderung dominan diikuti oleh peternak kelompok kurang maju adalah
tanaman pangan (hampir 39 persen), menyusul budidaya ternak sapi (sekitar 37
persen), SLPHT (hampir 22 persen) serta masing-masing sekitar tiga persen ikut
kursus koperasi dan pelatihan pakan.
Sedangkan peternak kelompok maju hampir seluruhnya (97%) sudah ikut
kursus budidaya ternak sapi potong, bahkan ada yang sampai dua atau tiga kali
ikut kursus lainnya. Kursus dominan berikutnya yang diikuti peternak maju
seperti tersaji pada Gambar 5 ialah SLPHT (32 persen), menyusul kursus lain-lain
(30 persen) seperti kursus alsintan, kehutanan dan lingkungan hidup, kelompok
dan KSM, mitra cai serta beternak domba. Lalu, kursus koperasi (21 persen), membuat
atau menyusun ransum pakan komplit (hampir 16%) dan kursus tanaman pangan
(hampir 13%).
Gambar 5. Diagram kolom macam kursus yang pernah
diikuti
Secara Gabungan
dapat dilihat pada Gambar 5, bahwa macam kursus yang dominan (sekitar 66%)
diikuti responden ialah kursus budidaya beternak sapi potong termasuk yang
berkaitan dengan perbibitan, produksi dan reproduksi/IB hingga pembuatan
kompos, menyusul SLPHT/Sekolah Lapangan
Pengendalian Hama Terpadu (sekitar 31 persen),
pelatihan tanaman pangan (sekitar 29%), perkoperasian (hampir 10%),
pakan (sekitar delapan persen) termasuk membuat silase, amoniasi jerami dan konsentrat. Ada
sekitar 15 persen ikut penyuluhan lain-lain.
Sama
seperti peubah “banyaknya kursus yang diikuti oleh peternak,” pada peubah
kepemilikan media massa
pun terlibat bahwa baik peternak kurang maju maupun maju sama-sama dominan sudah memiliki media massa. Pada kelompok
kurang maju hampir 80 persen peternak yang punya media massa di rumahnya dan pada peternak maju
seluruhnya pada memiliki media massa.
Berarti, tidak terdapat perbedaan
kepemilikan media massa
di antara peternak kelompok kurang maju dan maju. Distribusi anggota kelompok
peternak menurut pemilikan media massa
(radio, televisi, telepon/Hp, berlangganan koran dan majalah) disajikan pada
Tabel 11.
Pada
kelompok kurang maju baik Cisitu maupun kelompok Surade, kelompok maju Gedangsari
dan Polokarto, keempat-empatnya memiliki
proporsi terbesar kepemilikan media massa berada pada anggota kelompok yang
mempunyai dua macam media massa.
Artinya kepemilikan tersebut masih dalam kategori umum yang terjadi di
masyarakat, yakni hanya memiliki radio atau televisi saja, atau punya keduanya. Secara gabungan, terdapat sekitar 71 persen
peternak yang masuk kategori memiliki dua macam media massa, 11 persen yang
memiliki satu macam media massa (hanya radio atau televisi saja) dan hanya
delapan persen peternak yang memiliki tiga atau lebih media massa, yakni
kombinasi radio, televisi, Telepon/Hp, berlangganan suratkabar maupun majalah. Selebihnya, sekitar sembilan persen anggota kelompok
peternak yang sama sekali tidak memiliki media massa di rumahnya. Meski demikian para
peternak tersebut menyatakan, bahwa mereka tetap suka menonton televisi atau
mendengar radio bersama di rumah sanak keluarga atau menumpang di tetangga. Pada Tabel
11 lebih jauh terungkap, bahwa pada kelompok kurang maju terdapat sekitar 19
persen peternak yang tidak memiliki media massa
dan yang terbesar (23%) adalah di Surade. Ini disebabkan lokasi kelompok
Banjaran yang berada di dataran tinggi yang sulit mengakses siaran televisi. Siaran televisi yang bisa ditangkap di Surade
hanya tiga, yakni RCTI, SCTV dan Indosiar dan itupun memerlukan bantuan antena
parabola, karena stasiun relay
televisi hanya ada di Cibungur yang jaraknya hampir tujuh km dari lokasi kelompok.
Siaran dari stasiun lain, termasuk TVRI kurang jelas tertangkap.
Macam media massa yang dimiliki para peternak kelompok
sapi potong dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
Gambar 6. Diagram kolom kepemilikan
media massa
Diagram
kolom (columns diagram) pada Gambar 6 menunjukkan bahwa macam media massa yang hampir
dimiliki semua peternak adalah televisi (sekitar 87%) dan radio (76%),
sedangkan media massa lainnya sedikit sekali responden yang memiliki, seperti handphone (delapan persen), telepon
rumah dan suratkabar (masing-masing mendekati enam persen) dan berlangganan
majalah (hampir lima persen). Perbedaan
yang jelas terlihat antara kelompok maju dan kurang maju dalam kepemilikan
media massa
adalah peternak di kelompok maju lebih banyak yang mempunyai pesawat televisi,
telepon, berlangganan suratkabar dan majalah, sedangkan kepemilikan pesawat
radio lebih sedikit dibandingkan dengan peternak-peternak di kelompok kurang
maju Kelas ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong diukur berdasarkan
tingkat kekayaan yang dimiliki keluarga peternak tersebut yang dilihat dari
nilai asset benda-benda materiil dan pskologis yang seringkali sangat
berpengaruh pada penguasaan ekonomi (Rossides, 1978), baik berupa tanah (sawah,
kebon dan sebagainya), rumah, ternak, alsintan, modal usaha, tabungan dan
deposito, sarana komunikasi dan telekomunikasi, sarana transportasi dan
perabotan rumah tangga.
Dari
data kumulatif tentang tingkat kekayaan ini, lebih lanjut dapat dibuat kelas
atau kategori, yang menurut Warner dan Lunt (1941) sebagai upaya membuat peringkat
(hierarchy class) dengan komposisi
mulai dari upper-upper class sampai
ke lower-lower class. Dengan menggunakan
statistik “the boxplot” upaya
menentukan peringkat dapat dilakukan, termasuk mengkategorikan peubah kelas
ekonomi bagi peternak anggota kelompok ternak sapi potong yang dilibatkan dalam
penelitian ini.
Gambar 7. Diagram kotak garis
kelas ekonomi peternak per kelompok amatan
Hasil
olahan boxplot seperti yang disajikan
pada Gambar 7 terlihat bahwa terdapat empat responden yang memiliki nilai rasio
status/kelas ekonomi yang sangat tinggi yakni responden nomor 16 di Gedangsari,
nomor 53 dan 59 di Polokarto serta
responden nomor 81 di Cisitu adalah data pencilan, sehingga tidak
diikutkan dalam penghitungan rata-rata.
Pertimbangan tidak diikutkannya data pencilan tersebut, karena nilai
rataan sangat dipengaruhi oleh nilai ekstrem.
Kelas
ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong seperti terlihat pada Tabel 11 menunjukkan,
bahwa sebagian besar (sekitar 79%) peternak kelompok kurang maju tergolong
rendah, yakni yang memiliki tingkat kekayaan
kurang dari 55 juta rupiah,
sekitar 16% tergolong peternak berstatus ekonomi kategori sedang dengan
kisaran tingkat kekayaan 55 sampai 110 juta rupiah dan hanya lima persen peternak berstatus ekonomi yang tinggi di
atas 110 juta rupiah. Bahkan tidak ada
satupun anggota kelompok peternak Cisitu tergolong kelas ekonomi tinggi. Hal ini kontras sekali dengan anggota
kelompok peternak maju yang sebagian besar merupakan para peternak berstatus ekonomi
sedang sampai tinggi (hampir 62%) dan sekitar 38 persen sisanya ialah peternak
dengan kelas ekonomi rendah. Terdapat perbedaan kelas ekonomi
peternak sapi potong di kelompok maju dan kurang maju, tentunya berimplikasi
pada pelapisan masyarakat yang tentunya membawa prestise tersendiri atau gengsi
bagi peternak tersebut.
Secara
gabungan terlihat, bahwa lebih dari separuh peternak sapi potong masuk kategori
kelas ekonomi rendah, sekitar 22% kategori sedang dan sekitar 19% sisanya masuk
kelas ekonomi tinggi.
Bila
dikaitkan dengan tingkat pendapatan para peternak tersebut yang diukur
berdasarkan besar pengeluaran keluarga selama sebulan terakhir, ternyata
klaster kelas ekonomi di atas tidak begitu berpengaruh dengan tingkat
pendapatan. Dimana terlihat secara
gabungan pada diagram palang bersusun Gambar 8 mendeskripsikan, bahwa peternak
sapi potong yang berpendapatan kecil hanya mencapai 34 persen, malah yang
terlihat dominan (sekitar 51%) adalah peternak dengan pendapatan sedang
(berkisar antara Rp 750 ribu sampai Rp 1.500.000,-), sedangkan yang
berpendapatan besar di atas satu setengah juta rupiah sekitar 15 persen.
Gambar 8. Diagram palang bersusun sebaran peternak berdasarkan
tingkat pendapatan per bulan
Rata-rata
pendapatan keluarga peternak sapi potong secara gabungan adalah satu juta
rupiah sebulan. Rata-rata pendapatan anggota dari dua kelompok peternak maju
berada pada kategori sedang, dengan rataan pengeluaran per bulan sebesar Rp.
894.500,- untuk Gedangsari dan Rp. 1.040.200,- untuk Polokarto.
Pada
kelompok kurang maju rataan pendapatannya sangat variatif. Rataan pengeluaran peternak kelompok Surade
masuk kategori tinggi (Rp. 1.407.370,-).
Sedangkan peternak kelompok Cisitu berada pada kategori rendah, sekitar Rp. 894.500,- per bulan.
Walaupun
demikian ada seorang responden kelompok Cisitu yang memiliki tingkat pendapatan
yang sangat tinggi (hampir 2,5 juta rupiah per bulan), yakni responden nomor 81. Responden ini adalah pencilan dan tidak
diikutkan dalam penghitungan rata-rata pada analisis boxplot tingkat pengeluaran per bulan, yang dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.