Minggu, 26 Februari 2012

TINGKAT PENGGUNAAN MEDIA MASSA DAN PERAN KOMUNIKASI


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyuluhan ialah suatu istilah yang secara baku telah digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan pendidikan non-formal yang semula hanya ditujukan kepada petani ataupun peternak yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di sektor produksi pertanian.  Maunder (1972) mengartikan penyuluhan (dari istilah extension) sebagai suatu layanan atau sistem  yang membantu petani, melalui  prosedur-prosedur pendidikan praktis, mengembangkan metode-metode dan teknik-teknik baru pertanian untuk meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan serta memperoleh tingkat hidup yang lebih tinggi bagi diri dan keluarga mereka.
Penyuluhan sebagai pendidikan non-formal, setelah revolusi hijau kurang menghasilkan kesejahteraan bagi petani kecil.  Struktur komunikasi yang dikembangkan cenderung diganti dari model-model yang mengikuti struktur komunikasi “guru-murid”/top down, berkembang ke arah pola komunikasi dyadic dan menjadi struktur komunikasi “petani sebagai partner.” Artinya, kegiatan penyuluhan  berkembang menjadi “saling belajar” dan karena itu fungsi penyuluh lebih difokuskan pada fasilitator. 
Dalam hal ini, penyuluh berfungsi sebagai fasilitator bagi masyarakat yang perlu mengalami proses belajar memperbaiki dirinya sendiri (Slamet, 1992). Dengan pendidikan non-formal atau penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.  Masyarakat di sini hendaknya jangan dijadikan sebagai obyek pembangunan saja, melainkan harus dilibatkan sebagai subyek pembangunan yang perlu mengalami suatu proses belajar untuk mengetahui adanya kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya, memiliki kemampuan dan keterampilan untuk memanfaatkan kesempatan itu, serta mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki  kehidupannya. Asngari (2001) menyebutkan hal ini sebagai upaya empowerment, yakni memberdayakan SDM-klien sebagai subyek penyuluhan yang aktif mendinamiskan diri dan sebagai aktor yang berupaya untuk lebih berdaya diri dan mampu berprestasi prima. Untuk itu prakarsa dari masyarakat petani harus dirangsang, demikian juga pembangunan kelembagaannya harus diarahkan dan diawasi cara mereka berkinerja  dan melakukan fungsi-fungsinya dengan efektif dan efisien (Tjondronegoro, 1998).
Malah, kini penyuluh di beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat petani (community development) dan penyuluhan capacity building (penguatan kapasitas kelembagaan) berubah fungsi sesuai dengan perkembangan SDM-klien. Peran penyuluh dalam hal ini menjadi konsultan,  dengan sasaran meningkatkan kelembagaan masyarakat petani maupun kapasitas SDM-klien, dimana petani diharapkan aktif mencari, mendapatkan atau meminta advis atau layanan  akan informasi yang dibutuhkan dan aktif mendatangi penyuluh atau mengontak sumber informasi.  
Kegiatan penyuluhan sapi potong pun diduga mengalami perubahan struktur komunikasi. Pola komunikasi bukan lagi berupa penyuluhan “tetesan minyak”/ SSBM (swasembada bahan makanan) berpola“guru-murid”/top down atau mengandalkan penyuluhan sistem LAKU (latihan dan kunjungan) yang berpola dyadic memadukan kepentingan  top down dan bottom up dengan pendekatan komunikasi interpersonal maupun kelompok. Penyuluhan di sini harus lebih menekankan pada capacity building kepada masyarakat.
Untuk  mempercepat kesiapan masyarakat (petani/peternak) memasuki era pasar bebas dan globalisasi di bidang ekonomi, maka pembangunan pertanian, termasuk usahaternak sapi potong secara bertahap telah melakukan transformasi rekayasa sistem agribisnis. Transformasi rekayasa sistem agribisnis di sini adalah upaya membuat perubahan (bentuk, rupa, sifat dan sebagainya) rancangan perlakuan sistem agribisnis ke arah ideal ditinjau secara ekonomis dan sosial-budaya.  Transformasi rekayasa sistem agribisnis tersebut bertujuan untuk memicu percepatan kesiapan fisik maupun mental masyarakat petani-peternak dalam menghadapi pasar bebas dan era globalisasi di bidang ekonomi.  Banyak ilmuwan sosial melihat istilah “rekayasa” terlalu mekanistik, sehingga lebih melihatnya sebagai proses yang lebih lambat atau bertahap disebut “akulturasi” atau “sosialisasi.”
            Perubahan rancangan perlakuan pada sistem agribisnis, berarti proses perubahan berencana dalam pembangunan peternakan sapi potong berwawasan  agribisnis.  Di sini penyuluhan ikut memegang peranan penting.  Untuk itu perlu dipikirkan strategi penyuluhan pembangunan peternakan sapi potong yang bagaimana, yang dapat dijadikan sebagai salah satu upaya menswadayakan petani-peternak, sehingga lebih berdaya diri dan mampu berprestasi prima.  Dalam upaya ini, kegiatan aspek transformasi rekayasa tersebut lebih difokuskan  sebagai suatu strategi penyuluhan agribisnis sapi potong. Transformasi rekayasa dalam pengertian tersebut meliputi upaya rekayasa sosial budaya, ekonomi, politik dan teknologi.  Hal ini perlu dipertimbangkan, karena ia merupakan langkah awal pembenahan upaya pembangunan menuju masyarakat (petani/peternak) berkualitas dan partisipatif.
            Strategi sebagai desain operasional yang digunakan oleh pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan penyuluhan pertanian dan peternakan pada PJP I (Pembangunan Jangka Panjang tahap Pertama), lebih kepada alasan kepentingan percepatan pembangunan karena lebih banyak diorientasikan kepada strategi alih teknologi (technology delivery strategy) daripada strategi pembangunan perdesaan (rural development strategy), yang berorientasi penguatan kapasitas kelembagaan dan pemandirian individu khalayak sasaran penyuluhan.  Kenyataan, sampai sekarang kebijakan penyuluhan masih bersifat “technology delivery system,”  hanya teknologinya yang diubah.
            Sejak awal repelita VI, genderang pembangunan peternakan berorientasi agribisnis sebenarnya telah dikumandangkan dan kini setelah lebih dari lima tahun implementasi sistem agribisnis dalam pembangunan peternakan ini dilakukan, diharapkan reorientasi strategi penyuluhan pun sudah dilaksanakan. Yakni dari penyuluhan peternakan  ke penyuluhan agribisnis yang paling tidak meliputi: (1) penyuluhan teknik budidaya sudah berubah ke total agribisnis, (2) penyuluhan teknologi ke arah bisnis, (3) penanganan  sentralisasi ke desentralisasi dan (4) sasaran penyuluhan hanya petani-peternak (aspek on-farm/di tingkat infrastruktur) diperluas ke berbagai jenis sasaran strategis lainnya (aspek off-farm/di tingkat suprastruktur).
            Melihat sasaran strategis penyuluhan yang semakin variatif, maka media penyuluhan seharusnya tidak hanya berorientasi pemanfaatan saluran komunikasi interpersonal, tetapi juga mulai intensif menggunakan saluran media massa dan memfungsikan forum-forum media (farm forum) yang ada di sistem petani (user). Hal ini terjadi, karena tidak terlepas dari globalisasi informasi yang merupakan tantangan dan peluang untuk lebih mengefektifkan dan memaksimalkan fungsi berbagai media penyuluhan (saluran komunikasi).  Diharapkan masyarakat sudah berubah pola komunikasinya.  Dimana peternak sudah mampu menyerap dan menerapkan informasi untuk meningkatkan usahaternaknya, sehingga mendapat keuntungan yang lebih besar. Kemampuan komunikasi peternak atau masyarakat perdesaan diharapkan sudah menjadi lebih baik, termasuk telah ada dialog antara sesama mereka atau antara peternak dengan pemimpin mereka, dan dengan para penyuluh/agen pembaruan atau dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini telah terjadi peningkatan kebebasan atau terdedah informasi (selective exposure) dan transparansi informasi. 
            Bukti empiris lain menunjukkan bahwa aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi relatif tersedia di petani, seperti hampir setiap petani di hampir seluruh wilayah perdesaan memiliki pesawat radio terutama transistor kecil (van den Ban dan Hawkins, 1999); dan stasiun pemancar radio, terutama swasta dan radio-radio lokal juga semakin banyak.  Pemanfaatan radio bagi komunikasi pertanian   di Indonesia  sudah  dilakukan sejak tahun 1969 hingga  kini  oleh RRI
(Radio Republik Indonesia)  melalui “siaran pertanian/siaran perdesaan.”  Setiap desa/kelurahan di era orde baru pada tahun 80an difasilitas pesawat televisi dan dipancarkan siaran program perdesaan/pembangunan pertanian dua kali setiap minggunya melalui TVRI.  Kini Indonesia telah memiliki cakupan tv yang lebih baik, sudah meningkat stasiun siaran dan jumlah stasiun penerima, termasuk bermunculannya puluhan televisi swasta (nasional dan lokal) yang turut menyemarakkan penyampaian pesan pembangunan dengan porsi beragam dan minim. Di Indonesia proporsi penduduk desa yang menonton televisi sekitar 64,77 persen (BPS, 1994). Proporsi ini terus meningkat, karena kesejahteraan masyarakat yang kian membaik telah merangsang mereka membeli pesawat tv, di samping program penyebaran tv ke perdesaan yang dilancarkan pemerintah (Jahi, 1993). Dengan kemajuan teknologi informasi dan adanya teknologi satelit memungkinkan masyarakat menyaksikan siaran melintas antar stasiun tv negara-negara di dunia (Rusadi, 1991), bahkan masyarakat perdesaan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, malah terjadi intervensi (terdedah) siaran televisi asing dengan mudah (Harmoko, 1992 dan Rusadi, 1991).  Aksesibilitas radio dan televisi tersebut, serta adanya kebijakan koran masuk desa (KMD) tentunya memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh informasi sesuai kebutuhan yang didasarkan pengalaman petani dan/atau hasil temuan penelitian. 
            Adanya globalisasi informasi, kebebasan dan transparansi informasi, serta berkembangnya komunikasi antar petani dalam mengadopsi teknologi dan informasi pembangunan sesuai dengan kebutuhan, maka perlu pembenahan pola komunikasi dalam penyuluhan agar partisipasi petani dapat semakin ditingkatkan.  Dengan kemampuan peternak menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam mencari, mendapatkan atau menerima, mengolah dan memanfaatkan peluang membangun, menyerap serta menerapkan informasi peternakan yang tepat dan relevan, diharapkan akan berpengaruh positif terhadap tingkat produktivitas.
Berdasarkan hal di atas, masalah utama  penelitian ini untuk  melihat (1) sejauhmana telah terjadi perubahan perilaku komunikasi peternak, baik dalam penggunaan media massa (media exposure) maupun dalam pemanfaatan saluran media interpersonal; (2) sebagai akibat dari keterbukaan informasi maka partisipasi peternak dalam gerakan pembangunan juga diharapkan meningkat; dan (3) aktivitas “self supporting” menggalang kerja membangun dalam dirinya juga  meningkat melalui jaringan komunikasi sapi potong; dan (4) komunikasi sebagai gejala sosial dipengaruhi oleh dua faktor yang dominan, yakni faktor struktural dan kultural. Salah satu faktor struktural ialah pelapisan sosial yang terbentuk atas karakteristik personal turut mempengaruhi perilaku komunikasi, baik dalam hal selective exposure atau keterdedahan (terpaan atau pajanan) terhadap media massa maupun jaringan komunikasi yang terjadi.  Kalaupun hambatan struktural dapat di atasi maka kultur (kebudayaan) dapat pula menjadi penghalang proses komunikasi
yang berakibat tidak mau menerima informasi yang terdedah terhadap dirinya. Dengan demikian upaya mendiseminasikan informasi di kalangan masyarakat tidak dapat dilakukan dengan mudah apabila kedua faktor tersebut tidak dapat di atasi. Oleh karena itu, faktor-faktor personal peternak yang dilibatkan dalam penelitian ini penting juga untuk dikaji.
Fenomena sudah terjadi perubahan penggunaan saluran komunikasi yang variatif di kalangan peternak ini, perkuat pula oleh pendapat Slamet (1995) yang menyebutkan bahwa masyarakat petani telah berubah secara nyata, yakni lebih baik tingkat pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan keteram-pilannya telah jauh lebih baik, telah mampu berkomunikasi  secara impersonal.  Di samping, telah terjadi perubahan karakteristik personal peternak sebagai akibat pembangunan pertanian itu sendiri, dimana sudah terbentuk berbagai strata ko-mersial pada diri petani (Jarmie, 1994; Slamet, 1999). Penelitian Sumardjo (1999) malah menyebutkan bahwa beberapa petani telah mengarah pada terbentuknya petani mandiri.  Petani komersial dan mandiri ini membuat jejaring komunikasi sendiri, mencari dan memanfaatkan informasi penyuluhan sesuai kebutuhan.

Masalah Penelitian

            Sejak awal dilaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian periode 1945-1959 yang berupa kegiatan mendidik masyarakat desa dengan sistem penyuluhan pertanian tetesan minyak. Kemudian, periode 1959-1963 menjadi gerakan massa SSBM (swasembada bahan makanan).  Sekitar tahun 1964 tetesan minyak diganti dengan metode penyuluhan “tumpahan air,” yang ditandai dengan kampanye besar-besaran di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Dampak negatif penyuluhan sistem komando ini adalah para petani menjauhi penyuluh.  Periode 1963-1993 dikenal dengan gerakan swasembada beras karena penyuluhan pertanian diintegrasikan dengan gerakan Bimas/Inmas untuk swasembada pangan melalui sistem LAKU (latihan dan kunjungan) dan sukses swasembada berasnya dicapai tahun 1984.  Menyusul periode 1993-Sekarang, yang ditandai adanya perubahan orientasi pendekatan komoditas ke pendekatan agribisnis dan otonomi daerah.  Dimana di tahun 1993 urusan penyuluhan pertanian diserahkan kepada pemerintah daerah yang menyebabkan dinamika penyuluhan pertanian menurun drastis. Di tahun 1998 diluncurkan program Gema Palagung 2001, Gema Protekan 2003 dan Gema Proteina 2003, ini pun menuai masalah. Memang, peningkatan produksi berhasil tetapi meninggalkan masalah utang macet, dan prinsip penyuluhan dirusak dengan pemberian insentif kepada penyuluh.   
Terlihat bahwa penyuluhan  hingga saat ini, intinya hanya untuk alih teknologi dan mengejar peningkatan produksi.  Sedangkan kegiatan penyuluhan pertanian untuk meningkatkan kapasitas manusia (SDM)nya belum dilakukan.  Padahal, di kalangan petani telah banyak terjadi perubahan seperti tingkat pengetahuan dan pendidikan yang semakin baik, tingkat pendapatan  yang meningkat, semakin tersedianya aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi, sehingga petani mencari dari sumber lain akan kebutuhan yang mereka perlukan.  Fenomena ini dikuatkan oleh hasil penelitian Puspadi (2002) yang menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan pemenuhan kebutuhan informasi dan perilaku usahatani yang semakin komersial, dimana akibat relatif tingginya tingkat pendidikan para petani, perubahan cara belajar petani, makin tingginya kapasitas inovasi dan informasi para petani, bangkitnya kesadaran petani atas hak-haknya, perubahan referensi petani, munculnya gejala-gejala relativitas  nilai di perdesaan, makin tingginya otoritas petani dalam pengambilan keputusan, menuntut perubahan peran, sistem  dan  paradigma penyuluhan pertanian.
            Kalau penelitian Puspadi (2002) melihat pada perubahan pemenuhan kebutuhan informasi, maka studi ini lebih melihat (pada) perubahan penggunaan saluran komunikasi dan menentukan pola komunikasi yang paling efektif dalam penyuluhan serta mengungkapkan distorsi informasi penyuluhan teknologi sapi potong di sistem user.
Seperti telah disebutkan di atas, telaah komunikasi dalam penelitian ini adalah telaah yang berkaitan dengan pembangunan. Komunikasi pembangunan yang dilakukan di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang sebenarnya bukan komunikasi pembangunan yang diungkapkan Schramm dan Lerner (1976) dari studi penelitiannya di Desa Balgat, Turki,  yakni komunikasi sebagai unsur penting dalam proses pembangunan yang dengan komunikasi diharapkan mampu mengubah sikap, pikiran serta kepribadian tradisional menjadi modern. Selain itu, komunikasi bukan merupakan alat untuk diseminasi, tetapi menjadi alat bagi peternak sendiri untuk menentukan saluran komunikasi yang akan digunakannya dan informasi yang akan diambil. Sehingga, seperti halnya program pengembangan sapi potong di desa-desa yang umumnya dilaksanakan dalam situasi dan keadaan mikro berbentuk kampanye dan kaji tindak yang segera akan diakhiri bila proyek pembangunan telah selesai dilaksanakan (Jayaweera, 1989), tak akan terjadi.  Inilah yang mendasari perlunya komunikasi penunjang pembangunan (KPP).  Pendekatan ini bertentangan dengan kondisi pembangunan selama ini. Melaksanakan KPP pada dasarnya tidak mengubah paradigma pemba-ngunan itu sendiri. Kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia lebih merupakan kegagalan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu paradigma pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan fisik. Oleh karena itu, kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia merupakan kegagalan komunikasi linear, maka studi-studi komunikasi hendaknya mengacu pada model komunikasi konvergensi yang memandang proses komunikasi bukan secara sepihak dari komunikator kepada penerima (user), melainkan suatu proses berbagi informasi tanpa menunjukkan superioritas salah satu unsur yang terlibat dalam proses komunikasi. Salah satu penelitian yang mengacu pada model komunikasi konvergensi tersebut adalah studi mengenai jaringan komunikasi interpersonal yang menggunakan metode analisis jaringan (Rogers, 1995).
Keuntungan menggunakan metode ini yang menggunakan hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisis dibandingkan dengan metode yang menggunakan individu sebagai unit analisis (survei) ialah dapat dihimpitkannya struktur sosial yang diambil dari pengkategorian karakteristik personal pada arus komunikasi. Hal ini memungkinkan kita memahami hubungan antara struktur sosial dengan arus pesan. Pemahaman ini sangat berguna sebagai masukan untuk perumusan strategi komunikasi pembangunan, yang sering diabaikan oleh para ekonom yang merancang pembangunan. Telaah komunikasi yang berkaitan dengan pembangunan perlu dilakukan, terlebih pada usaha-usaha pemerataan kesempatan menikmati hasil-hasil pembangunan  yang menuju sasaran berupa peningkatan pendapatan warga masyarakat, peternak yang hidup di perdesaan.  Untuk itu fokus penelitian ini adalah usaha pemahaman hubungan antara karakteristik personal, terpaan atau keterdedahan arus informasi (selective exposure), keterlibatan peran komunikasi peternak sapi potong dalam jaringan komunikasi dan distorsi informasi.  Konsep distorsi yang dimaksud di sini adalah ketimpangan tingkat informasi antar anggota jaringan komunikasi.
Dari latar belakang dan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian utama, yakni Apakah perilaku komunikasi peternak dalam penyuluhan sudah tidak sepenuhnya mengandalkan komunikasi interpersonal?”  Dari pertanyaan utama tersebut dan melihat kondisi profil peternak yang sudah lebih baik (terutama pendidikan dan strata komersial/ kelas ekonomi), menimbulkan kecenderungan berperilaku komunikasi yang tidak hanya interpersonal melainkan juga berkomunikasi impersonal sebagai alternatif pola-pola terdahulu (tetesan minyak/SSBM, LAKU, US.Extension seperti sekolah lapangan atau kursus maupun pelatihan).  Untuk itu, empat pertanyaan penelitian yang lebih operasional berikut ini coba dirumuskan sebagai masalah penelitian, yaitu:
1.      Bagaimana perilaku komunikasi peternak dalam mendapatkan informasi?
2.      Apa saja peran-peran komunikasi yang dilakukan peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong?
3.      Sejauhmana hubungan karakteristik personal (tingkat pendidikan, kelas ekonomi, kepemilikan media massa) dengan keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal; keeratan hubungan karakteristik personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal dengan peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan keterkaitan hubungan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi informasi?
4.      Bagaimana pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong?

Tujuan Penelitian


Penelitian ini  bermaksud untuk menelusuri dan menganalisis perubahan proses komunikasi penyampaian informasi penyuluhan pembangunan kepada masyarakat, berupa program pengembangan sapi potong. Secara spesifik, tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan studi ini adalah untuk:
1.      Melihat perilaku komunikasi  peternak dalam mendapatkan informasi.
2.      Mengidentifikasi tingkat partisipasi peternak dilihat dari peran-peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong.
3.      Menganalisis hubungan karakteristik personal dengan keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal; hubungan karakteristik personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal dengan peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan hubungan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan.
4.      Mengetahui pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong.
5.      Mendesain strategi/model komunikasi penyuluhan.

Kegunaan  Penelitian


          Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna:

1.   Sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan komunikasi dan pembangunan perdesaan, bagi praktisi bidang komunikasi, penyuluhan, penerangan dan sebagainya, mengenai kemungkinan efektivitas jaringan komunikasi dapat digunakan sebagai saluran komunikasi untuk menyampaikan informasi pembangunan. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan dalam memperbaiki kebijakan komunikasi penyuluhan yang sekarang masih berlaku.

2.   Bagi disiplin ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan hasil penelitian ini dapat membuka jalan bagi pengembangan ilmu di bidang pembangunan masyarakat dan bidang komunikasi pembangunan pada umumnya dan ilmu penyuluhan pembangunan pertanian bagi masyarakat perdesaan pada khususnya, dengan memperhatikan beragam permasalahan yang terdapat di perdesaan.  Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian-penelitian berikutnya terutama dalam menelaah pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan bagi masyarakat perdesaan.
3.   Penelitian ini juga diharapkan untuk dapat menggugah kesadaran pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang kegiatan sosial, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), akan pentingnya penelitian-penelitian komunikasi manakala khalayak sasaran kegiatannya adalah warga masyarakat.




















DEFINISI ISTILAH

            Karakteristik personal adalah suatu ciri atau sifat seseorang yang bersumber dari unsur keturunan dan kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan.
1.   Karakteristik personal responden terpilih yang dikaji mencakup:
a.       Pendidikan formal adalah pendidikan tertinggi yang telah dicapai atau ditamatkan melalui jenjang sekolah oleh responden pada saat penelitian dilakukan, diukur berdasarkan skala nominal, yang dikategorikan menjadi Tidak Tamat/Tidak Lulus SD, Tamat SD dan Tamat Sekolah Lanjutan (SMP/SMA).
b.      Kelas ekonomi, adalah status/kedudukan seseorang di masyarakat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya, diukur dengan skala rasio berdasarkan nilai rupiah kepemilikan barang atau hewan/ternak, seperti: rumah, tanah, lampu teplok, petromak, mobil (pick up), sepeda motor, sepeda, mesin jahit, kulkas, jam tangan, radio, tape recorder, televisi, telepon/Hp, sapi/kerbau dan kambing/domba, modal usaha, tabungan atau deposito yang dimiliki saat penelitian dilakukan. Kemudian dikelompok-kan menjadi tiga kategori, yakni rendah (< Rp. 55 juta), sedang (Rp. 55-110 juta) dan kategori tinggi (di atas Rp. 110 juta).
c.       Kepemilikan media massa, adalah macam media massa (radio, televisi, suratkabar, majalah, bulletin, telepon, Hp, poster/pamlet, booklet, leaflet, brosur, folders) yang dipunyai saat penelitian dilakukan, diukur dengan skala nominal dan  dikelompokkan menjadi empat kategori, yakni sama sekali tidak memiliki media massa, punya satu, punya dua dan punya lebih dari dua media massa.
2.   Perilaku komunikasi interpersonal informal,  ialah aktivitas komunikasi interpersonal yang digunakan responden dalam berinteraksi dengan orang-orang di dalam dan di luar sistem sosialnya,  diukur dengan skala rasio berdasarkan intensitas/frekuensi kontak atau komunikasi tatap muka responden peternak dengan pembina, penyuluh, pejabat dinas peternakan dan pejabat terkait lainnya, pedagang, pemodal dan pendamping, atau dengan sesama peternak, maupun dengan kontak tani di luar pertemuan kelompok atau kursus/pelatihan selama sebulan terakhir saat penelitian ini dilaksanakan.  Perilaku komunikasi interpersonal informal ini dilihat berdasarkan perilaku responden peternak sapi potong dalam (a) menerima, (b) mencari,  (c) mengklarifikasi atau mendiskusikan dan (d) menyebarkan informasi.
3.   Keterdedahan media massa (mass media exposure) yang dikaji mencakup :
a.    Keterdedahan pada siaran radio, adalah aktivitas peternak mendengarkan siaran radio dalam berbagai acara, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi mendengarkan siaran radio dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan.
b.    Keterdedahan pada tayangan televisi, adalah aktivitas peternak menonton tayangan televisi dalam berbagai acara, yang diukur  dengan skala rasio berdasarkan frekuensi menonton tayangan televisi dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan.  Juga diukur acara apa yang ditonton berdasarkan skala nominal.
c.    Keterdedahan pada suratkabar, ialah aktivitas peternak membaca berbagai media suratkabar (lokal) baik tentang sapi potong maupun masalah umum, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi membaca dalam satu minggu terakhir saat penelitian dilakukan.
4.   Jaringan komunikasi responden yang dikaji dalam penelitian ini diukur dengan mengajukan pertanyaan sosiometris (kepada siapa peternak tersebut bertanya, dan dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok atau peternak lain tentang informasi sapi potong).  Kemudian diukur peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong tersebut, yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:
a.   neglectee, adalah pemeran komunikasi yang pernah membicarakan pesan penyuluhan sapi potong, tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh peternak anggota kelompok lain.
b.   mutual pairs, adalah pemeran komunikasi yang bersifat pilihan timbal balik (dyadic) dan hubungan mutual atau saling memilih sebagai tempat bertanya informasi sapi potong.
c.   star, adalah pemeran komunikasi yang menjadikan diri peternak tersebut sebagai tempat bertanya dan  merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa anggota jaringan dalam klik.
4.      Distorsi pesan ialah  tingkat informasi yang dimiliki responden, dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui salah benarnya informasi yang dimiliki yang berhubungan dengan berusahaternak sapi potong, dengan menggunakan skala rasio.  Data mengenai tingkat informasi ini dikumpulkan melalui butir-butir pertanyaan yang telah diujicobakan berdasarkan pemenuhan persyaratan koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas  Guttman (Kerlinger, 1986; Nawawi dan Hadari, 1995; Siegel, 1997; Singarimbun dan Effendi, 1995). Secara garis besar butir-butir pertanyaan yang diajukan meliputi pengertian dan cara berbisnis sapi potong seperti aspek (a) bibit dan permodalan, (b) pakan konsentrat dan hijauan makanan ternak, (c) perkandangan/peralatan peternakan, (d) pemeliharaan dan manajemen, (e) kesehatan ternak dan obat-obatan, (f) reproduksi dan perkembangbiakan: kawin alam atau IB, (g) pemasaran (h) pascausaha atau pascapanen dan pemanfaatan limbah serta (i) kemitraan.
5.      Pemuka pendapat, adalah tokoh masyarakat tempat orang-orang bertanya yang diambil dari kategori peran unisolate anggota kelompok peternak, dalam hal ini berupa star atau memiliki struktur komunikasi integration dalam jaringan komunikasi tersebut.  Diukur berdasarkan skala nominal, dengan dua kategori, yakni pemimpin polimorfik apabila pemuka pendapat tersebut merupakan sumber informasi lebih dari satu jenis informasi dan pemimpin monomorfik, bila sebagai tempat bertanya hanya satu jenis informasi.
6.      Pergeseran tingkat pemanfaatan media massa ialah perubahan yang diindikasikan oleh perbedaan penggunaan media komunikasi massa (radio, televisi dan suratkabar) oleh peternak maju dibandingkan dengan yang kurang maju untuk mendapatkan informasi.

 
 TINJAUAN PUSTAKA


Komunikasi dan Masyarakat

            Komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan (Berlo, 1960). Konsep komunikasi ini berasal dari bahasa latin, yaitu communicare yang secara harfiah berarti berpartisipasi atau memberitahukan; bisa juga berasal dari kata communis yang berarti milik bersama (kebersamaan). Komunikasi dianggap sebagai suatu proses berbagi informasi untuk mencapai saling pengertian atau kebersamaan (Rogers, 1986; Kincaid dan Schramm, 1987).  Hybels dan Weaver II (1998) menambahkan bahwa komunikasi itu bukan saja proses orang-orang berbagi informasi, melainkan juga ide (gagasan) dan perasaan. Selanjutnya Rogers mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana para partisipan saling mengembangkan dan membagi informasi antara satu dengan lainnya untuk mencapai suatu pemahaman bersama (Rogers, 1995). Di sini tersirat pengertian bahwa antara satu partisipan dengan partisipan lainnya masing-masing menyadari kekurangannya atas informasi-informasi yang lengkap mengenai suatu isu. Karena itu penting untuk mengkomunikasikan pengetahuan-pengetahuan antara satu dengan yang lain untuk membangun suatu pemahaman bersama yang sempurna.
Effendy (2001) menambahkan bahwa komunikasi di sini merupakan proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain sebagainya yang muncul dari benaknya. Sedang perasaan bisa merupakan  keyakinan, kepastian, keragu-raguan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati.  Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik (Devito, 1997). 
Baik Miller (1986), Hovland (Effendy, 2000) maupun Mulyana dan Rakhmat (2001) melihat komunikasi sebagai proses mengubah perilaku seseorang. Dimana kegiatan komunikasi tersebut berupa proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui saluran tertentu dengan efek tertentu (Effendy, 2000; Laswell, 1976).  Hal ini sejalan dengan pemikiran Slamet (2003) yang melihat kegiatan komunikasi pembangunan (development communication) sebagai  aktivitas penyuluhan pertanian (agricultural extension atau extension education), karena pada dasarnya  tiga istilah itu semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Di sini beliau menyatakan bahwa tujuan penyuluhan pertanian yang sebenarnya adalah perubahan perilaku kelompok sasaran (Slamet, 1978). Mardikanto (1993) menegaskan melalui penyuluhan pertanian ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap informasi baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan demi perbaikan kesejahteraan masyarakat.  
Selanjutnya dijelaskan bahwa proses komunikasi antara lain terdiri dari model komunikasi linear dan relational. Dalam model linear, informasi yang berasal dari sumber disebut pesan dan yang berasal dari penerima disebut umpan balik. Di sini penerima hanya memberikan umpan balik kepada sumber, tetapi tidak menciptakan dan meneruskan pesan-pesannya. Model komunikasi seperti ini biasanya terjadi secara vertikal. Dalam model komunikasi relational, setiap partisipan komunikasi dapat saling meneruskan atau memberikan pesan baru karena setiap pesan dapat dipakai sebagai perangsang untuk mendapat umpan balik dari pesan-pesan sebelumnya. Proses komunikasi ini tidak terhenti sesudah terdapat umpan balik, melainkan kembali ke peserta pertama kemudian peserta tersebut menyusun pesan yang baru lagi (Kincaid dan Schramm, 1987). Dengan demikian dalam model ini proses komunikasi berlangsung bolak-balik, yang menurut Effendy (2001) dikenal sebagai two-way traffic communication atau komunikasi dua arah. Rahim (Depari dan MacAndrews, 1998) menyebutkan bahwa arah komunikasi dalam pembangunan desa biasanya mengalir dari atas yang bersumber pada perencana pembangunan atau pejabat daerah. Selain itu arus komunikasi bisa terjadi antar anggota masyarakat yang setara (horisontal).

            Ruben dalam Muhammad (2000) mendefinisikan komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirim dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain.  Sendjaja et al. (1994) sepakat melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya guna mencapai kebersamaan makna. Tindakan komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam beragam konteks. Konteks komunikasi tersebut menurut Tubbs dan Moss (2000) terdiri dari komunikasi dua orang, wawancara, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, komunikasi organisasi, komunikasi massa dan komunikasi antarbudaya. 
            Komunikasi yang diartikan sebagai suatu proses dimana informasi terbagi, lebih lanjut ditambahkan oleh Middleton (1980) bahwa proses ini sering disebut juga sebagai jaring-jaring masyarakat (web of society) dimana individu, kelompok dan pranata-pranata diatur bersama untuk membentuk suatu masyarakat. Middleton pun menjelaskan bahwa sebagai suatu proses yang luas, komunikasi melibatkan beberapa fungsi, seperti memberi dan menerima informasi, mempengaruhi dan dipengaruhi, belajar dan mengajar, menghibur dan dihibur.  Pernyataan  Middleton ini pernah disinggung oleh Rao (1966) yang pernah menjadi anggota Departemen Komunikasi Massa UNESCO yang  mengemukakan bahwa komunikasi lebih mengacu pada proses sosial, yakni arus informasi, peredaran pengetahuan dan gagasan-gagasan dalam masyarakat, pengembangan dan internalisasi pikiran.
            Fungsi komunikasi menurut Laswell adalah (1) pengamatan terhadap lingkungan, (2) penghubung bagian-bagian yang ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap lingkungan tersebut dan (3) pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya (Laswell, 1976).  Konsep pengamatan terhadap lingkungan mengandung arti proses mengumpulkan dan mendistribusikan “informasi” mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Konsep penghubung bagian-bagian masyarakat mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara-cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Sedangkan konsep pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi yang berikutnya berfokus pada  mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kegiatan yang terakhir ini dikenal dengan sebutan pendidikan (Wright, 1986).
            Ketiga fungsi komunikasi tersebut harus dijalankan seluruhnya.  Bila salah satu fungsi komunikasi itu terhambat, maka perkembangan masyarakat tidak akan berjalan secara wajar, dan pada gilirannya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan yang merusak masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan ketiga macam fungsi komunikasi tersebut, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan oleh masyarakat yang maju.
Komunikasi dalam masyarakat sederhana atau primitif cenderung berlangsung secara tatap muka. Misalnya mereka merasa perlu berkomunikasi antar sesamanya, baik waktu bermain maupun waktu beristirahat, berkumpul  di goa untuk melawan hawa dingin atau berlindung dari bahaya.  Kelompok masyarakat primitif ini juga menunjuk seorang penjaga yang bertugas mengawasi keadaan sekeliling dan segera memberikan laporan bila musuh datang atau memberi tahu bila ada binatang buruan yang dapat dijadikan bahan makanan muncul.  Informasi yang sampai pada masyarakat yang tinggal di goa ini, dipakai untuk membuat keputusan mengenai hal yang harus dilakukan. Pemimpin atau dewan pimpinan  harus membuat keputusan setelah melakukan tukar-menukar pendapat. Pimpinan kemudian menjelaskan situasi, mengeluarkan perintah dan membagi tanggung jawab. Kebijakan yang diambil dalam masyarakat primitif dapat juga didasarkan atas kepercayaan, kebiasaan atau hukum yang berlaku di masyarakat tersebut. Jadi kewajiban penting yang harus dilakukan oleh masyarakat ini adalah mengajarkan kepercayaan, kebiasaan, hukum dan keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan oleh masyarakat yang masih muda. Orang tua mengajari anak-anak mereka, orang yang lebih tua dan pemuka agama mengajari orang-orang yang sudah dewasa. Peranan komunikasi yang tampak pada masyarakat yang masih sangat sederhana ini adalah berupa: peranan penjagaan (melakukan pengawasan terhadap alam sekeliling dan melaporkannya), peranan kebijaksanaan (memutuskan kebijakan yang perlu diambil, memimpin dan mengatur), dan peranan mengajar agar masyarakatnya mempunyai keterampilan dan kepercayaan yang dipandang bernilai oleh masyarakat yang bersangkutan. Di samping fungsi komunikasi formal tersebut, ada fungsi komunikasi yang bersifat tidak formal, yaitu percakapan antar mereka sehari-hari. Seperti mengungkapkan ekspresi cinta, persahabatan, menantang, berargumen dan bertukar pikiran, barter dan perdagangan, menari, menyanyi, bercerita dan melakukan komunikasi informal lainnya, memberi warna dan daya pengikat masyarakat tersebut (Schramm, 1964).
Pada masyarakat maju atau masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi jangkauan komunikasi sangat luas. Aktivitas yang semula tidak formal dan santai telah diformalkan. Sesuatu yang semula cukup ditangani oleh seorang atau beberapa orang, sekarang diperlukan suatu lembaga sosial tersendiri untuk menanganinya dengan memasukkan pula mesin-mesin ke dalam proses komunikasi. Mesin-mesin digunakan untuk melihat, mendengar, berbicara dan menulis dengan kemampuan jangkauan kerja yang sangat tinggi. Di lingkungan mesin-mesin ini muncul pula institusi komunikasi yang sangat besar yang disebut media massa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa fungsi dasar komunikasi sendiri tetap sama. Pekerjaan mengawasi lingkungan sekarang ditugaskan kepada media massa. Pekerjaan yang membutuhkan konsensus, pembuatan kebijakan, dan pengarahan tindakan-tindakan terutama menjadi tugas pemerintah. Organisasi seperti partai politik dan media massa telah masuk jauh ke dalam proses pembentukan opini dan tindakan. Tugas yang semula dilakukan oleh suatu kelompok kecil dalam suatu percakapan singkat, sekarang menjadi diskusi berbulan-bulan, yang melibatkan beratus-ratus ribu atau bahkan berjuta-juta manusia dan mungkin memerlukan kampanye berskala nasional. Namun, esensi kewajiban mereka tetap sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat sederhana, yaitu memutuskan kebijakan dan memimpin. Kewajiban melakukan proses sosialisasi terhadap anggota masyarakat dibebankan kepada sekolah dan media pendidikan lainnya, seperti buku, radio, televisi pendidikan, film instruksional dan ensiklopedi. Kebutuhan akan pengetahuan dan latihan tidak hanya tersedia terbatas untuk anak-anak, melainkan juga untuk orang dewasa berupa lembaga dan instruksi khusus, misalnya penyuluh pertanian, petugas peneliti dan universitas, penyalur (dealer) penyediaan sarana, perbankan maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Organisasi ini disebut “pelayanan informasi” (Lionberger dan Gwin, 1982). Seluruhnya menjadi makin kompleks dan makin canggih. Namun esensinya tetap sama, yaitu keperluan akan pelayanan informasi (Schramm, 1964).     
Di banyak desa di Indonesia, media komunikasi tradisional masih sering dijumpai. Ketika sewaktu-waktu akan mengumpulkan warga masyarakat, cukup dengan membunyikan kentongan yang dipukul dengan cara tertentu (kode) yang berarti ada bahaya ataupun keadaan aman.  Pertunjukan kesenian, selain sebagai alat hiburan juga merupakan sumber nilai-nilai atau petuah untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan yang mengarus melalui dialog ataupun perilaku yang diperdengarkan dan dipertunjukan dalam kesenian seperti nyanyian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat dan drama rakyat. Menurut Jahi (1993) media tradisional yang dekat dengan rakyat sangat efektif untuk menyampaikan pesan pembangunan.
Soesanto (1985) menyebutkan bahwa seni tradisional merupakan nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat. Nilai budaya merupakan dasar kehidupan sehari-hari dan karenanyalah merupakan pula dasar dan titik bertolaknya komunikasi. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan proses komunikasi.   Pertunjukan tradisional ini haruslah mengandung tiga aspek yaitu pendidikan, penerangan dan hiburan (Departemen Penerangan, 1984), atau bermaksud menghibur, menjelaskan, mengajar dan mendidik (Jahi, 1993).
Jadi, komunikasi di sini didefinisikan sebagai proses penyampaian dan pemahaman pesan dari satu orang ke orang lain atau kepada kelompok, organisasi, publik maupun kepada masyarakat luas. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi dalam hal ini berupa kegiatan membagi perasaan/gagasan dan nilai-nilai melalui bahasa, visualisasi, fasilitas sarana komunikasi yang digunakan, sehingga terjadi suatu kesamaan makna tentang pesan yang disampaikan antara penyampai pesan dan penerima pesan. Kesamaan makna inilah yang menjadi tujuan komunikasi dan sekaligus menentukan efektif tidaknya suatu kegiatan komunikasi.  Dalam melaksanakan fungsi komunikasi, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan masyarakat maju. Namun, perbedaan cara tersebut tidak mengurangi makna dari ketiga fungsi proses komunikasi. Perbedaannya adalah pada masyarakat sederhana menggunakan cara yang sederhana, sedangkan masyarakat maju menggunakan cara-cara yang lebih kompleks yang menuntut dimilikinya keterampilan yang lebih tinggi.

Komunikasi Pembangunan dan Komunikasi dalam Masyarakat Desa

Komunikasi Pembangunan
            Seperti sudah dijelaskan di sub bab di atas, secara umum dapat dijelaskan bahwa komunikasi ialah proses penyampaian informasi/pesan dari sumber kepada penerima, dengan tujuan timbulnya respons dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna (Berlo, 1960, Rogers, 1995, Kincaid dan Schramm, 1987).  Sedangkan pembangunan, yang bila dikaitkan dengan perubahan, dia adalah perubahan berencana. Menurut Boyle (1981) apabila perubahan atau segala sesuatu yang terlihat atau terasa berbeda dalam suatu jangka waktu tertentu, dimana perbedaan-perbedaan tersebut dengan sengaja ditimbulkan dan telah direncanakan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, maka dikatakanlah sebagai perubahan berencana.
            Pembangunan itu sendiri merupakan serangkaian usaha berencana yang secara umum ditujukan untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat positif, diinginkan dan bermanfaat pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya (Slamet, 1986). Sebagai akibat dari pembangunan, manusia yang menjadi sasaran pembangunan tersebut akan tumbuh dan berkembang, baik dalam arti badaniah dan rohaniah, sehingga dapat mengambil manfaat yang lebih baik dari lingkungannya.
Proses perubahan manusia itu sendiri melibatkan banyak usaha dan tenaga. Usaha-usaha pendidikan yang lazim dikenal dengan penyuluhan, yang di dalamnya tak lain adalah kegiatan proses komunikasi persuasif merupakan salah satu faktor yang dapat memainkan peranan penting dalam menimbulkan perubahan manusia tersebut. Menurut Slamet (1986) perubahan semacam inilah yang perlu diperhatikan, karena inti utama dari pembangunan tidak lain daripada pertumbuhan dan perkembangan manusia.  Pembangunan fisik yang sering kali menarik banyak perhatian, tidak akan berarti banyak apabila tidak disertai dengan pembangunan manusianya. 
            Kalau di tahun 50-an dan 60-an pemerhati pembangunan menekankan pada investasi, modal, teknologi, produktivitas sebagai hal yang penting bagi pembangunan. Kemudian, sebelum tahun 70-an telah dimulai proses penyeimbangan. Hal ini menekankan pada kebutuhan redistribusi, kebutuhan mengejar tujuan lain seperti pendidikan, kesehatan dan kualitas umum kehidupan daripada penambahan volume barang dan jasa (Jayaweera, 1989). Dengan kata lain pembangunan jangan hanya dilihat dari Gross National Product (GNP) melainkan juga harus diukur dengan peningkatan Indeks Hidup Kualitas Fisik (IHKF) dan GNP, yang satu sama lain tidak terpisah. Dengan hal ini kualitas fisik kehidupan jauh lebih baik, jelas Jayaweera (1989). Indikatornya adalah perbaikan angka buta huruf (illiteracy), kesehatan, kematian bayi, harapan hidup dan pendidikan.  Di tahun 80-an, orang melihat pembangunan sebagai suatu paket dari konsep kebutuhan dasar, berdikari atau mandiri  dan partisipasi, yang merupakan alternatif bentuk pembangunan yang dihasilkan dari penekanan pada pertumbuhan dan output. Pengertian kebutuhan dasar meliputi metode analisis permasalahan masyarakat desa, yaitu merupakan suatu model yang dapat digunakan untuk menganalisis masalah yang terdapat dalam masyarakat (Slamet, 1986), yang menurut Slamet (2003) bisa digali dari berbagai kebutuhan dan keinginan dalam diri warga masyarakat yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Kata potensi dan kemampuan warga masyarakat merupakan kunci pengertian me-mandiri-kan masyarakat.  Hal ini sesuai dengan falsafah penyuluhan  “membantu diri sendiri” itu menunjukkan dinamika pribadi SDM-klien sangat menonjol (Asngari, 2001). Kemandirian (selfhelp) masyarakat, termasuk kemandirian pertanian (baca: tanpa subsidi) yang secara bertahap telah mulai diusahakan dari sekarang, perlu diikuti dengan pengurangan keterikatan pada program-program pemerintah (Slamet, 2003).  Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikatakan oleh Slamet (2003) bermakna sebagai ikutsertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikutserta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Perlu ditekankan di sini bahwa partisipasi dalam pembangunan bukan hanya berarti ikut menyumbangkan  sesuatu input ke dalam proses pembangunan, tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.   
            Pembangunan harus dilihat dalam karakter holistik. Tidak ada pembangunan yang mengabaikan produktivitas dan pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan harus diimbangi dengan reformasi struktural yang tidak menghambat daya produktif masyarakat. Pada waktu yang sama, itu harus didukung oleh keseluruhan tindakan yang menjamin keadilan, menjamin peningkatan kualitas hidup serta menjamin hak-hak asasi manusia dan kebebasan demokrasi (Jayaweera, 1989). Sebagai suatu istilah teknis Seers (Nasution, 1996) melihat pembangunan berarti membangkitkan masyarakat di Negara-negara sedang berkembang dari keadaan kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate) yang rendah, pengangguran dan ketidakadilan sosial.
            Dalam pengertian sehari-hari pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Rogers (1976) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang terjadi pada tingkat sistem sosial. Sama halnya seperti diseminasi, pengembangan (development), spesialisasi, integrasi dan adaptasi (Slamet, 1986).  Sedangkan modernisasi ialah proses yang terjadi pada tingkat individu, termasuk istilah difusi inovasi, adopsi inovasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Untuk perubahan demikian disebut perubahan mikro karena lebih memfokuskan pada perilaku perubahan individual.  Pembangunan di sini diartikan Rogers (1976) sebagai proses perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang diselenggarakan dengan jalan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat tersebut untuk berpartisipasi, untuk mendapatkan kemajuan baik secara sosial maupun material (pemerataan, kebebasan dan berbagai kualitas lain yang diinginkan agar menjadi lebih baik). Sementara Dissayanake (1981) menggambarkan bahwa pembangunan ialah proses perubahan sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat, tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan berusaha, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini, dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri.
            Rogers dan Shoemaker (1971) lebih lanjut menyebutkan bahwa besar kemungkinan semua analisis perubahan sosial harus memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi,  karena dilihat dari kenyataan semua penjelasan tentang perilaku manusia berpangkal pada penyelidikan mengenai bagaimana orang-orang itu memperoleh dan mengubah gagasannya (membuat keputusan) melalui komunikasi dengan orang lain, maupun dengan kemajuan teknologi komunikasi, baik radio, televisi dan media cetak. Teknologi komunikasi ini memiliki kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan “kesan baru” (new images) dari apa yang seseorang ingin aspirasikan, menciptakan “mobilitas fisik” dan membangkitkan “empati” (Jayaweera dan Amunugama, 1989).
            Dari ilustrasi di atas, istilah Komunikasi Pembangunan diartikan sebagai suatu komitmen untuk meliput secara sistematik, problematika yang dihadapi dalam pembangunan suatu bangsa. Kegiatan itu kemudian diperluas mencakup segala komunikasi yang “diterapkan untuk pentransformasian secara cepat suatu negara dari kemiskinan ke suatu dinamika pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih besarnya keadilan sosial dan pemenuhan potensial manusiawi” (Nasution, 1996).
Definisi ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Lerner, Pye dan Schramm bahwa komunikasi pembangunan berhubungan dengan teknologi yang didasari pada jaringan komunikasi yang menimbulkan iklim yang cocok untuk pembangunan, tanpa memperhatikan pesan dan isi pesan. Di lain pihak, ada istilah komunikasi penunjang pembangunan (KPP), yang diutarakan oleh Erskine Childers dari UNDP, sebagai komunikasi yang secara khusus disusun untuk mendukung program pembangunan tersebut (Jayaweera dan Amunugawa, 1989).  Komunikasi pembangunan (KP) lebih besar dibandingkan dengan KPP.  Seperti halnya KPP yang merupakan bagian yang terkecil, dapat bekerja dengan efektif pada bidang terbatas, walaupun dengan ketidakhadiran komunikasi pembangunan.  Tabel 1 berikut memperlihatkan bagaimana komunikasi pembangunan (KP) dibedakan dengan komunikasi penunjang pembangunan (KPP).

Tabel 1.  Perbedaan komunikasi pembangunan dan komunikasi penunjang pembangunan


KP

KPP

1. Secara umum digunakan  untuk nasional atau makro.
2.  Berfungsi tidak langsung dan samar  -samar.
3.   Bersifat persuasif dan terbuka.

4.  Mengandalkan pengaruh yang kuat dari karakteristik teknologi.
5.  Dibatasi  teknologi   media massa.
6.   Bersifat top-down dan hierarkhi.
7. Penelitian banyak masalah, jumlah peubah banyak, kesulitan dalam mengontrol. Secara konsekuen kekurangan penelitian.
8.  Semakin kehilangan kredibilitas.




1. Secara  umum  digunakan untuk lokal  atau mikro.
2. Berfungsi langsung yang sesuai dengan efek dan tujuan.
3. Dibatasi waktu dan mengambil bentuk kelompok.
4.  Berorientasi  pesan.   Secara  teliti menunjukkan kepuasan.
5.   Menggunakan semua budaya media
6.   Selalu interaksi dan partisipasi.
7. Penelitian  mudah, peubah dapat diisolasi, dikontrol dan diukur.
      Secara konsekuen masih ada penelitian.
8.  Kredibilitas sangat besar.   Diadopsi oleh sistem UN dan seluruh agen pembangunan nasional dan internasional.

Studi penelitian yang mengambil topik “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” merupakan dasar dari kredibilitas KPP, dan ini menjadi fokus penyelidikan yang ingin dideskripsikan.

Komunikasi dalam Masyarakat Desa
Tinjauan komunikasi pembangunan dalam penelitian ini lebih melihat pada studi komunikasi yang mendukung pembangunan/KPP (development support communication) yang melihat pelaksanaan komunikasi pembangunan dengan membatasinya atas waktu dan mengambil bentuk kelompok sebagai unit analisis.  Tinjauan berdasarkan pendekatan komunikasi penunjang pembangunan (KPP) ini sebenarnya mengikuti rekomendasi Rogers (1995), dimana pada penelitian difusinya dia beranjak dari komunikasi pembangunan (KP) dan konsekuensinya kehilangan validitasnya (Jayaweera dan Amunugawa, 1989).
Homan (dalam Blau, 1975) memberikan batasan tentang struktur sosial sebagai perilaku yang ajeg (enduring), yaitu suatu ekspresi yang menunjukkan konfigurasi hubungan  antar orang seorang dan posisinya, yang bisa dilihat dari karakteristik personal.  Kelompok formal ialah salah satu contoh perilaku yang ajeg tersebut, menunjukkan suatu keadaan saling terkait antara posisi dan peranan, suatu tatanan distribusi stratifikasi berdasarkan ciri personal, suatu pola interaksi dan aktivitas antar partisipan anggota suatu kelompok. Dimana hal tersebut dapat diperlakukan sebagai suatu sistem, yakni kelompok sebagai sistem sosial (Slamet, 1997) atau masyarakat sebagai suatu sistem sosial (Loomis, 1960; Slamet 1986).
            Tinjauan kelompok sosial yang relatif sederhana dibandingkan dengan pengamatan masyarakat sebagai sistem sosial, adalah (bagian) masyarakat desa. Deskripsi tentang pengertian masyarakat desa tidak mudah diberikan karena acuan yang dipakai untuk mendasari masih sangat beragam.  Misalnya, berdasarkan luas daerahnya, teknologi yang digunakan, kepadatan penduduk, nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya. Dengan demikian apapun dasar yang dipakai untuk mendeskripsikan pengertian desa, maka hal tersebut hanyalah merupakan suatu stereotype agar didapat gambaran tentang suatu masyarakat yang relatif sederhana.
            Masyarakat desa menurut Soekanto (2001) adalah wilayah kehidupan sosial di perdesaan yang masih kuat derajat hubungan sosialnya dalam bentuk ikatan kekeluargaan dan komunikasi yang dibangun di antara anggota secara langsung. Gillin dan Gillin dalam Koentjaraningrat (1990) merumuskan masyarakat (society) sebagai: “… kelompok terbesar dimana secara umum adat istiadat (custom), tradisi, sikap dan perasaan tampak sebagai suatu kesatuan yang berproses.” Hal ini diperkuat oleh Soemardjan (1993) yang menyatakan bahwa masyarakat desa hidup dari persamaan profesi pertanian, peternakan atau perkebunan itu diperkuat dengan persamaan adat, persamaan bahasa dan persamaan sistem sosial.  Masyarakat desa termasuk dalam kategori masyarakat modern, walaupun penggunaan teknologi dan sistem sosial serta lembaga masyarakat yang ada masih bersifat sederhana.  Masyarakat desa memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan masyarakat kota. Masyarakat desa mempunyai berbagai lembaga atau pranata sosial yang digunakan sebagai ajang pertemuan untuk memelihara nilai-nilai yang merupakan faktor integratif bagi masyarakat desa yang bersangkutan. Desa juga mempunyai beragam jenis selamatan, mulai dari selamatan kelahiran sampai dengan kematian.
            Proses sosialisasi di desa, selain dilakukan melalui pengajaran langsung secara verbal atau melalui perilaku yang dianggap terpuji  oleh orang tua kepada anak-anak mereka atau oleh tetua desa, tokoh agama dan tokoh adat kepada generasi yang lebih muda. Juga sering dilakukan melalui bentuk pertunjukan kesenian (seni tradisional atau pertunjukan rakyat) yang sarat dengan pewarisan petuah dan nilai-nilai.
            Di kalangan masyarakat desa, selain pemimpin formal juga sering dijumpai pemimpin/tokoh informal yang dijadikan sebagai pemuka pendapat (opinion leaders). Menurut Rogers (1995) mereka sering menjadi pusat informasi dan karenanya menjadi tempat bertanya dan meminta pendapat dari warga desa tentang berbagai hal, khususnya yang menyangkut kegiatan dan kebutuhan masyarakat desa sehari-hari. Dalam konteks adopsi inovasi dikemukakan bahwa pemimpin informal ini adalah orang-orang kunci (key person) yang berpengaruh di desa, terhadap siapa warga desa berpaling dalam ide-ide baru (Havelock et al., 1971). Orang-orang ini biasanya mempunyai pengaruh yang besar karena pengakuan kredibilitasnya mengenai hal-hal tertentu yang diakui oleh para anggota masyarakatnya. Mereka ini juga berfungsi sebagai penjaga gawang (gate keeper) terhadap inovasi dan nilai-nilai yang masuk ke dalam masyarakat perdesaan tersebut (Rogers, 1995; Jahi, 1993; Goldberg dan Larson, 1985).
Pemimpin menurut hasil penelitian Ginting (1999) bisa terdiri atas pemimpin informal tradisional seperti pemimpin atau tokoh adat, pemimpin agama dan raja di kampung (raja huta)  dan pemimpin informal kontemporer yakni seseorang yang kepemimpinannya diakui oleh warga masyarakat dalam waktu yang belum terlalu lama, seperti guru, cendekia desa, pegawai/pensiunan, pedagang, pengusaha atau petani yang berhasil. Efektivitas peranan pemimpin informal ini terutama didukung oleh sifat masyarakat desa yang relatif homogen dan dapat melakukan kontak langsung atau tatap muka.
            Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan mutlak baik pada masyarakat yang sederhana, yang berada pada masa transisi  maupun pada masyarakat modern. Studi dengan menganalisis KPP, yang melihat masyarakat desa atau lebih spesifik lagi kelompok peternak sebagai unit analisis akan dijadikan acuan pada penelitian ini, termasuk analisis jaringan komunikasinya.
Perbedaan pokok antara kegiatan komunikasi pada masyarakat yang sederhana, transisi dan masyarakat maju hanyalah terletak pada alat-alat penyampaiannya, tidak pada fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi tetap sama, yaitu untuk pengamatan lingkungan, menghubungkan bagian-bagian masyarakat agar memberikan respons terhadap lingkungan, dan melakukan pemindahan warisan nilai-nilai termasuk difusi inovasi.  Bila mensitir rekomendasi dari rencana tindak yang diusulkan pada Deklarasi Komunikasi Pembangunan ke-9 yang diselenggarakan FAO dan UNESCO, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 6-9 September 2004 di Roma, maka disepakati bahwa “komunikasi untuk pelaksanaan pembangunan yang dianjurkan, dilaksanakan oleh masyarakat sendiri (themselves) untuk lebih menarik perhatian para pembuat keputusan, untuk memastikan bahwa komunikasi tersebut dapat dikenali sebagai komponen sentral pada semua inisiator pembangunan.” Deane (2004) menyebutkan bahwa konteks Komunikasi Pembangunan tahun 2004 adalah:
“… bila pembangunan bisa dilihat sebagai rangkaian aktivitas jutaan orang, komunikasi mewakili hal-hal penting yang menyatukan mereka. Komunikasi adalah dialog dan debat yang terjadi secara spontanitas dalam setiap perubahan sosial. Peningkatan kebebasan berekspresi sekarang ini hampir bersamaan dengan perubahan struktur politik global.  Di lain pihak, komunikasi dengan sengaja diintervensi untuk mempengaruhi perubahan sosial dan ekonomi. Strategi pembangunan yang menggunakan pendekatan komunikasi dapat mengubah sikap rakyat dan kebijakan tradisional, membantu rakyat untuk beradaptasi, untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru, dan menyebarkan pesan-pesan sosial baru kepada khalayak yang lebih luas. Rencana yang menggunakan teknik komunikasi, aktivitas dan media memberikan kepada rakyat perangkat yang berguna untuk perubahan pengalaman dan bahkan untuk menuntunnya berubah. Untuk meningkatkan pertukaran ide dari masing-masing sektor masyarakat dapat digunakan pemimpin yang terlibat dengan rakyat. Hal ini adalah syarat yang mendasar atau fundamental bagi pembangunan yang berkelanjutan.”
            Perdebatan terkini dan banyak dari catatan pertemuan “roundtable” (meja bundar) di Roma tahun 2004 ini, telah dilengkapi dengan model komunikasi berupa difusi, advokasi dan partisipasi (Deane, 2004).  Ada bukti yang semakin jelas bahwa program komunikasi yang cenderung untuk menarik sumberdaya – terutama sekali yang berjanji untuk mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan, perubahan perilaku individu di luar batasan waktu yang menyolok – sering tidak bisa berlanjut, berakar di dalam kultur (budaya) dimana mereka beroperasi, mempunyai dampak terbatas dan mengalami hambatan sosial yang lebih pokok.  Pada sisi lain, lebih partisipatori, model komunikasi perubahan sosial dari bawah ke atas kadang-kadang gagal untuk menarik lebih banyak sumberdaya dikarenakan dampaknya menjadi sangat sukar untuk dievaluasi dalam jangka pendek, sebab mereka sering menemui kesulitan untuk memprogramkannya dalam skala mikro.
            Di lingkungan komunikasi yang semakin terhubung, para praktisi komunikasi mengurangi perhatian atas penyebaran pesan tetapi lebih fokus pada pendorongan publik dan individu untuk dapat bertindak secara kolektif dalam mengembangkan solusi-solusi bagi masalah mereka sendiri.  Tabel 2 berikut ini menyajikan perubahan lingkungan komunikasi dari tradisional ke yang baru.


Tabel 2.  Perubahan lingkungan komunikasi
Tradisional
Baru
1. Komunikasi vertikal –  dari pemerintah ke masyarakat.
2.   Sistem komunikasi unipolar.
3.   Sedikit sumber informasi.
4.   Mudah mengendalikan
      (a) Kebaikan, memunculkan
            informasi yang  akurat bagi banyak orang
      (b) Kelemahan, dikendalikan
            pemerintah dan disensor.
5.   Mengirimkan pesan.
1.  Komunikasi horizontal  (dari
      seseorang ke orang lain).
2.   Jaringan-jaringan komunikasi.
3.   Banyak sumber informasi.
4.   Susah mengendalikan
      (a) Kebaikan, lebih banyak
           debat, suara-suara lantang  dan
            peningkatan kepercayaan
      (b) Kelemahan, makin kompleks
           dan isu-isu keakuratan berita.
5.   Menanyakan sesuatu hal.


Jaringan Komunikasi

            Salah satu cara untuk memahami perilaku manusia adalah dengan mengamati atau memahami hubungan-hubungan sosial yang tercipta karena adanya proses komunikasi interpersonal.  Hal ini tidak lain karena manusia selain sebagai makhluk individu adalah juga makhluk sosial yang hanya bisa mengembangkan potensi dirinya sebagai manusia melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Sebenarnya masih banyak cara-cara lain dalam memahami perilaku manusia, tetapi sesuai dengan perumusan masalah pada studi ini yang hendak berupaya memahami hubungan karakteristik personal peternak pada kelompok ternak di lokasi penelitian, perilaku keterdedahan/terpaan media massa dan perilaku menggunakan saluran komunikasi interpersonal informal dengan keterlibatan pada jaringan komunikasi penyuluhan, dengan objek amatan pada Pengembangan Usahaternak Terpadu Sapi Potong. Maka jelaslah bahwa fokus penelitian ini hanya melihat keterlibatan pada jaringan komunikasi, yang merupakan peubah antara (intervining variable) hubungan karakteristik personal dan keterdedahan media massa dengan distorsi pesan.

Pengertian Jaringan Komunikasi
Jaringan komunikasi (communication network) terdiri atas individu-individu yang saling berhubungan satu sama lain melalui pola-pola arus informasi (Rogers dan Kincaid, 1981), atau melalui arus komunikasi yang terpola (Rogers dan Rogers, 1976; Rogers, 1995). Lebih lanjut didefinisikan oleh Rogers dan Kincaid bahwa jaringan komunikasi tersebut merupakan suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan.  Hanneman dan McEver (1975) menyatakan bahwa bila dua orang atau lebih ikutserta dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan maka mereka terlibat dalam suatu jaringan komunikasi, dimana pertukaran informasi itu terjadi secara teratur. Begitu pun Muhammad (2000) sepakat menamakan kejadian saling terjadi pertukaran pesan melalui jalan tertentu di antara sejumlah orang yang menduduki posisi dan peranan tertentu dalam suatu organisasi sebagai jaringan komunikasi. Kemudian diperjelas dengan pendapat Schramm (1963) yang menyatakan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari orang-orang yang saling berhubungan satu sama lain, saling mempengaruhi dan berbagi informasi untuk mencapai tujuan bersama.

Proses Pembentukan Jaringan Komunikasi
            Selain sebagai sekumpulan orang-orang, masyarakat juga merupakan kumpulan hubungan-hubungan.  Hubungan-hubungan ini dapat berupa hubungan darah/keturunan, hubungan persahabatan, pertemanan karena persamaan pekerjaan, hubungan bertetangga dan masih banyak hubungan yang lain. Hubungan-hubungan ini hanya akan terjadi dan bermakna bila ada proses komunikasi. Hubungan darah atau hubungan keturunan sekali pun kurang berarti bila antar anggota seketurunan tersebut tidak terjadi kontak-kontak satu dengan yang lain melalui proses komunikasi tersebut.
Hubungan dalam masyarakat ini sedemikian banyaknya, ibarat jaringan laba-laba yang berlapis-lapis, karena setiap jenis informasi akan mempunyai jaringan komunikasinya sendiri-sendiri. Keseluruhan jaringan komunikasi dalam masyarakat ini dibentuk oleh individu-individu melalui pola arus informasi (Rogers,1995). Jahi (1993) menekankan pada aspek isu-isu atau pesan komunikasi sebagai salah satu batasan (rambu-rambu) dalam analisis jaringan komunikasi.  Karena setiap individu atau lembaga, untuk isu yang berbeda memiliki kedudukan dan posisi yang berbeda dalam jaringan komunikasi.  Pernyataan ini mengisyarat-kan, ada banyak jaringan komunikasi dalam sebuah sistem sosial, tergantung isu apa yang menjadi fokus perhatian. Jadi pada sebuah desa misalnya, bisa ditemukan jaringan komunikasi keluarga berencana (KB), kesehatan, pertanian dan sebagainya. 
            Untuk mendeteksi keberadaan suatu jaringan komunikasi dalam masyarakat digunakan metode yang mengacu kepada model konvergensi yang menjadikan hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Menurut Rogers (1995) hakekat dari suatu jaringan komunikasi adalah hubungan-hubungan yang bersifat homofili (homophilous), yakni kecenderungan manusia untuk melakukan hubungan atau kontak sosial dengan orang-orang yang memiliki atribut sama atau yang lebih tinggi sedikit dari posisi dirinya. Tetapi dapat juga terjadi antar orang-orang yang memiliki atribut yang tidak sama.  Sebagai contoh, A berkomunikasi dengan B yang mempunyai pendidikan lebih rendah sedikit dari A. Sebaliknya B berkomunikasi dengan C yang tingkat pendidikan lebih rendah dari B. Dengan demikian A dan C yang tingkat pendidikannya berbeda, juga melakukan komu-nikasi. Namun secara tidak langsung, karena komunikasinya melalui B sebagai penghubung. Dengan kata lain A dan C berada pada jalur komunikasi yang sama (Lin, 1975).
            Di sisi lain, masing-masing individu tidak hanya mempunyai hubungan (komunikasi) satu jenis jaringan komunikasi saja.  Seorang yang mempunyai jabatan tertentu, misalnya guru. Dia tidak hanya akan berhubungan dengan sesama guru, tetapi juga mungkin berhubungan dengan anggota keluarga dengan kedudukan sebagai seorang kepala rumahtangga, anggota suatu organisasi klub bulutangkis dan lainnya.  Seorang petani di desa misalnya, selain terlibat dalam jaringan komunikasi pertanian, juga sangat mungkin terlibat dalam jaringan komunikasi agama, kesehatan, transmigrasi dan lain-lain.  Visualisasi dari posisi seseorang dalam jaringan-jaringan komunikasi tersebut adalah sebagai berikut, seperti yang tertera pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa orang nomor 1 menjadi anggota A, B, C dan D. Orang nomor 2 hanya menjadi anggota B dan C. Orang nomor 3 menjadi anggota C dan D. Orang nomor 4 dan 5 menjadi anggota A dan B. Orang nomor 6 menjadi anggota A dan C. Sedangkan orang nomor 7 dan 8 adalah anggota A dan D.  Ilustrasi contoh jaringan komunikasi pada Gambar 1 tersebut baru dua dimensi. Apabila dibuat tiga dimensi dapat dibayangkan betapa kompleks hubungan-hubungan tersebut. Dalam realitasnya seorang petani di desa bukan mustahil terlibat tidak saja pada keempat macam jaringan komunikasi tersebut, tetapi juga terlibat pada jaringan komunikasi perkreditan, jaringan komunikasi KB, jaringan komunikasi pemasaran produksi pertaniannya, jaringan komunikasi peternakan, jaringan komunikasi “hobby” memelihara ayam pelung dan sebagainya yang bila disebutkan satu persatu akan banyak sekali. Sehingga tidak mudah untuk divisualisasikan seperti halnya mengenai empat jenis jaringan komunikasi tersebut.



 
















Keterangan:
A = Jaringan komunikasi agama
B = Jaringan komunikasi pertanian
C = Jaringan komunikasi kesehatan
D = Jaringan komunikasi transmigrasi.

            Gambar 1. Keanggotaan pada berbagai jaringan komunikasi
Setiap jenis jaringan komunikasi mempunyai kecepatan perkembangan yang berbeda-beda. Semakin penting suatu jenis informasi bagi suatu anggota sistem sosial, makin cepat perkembangan dan luas jangkauan jaringan komunikasinya. Jaringan komunikasi yang berhubungan dengan informasi tentang kebutuhan primer akan mempunyai jangkauan yang tercepat dan terjauh (Rogers, 1995).  Bagi seorang peternak, informasi mengenai peternakan mestinya akan merupakan informasi terpenting. Maka penelitian jaringan komunikasi peternakan di kalangan peternak di suatu desa, sangat mungkin akan mendapatkan suatu jaringan komunikasi yang sangat luas, yang menjangkau seluruh peternak di desa tersebut. Sedangkan usaha pertanian lain atau usaha off-farm yang sebagai usaha penunjang, sangat mungkin memiliki jaringan komunikasi yang kurang luasnya dibanding dengan jaringan komunikasi peternakan sebagai usaha pokok/ primer.
            Perkembangan jaringan komunikasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Perbedaan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama antar masyarakat atau kelompok sosial akan sangat menentukan keberhasilan suatu proses komunikasi.
            Contoh pengaruh faktor sosial terhadap jaringan komunikasi, misalnya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya sangat rendah, jaringan komunikasi kesehatan akan sulit berkembang.  Seperti kampanye air masak di desa Los Malinos di Peru, yang berusaha memperkenalkan inovasi program peningkatan kesehatan masyarakat tetapi gagal. Hal ini dikarenakan anjuran agar air yang hendak diminum harus dimasak terlebih dahulu tidak diindahkan oleh anggota masyarakat. Penjelasan bahwa air mentah mengandung kuman, dan karenanya harus dimasak dahulu tidak masuk akal mereka. Mereka tidak percaya bahwa kuman yang sangat kecil yang tak terlihat mata mampu menimbulkan sakit pada diri mereka (Rogers, 1995).
            Kita dapat membayangkan kampanye larangan menanam bibit padi unggul yang tidak tahan hama wereng coklat, dimana “media mix” yang dipakai tidak hanya terbatas pada suratkabar, majalah, radio dan televisi saja, melainkan juga saluran administrasi pemerintahan, seperti pejabat-pejabat pemerintah daerah, pemerintah desa dan dinas pertanian bersama para penyuluh, mengakibatkan petani tidak berani membicarakan apalagi menanam bibit padi tersebut. Terlebih ketika aparat desa mengambil tindakan membakar padi para petani yang berani melanggar larangan itu. Kasus ini, contoh keterkaitan faktor politik terhadap jaringan komunikasi.  Cara ini terbukti efektif.  Sekalipun hama wereng belum terbasmi, tapi pada musim tanam berikutnya serangan hama tersebut sudah dapat dikendalikan sampai ke tingkat minimal (Kompas, 1989).
            Studi Windarti (2000) pada kasus penerapan inovasi skim kredit Karya Usaha Mandiri (KUM) di desa Kiarapandak Bogor menyimpulkan bahwa tingkat adopsi  penerapan skim kredit KUM memberikan pengaruh tidak langsung terhadap pendapatan melalui pemantapan adopsi.  Mengingat peningkatan pendapatan dapat dicapai jika keputusan inovasi anggota kelompok akan kredit KUM semakin mantap dan kondisi usaha yang semakin berkembang, maka disarankan untuk melakukan pembinaan usaha kepada anggota lewat pertemuan minggon rembug pusat. Paparan ini adalah fakta adanya keterkaitan faktor ekonomi dengan jaringan komunikasi kredit pola grameen bank.
            Sedangkan faktor budaya, terlihat dari fenomena pada masyarakat yang masih menganut paham bahwa “banyak anak banyak rezeki” akan sulit dikembangkan jaringan komunikasi KB, karena program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) KB ini mengandung nilai yang sangat bertentangan dengan paham tersebut. Keadaan yang demikian ditemui misalnya pada awal pengenalan program KB di Indonesia di tempat-tempat masyarakat yang mempunyai paham seperti ini sebagai pandangan hidup yang kuat.  Hal ini diperkuat hasil penelitian Sugiyanto (1996) yang menyebutkan masih kuatnya persepsi masyarakat pantai tentang nilai-nilai tradisional yang berlaku terutama di desa belum maju, seperti “anak adalah karunia Tuhan” dan “banyak anak banyak rezeki.” Gejala tersebut juga terlihat pada masyarakat pantai di desa-desa maju. 
            Untuk faktor agama terlihat bukti empiris pada program pengembangan ternak babi, bahwa pada masyarakat Islam yang religiusitasnya tinggi, jaringan komunikasi peternakan babi tidak akan berkembang dengan baik. Penyebabnya adalah orang Islam tidak mau makan daging babi, karena ajaran agama melarangnya (Rogers, 1995).
Pengaruh Jaringan Komunikasi terhadap Psikologi dan Perilaku
            Sekali suatu jaringan terbentuk maka pada setiap hubungan komunikasi akan terjadi gerak atau perpindahan informasi dari seseorang ke orang lain.  Apabila hubungan komunikasi telah terjadi sehingga pemindahan dan penerimaan informasi telah berjalan, maka informasi tersebut akan mulai berpengaruh kepada orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi tersebut.  Secara garis besar pengaruh tersebut ada dua macam, yakni pengaruh terhadap pola pikir (psikologi) dan pengaruh pada pola perilaku (Lin, 1975). Contoh pengaruh psikologi adalah perubahan persepsi, retensi dan sikap.  Pendapat Lin ini didukung oleh pernyataan Liliweri (2003) yang menyebutkan komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap dan tindakan yang terampil (communication involves both attitudes and skills) dari orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi.  
            Penelitian Kadusihin (dalam Burt, 1987) di tiga lokasi di Amerika Serikat menemukan adanya hubungan antara “kepadatan hubungan” (kepadatan jaringan komunikasi) dengan kesehatan mental. Penelitian ini dilakukan terhadap orang-orang yang berusia antara 27-37 tahun yang pernah terlibat pada Perang Vietnam.
            Sedangkan studi jaringan komunikasi yang menunjukkan adanya bukti kuat bahwa jaringan komunikasi sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia, di antaranya diungkapkan oleh Katz dan Mendel, dan juga Coleman. Menurut Katz dan Mendel (Lin, 1975), mereka pernah membuktikan bahwa para dokter yang melakukan adopsi terhadap obat-obatan baru adalah para dokter yang berada pada jaringan komunikasi profesional. Coleman membuktikan pula bahwa kecepatan penggunaan gammanym, yaitu obat keras di kalangan dokter disebabkan oleh jaringan persahabatan di kalangan dokter tersebut (Rogers, 1995).  Kemudian, penelitian Rogers (1995) di Korea Selatan juga  mengungkapkan bahwa ibu-ibu yang melakukan adopsi terhadap metode kontrasepsi ialah ibu-ibu yang berada dalam jaringan komunikasi keluarga berencana.
            Ilustrasi-ilustrasi bentuk jaringan yang demikian banyak di masyarakat ini merupakan modal sosial yang harus disikapi secara optimal.  Modal sosial dimaksud adalah (1) structural social capital, berupa jaringan pengelompokkan yang struktural, perkumpulan, lembaga beserta peraturan dan prosedur, dan (2) coqnitive social capital, berupa sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan reciprocity (Tjondronegoro, 2005).

Pemuka Pendapat dan Jaringan Komunikasi
Seperti pernah dijelaskan di atas, bahwa pemuka pendapat adalah orang yang mempunyai pengaruh dalam suatu masyarakat walaupun dirinya tidak menduduki jabatan formal.  Adakalanya fungsi pemuka pendapat ini dirangkap oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan formal sebagai pemimpin.
            Studi empiris mengisyaratkan adanya petunjuk yang kuat bahwa orang yang mempunyai banyak hubungan dalam jaringan komunikasi cenderung mempunyai informasi dan pengaruh yang besar.  Pola-pola sosiometris, yaitu hubungan antar anggota masyarakat juga membentuk secara teratur pola sentralisasi dan kompetisi kepemimpinan (Pool, 1973).  Dengan demikian, orang yang banyak mempunyai informasi biasanya menjadi pemuka pendapat, karena dia menjadi tempat bertanya orang banyak.
            Peranan pimpinan informal atau pemuka pendapat dalam mendorong masyarakat menerima suatu pembaruan adalah sangat besar (Rogers, 1995). Pemimpin  seperti ini mempunyai peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga. Pemimpin tertentu, khususnya pemimpin berkharisma, juga di masyarakat yang agak besar diferensiasinya, dapat mempunyai pengaruh besar atas diterima atau ditolaknya gagasan baru di berbagai bidang kehidupan (Schoorl, 1980).  Hal ini dibuktikan misalnya pada penelitian kasus yang terjadi di desa Oryuli di Korea Selatan, dimana kemajuan sosial ekonomi di desa itu dicapai berkat adanya pimpinan informal atau pemuka pendapat tersebut (Rogers, 1995).
            Pemuka pendapat yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap lingkungannya ini ada dua macam. Pertama, pemuka pendapat yang polimorfik, yaitu pemuka pendapat yang menjadi sumber untuk berbagai jenis informasi. Hal ini sering dijumpai di daerah perdesaan di negara yang sedang berkembang, dikarenakan pengetahuan orang-orang di perdesaan belum terspesialisasikan. Sehingga seseorang yang mampu menjelaskan suatu masalah tertentu dianggap juga mampu menjelaskan masalah-masalah yang lain.  Lain halnya dengan yang terjadi di negara yang sudah maju dan terspesialisasi, sehingga pemuka pendapat hanya mampu menjadi sumber bagi satu jenis informasi saja (pemuka pendapat monomorfik).  Pemuka pendapat ini dipercayai baik karena tingkat pendidikan, kekayaan maupun usianya. Di negara berkembang, usia sering dianggap sebagai tanda memiliki pengalaman yang banyak.  Beberapa studi seringkali menunjukkan bahwa pemuka pendapat adalah orang yang kelas ekonominya lebih tinggi dari rata-rata orang yang berada di sekitarnya atau para pengikutnya (Rogers, 1995).
            Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa para pemuka pendapat cenderung berubah bila norma-norma sosialnya juga berubah. Sebaliknya apabila norma-norma sosial cenderung tidak berubah, maka para pemuka pendapat ini juga cenderung tidak inovatif (Rogers, 1995).   Pada masyarakat yang norma sosialnya bersifat tradisional, pemuka pendapat merupakan sekelompok orang yang terpisah dari para inovator.  Para inovator dipandang dengan rasa curiga dan sering kali tidak dihormati oleh para anggota masyarakatnya.  Anggota masyarakat tersebut tidak percaya terhadap penilaian mereka mengenai inovasi.
            Studi Herzog et al. (Rogers, 1995) di desa di Brazilia menemukan bahwa tidak ada para pemuka pendapat maupun pengikutnya yang inovatif apabila masyarakatnya tetap tradisional. Sebaliknya pada masyarakat yang sangat modern, dimana norma sosialnya cenderung inovatif, maka para pemuka pendapat dan pengikutnya juga cenderung inovatif. Dalam masyarakat yang baru mengenal modernisasi, para pemuka pendapatnya akan mengajak para pengikutnya untuk melaksanakan modernisasi dengan cara melaksanakan  dahulu gagasan-gagasan baru tersebut (Rogers, 1995).  Bahkan kegiatan penyuluhan yang bermaksud meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kemauan warga dalam menerapkan berbagai pembaruan, terlebih dahulu perlu diketahui, disyahkan dan direstui oleh pemimpin informal (Havelock et al., 1971).
            Kelompok Peneliti lain yang dapat dianggap sebagai pendahulu analisis jaringan komunikasi tentang informasi berlangkah adalah Lazarfelds dan Katz.  Penelitian mereka menyimpulkan bahwa arus-arus informasi bergerak dalam dua langkah.  Pertama, dari media massa ke pemuka pendapat sebagai pemindahan informasi, dan kedua dari pemuka pendapat ke para pengikutnya sebagai langkah penyebaran informasi dan pengaruh (Katz, 1963).   Begitu juga sumber informasi dari saluran interpersonal, seperti penyuluh sering tidak dapat bekerja sendiri dalam arti informasi pembaruan yang mereka sampaikan cenderung kurang diterima oleh masyarakat, sehingga perlu bantuan “orang dalam” atau pemimpin mereka untuk menyampaikannya. Penyuluh perlu bekerjasama atau memanfaat-kan pemimpin pendapat ini (Chambers, 1987; Rogers, 1995).

Analisis Jaringan Komunikasi
            Gonzalez (Jahi, 1993) menegaskan, dalam jaringan komunikasi erat kaitannya dengan komunikasi interpersonal yang menekankan pada seperangkat hubungan yang mungkin ada di antara individu-individu yang terlibat dalam situasi tertentu. Hubungan yang demikian ini dikenal dengan istilah personal network.  Analisis personal network dalam sistem sosial disebut sebagai “analisis jaringan sosial.”  Sistem sosial yang dimaksud mungkin sebuah desa, perusahaan, kelompok ataupun sebuah organisasi kompleks.
            “Analisis jaringan komunikasi merupakan  suatu metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam sebuah sistem, dimana data yang berhubungan dengan alur komunikasi dianalisis dengan berbagai tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis” (Rogers dan Kincaid, 1981).  Pengertian ini menunjukkan jaringan komunikasi hanyalah alat, bukan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu penelitian jaringan. Hasil yang diperoleh dalam analisis jaringan komunikasi berupa struktur dan pola komunikasi dalam suatu sistem. Struktur yang dimaksud adalah elemen-elemen yang berbeda, yang ditemukan pada alur komunikasi yang terpola dalam sebuah sistem, atau untuk memahami “gambaran besar” interaksi antar manusia dalam sebuah sistem (Rogers dan Kincaid, 1981).
            Ada tiga bentuk analisis jaringan komunikasi yang disarankan oleh Rogers dan Kincaid (1981), yaitu:
(1)  Identifikasi dalam keseluruhan sistem dan mengetahui struktur sub kelompok yang mempengaruhi perilaku dalam sistem.
(2)  Identifikasi peran-peran komunikasi tertentu yang spesifik, seperti liaisons, bridge dan isolate.
(3)  Mengukur beragam indeks struktur komunikasi, misalnya connectedness dan integration untuk individu, dyadic, jaringan personal, “klik” dan keseluruhan sistem.
            Dalam suatu sistem sosial sering ditemukan individu-individu yang lebih intensif berinteraksi satu sama lain daripada dengan anggota sistem sosial lainnya, sehingga membentuk kelompok-kelompok kecil dari kelompok sosial yang lebih besar. Kelompok-kelompok kecil inilah yang disebut “klik” (Gonzales dalam Jahi, 1993).
            Roger dan Kincaid (1981) mendefinikan liaison sebagai seseorang  yang menghubungkan dua atau lebih “klik” dalam suatu sistem, namun ia tidak menjadi anggota dari “klik” manapun. Apabila individu yang berperan sebagai penghubung sekaligus menjadi anggota “klik” maka disebut sebagai bridgeIsolated adalah individu yang tidak menjadi anggota dalam suatu sistem sosial atau individu yang tidak terlibat dalam jaringan komunikasi. Sementara connectedness ialah derajat atau tingkat sebuah unit berhubungan dengan unit lainnya dalam suatu sistem sosial. 
Sedangkan integration adalah derajat atau tingkat dari anggota-anggota jaringan sebuah unit yang menjadi fokus berhubungan (linked) satu sama lainnya (Rogers dan Kincaid, 1981).   Peran-peran komunikasi anggota kelompok jaringan tersebut dilihat dari derajat keterhubungan atau integration dapat berupa mutual pairs, neglectee dan star.
Mutual pairs adalah individu-individu anggota kelompok jaringan komunikasi yang satu sama lain saling memilih sebagai tempat bertanya sesuatu.  Adapun neglectee adalah individu anggota kelompok jaringan komunikasi yang pernah membicarakan, akan tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok lainnya.  Sedangkan star adalah orang yang merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa orang atau individu yang paling banyak dipilih oleh beberapa orang lain sebagai tempat bertanya.
            Menurut Gonzalez (Jahi, 1993) untuk suatu kelompok yang kecil dan sedikit interaksi, teknik sosiometri dapat digunakan untuk analisis jaringan komunikasi. Hasil yang diperoleh berupa sosiogram yang merupakan ilustrasi hubungan “siapa berinteraksi dengan siapa” atau menggambarkan interaksi dalam suatu jaringan sosial, sangat berguna untuk menelusuri aliran informasi ataupun difusi suatu inovasi.
            Sosiometri merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur tingkat hubungan interpersonal, yakni interaksi-interaksi sosial dari para anggota satu kelompok (Vredenbregt dalam Suparman, 1987). Sosiometri didefinisikan oleh Best (Suparman, 1987) sebagai cara untuk mendeskripsikan hubungan-hubungan sosial antar orang-orang dalam suatu kelompok.  Sama seperti pendapat Gonzalez di atas, Rogers dan Kincaid (1981) pun  menyatakan bahwa sosiogram merupakan hasil dari analisis data kuantitatif tentang pola komunikasi di antara orang-orang dalam sebuah sistem sosial dengan menanyakan kepada siapa mereka berhubungan.
            Dari pengertian-pengertian sosiometri di atas, disimpulkan bahwa sosiometri merupakan sebuah metode pengukuran hubungan-hubungan sosial yang ada di antara orang-orang dalam suatu sistem sosial.  Pengukuran ini dapat diusahakan dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan sosiometri kepada responden tergantung informasi atau pesan penyuluhan pembangunan yang menjadi topik atau lingkup penelitian ini.
            Metode analisis sosiometri yang digunakan adalah sosiogram. Sosiogram adalah gambar yang menyajikan pilihan-pilihan responden kepada responden lainnya, baik itu memilih, dipilih, menolak dan ditolak.  Dari penyajian sosiogram ini diperoleh informasi adanya “klik,” penghubung, “isolate” atau penyempilan dan lain sebagainya. Selain itu, setelah sosiogram terbentuk akan memudahkan mengetahui indeks struktur komunikasi yang ingin dicari seperti derajat koneksi, integrasi dan perbedaan individu.   Di samping itu, ada beberapa parameter lain yang dapat digunakan untuk menganalisis keterlibatan seseorang dan mempelajari aliran informasi dalam jaringan komunikasi, misalnya sentralitas global dan sentralitas lokal.
Model jaringan komunikasi dalam penelitian ini adalah konvergen yang terbentuk karena terjadinya komunikasi atau pertukaran informasi antar petani ternak anggota kelompok ternak dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong.  Peran-peran komunikasi peternak yang diamati ialah peran sebagai mutual pairs, neglectee dan star.

Karakteristik Personal
Karakteristik personal, yang sebagian peneliti menyebutnya sebagai karakteristik individu (individual characteristic) merupakan  sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor biologis yang mencakup genetik, sistem syaraf serta sistem hormonal, dan faktor sosio-psikologis berupa komponen-komponen konatif yang berhubungan dengan kebiasaan dan afektif (Rakhmat, 2001).  Karakteristik individu menurut Newcomb, et al. (1978)  meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan lain-lain. Hasil penelitian Saleh (1984) menunjukkan bahwa karakteristik warga desa yang nyata berhubungan dengan bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keikutsertaan kursus, jumlah anggota usia kerja dan tingkat penghasilan.  Sedang Azwar (1997) dalam bukunya menyebutkan  bahwa karakteristik individu yang menentukan perilakunya meliputi berbagai peubah seperti motif, nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain. Adapun  Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan ada tujuh unsur karakteristik individu, yaitu: pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan orangtua, kecakapan dalam manajemen, kesehatan, umur dan perilaku.
            Rogers (1995) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih terinci mengenai perbedaan individu yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu: (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial ekonomi, (4) pola hubungan (lokalit atau kosmopolit), (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan sosial, (7) motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme (tidak adanya kemampuan mengontrol masa depan sendiri)  dan (10) dogmatisme (sistem kepercayaan yang tertutup).   Warner dan Lunt (1941) melihat karakteristik personal pada kategori sosial yang ada di masyarakat yang ditelitinya meliputi: pendapatan, sumber pendapatan, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan organisasi yang diikuti.
            Menurut Kotler (1997) segmentasi khalayak dalam kampanye informasi publik dapat didasarkan atas persamaan mereka dalam karakteristik bersama yang dapat ditinjau secara: (1) geografik, (2) demografik, (3) behavioral dan (4) psikografik.  Karakteristik geografik dapat berupa karakteristik wilayah tertentu, seperti sebuah desa, kecamatan, kabupaten dan sebagainya.  Karakteristik demografik antara lain adalah: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan.  Segmentasi karakteristik behavioral dalam hubungannya dengan isu tertentu juga dapat digunakan, misalnya, petani-peternak dapat disegmentasikan atas dasar intensitas mereka mendengarkan siaran perdesaan dari radio.  Segmentasi karakteristik psikografik dikembangkan atas dasar gaya hidup, bekerja dan menggunakan waktu luang.
            Geertz (1986) pada hasil penelitiannya tentang dinamika sosial di sebuah desa kecil di Jawa Timur yang diberi nama samaran Mojokuto melihat karakteristik personal respondennya dengan parameter nominal berdasarkan aliran agama. Menurut Geertz, karakteristik personal responden penelitiannya dikategorikan menjadi dua, yakni kelompok santri  yaitu orang-orang yang menjalankan agama dengan konsekuen serta kelompok abangan adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi masih menjalankan praktek-praktek animistik dan Islam sinkritik.  Secara umum  Blau (1975) dalam tulisannya yang berjudul “beberapa parameter struktur sosial” (Parameters of Social Structure) menjelaskan bahwa karakteristik personal untuk struktur sosial mempunyai dua tipe parameter, yakni parameter nominal dan parameter graduate atau rasio. Contoh parameter nominal adalah jenis kelamin, agama, ras, pekerjaan dan lingkungan. Sedangkan parameter graduate misalnya pendidikan, umur, pendapatan, prestise dan kekuasaan (Blau, 1975).
            Havelock et al. (1971) menyatakan  bahwa peubah-peubah individual yang mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah: kompetensi dan penghargaan, kepribadian, nilai-nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi.
            Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa dalam penyebaran ide baru atau difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, status sosial dan skala usaha; (2) perilaku komunikasi meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan media massa dan (3) kepribadian, di antaranya empati, senang mengambil risiko dan lain sebagainya.  Heterogenitas khalayak dapat merupakan kesulitan bagi komunikator dalam menyampaikan pesan-pesannya, hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik individual khalayak yang meliputi: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita dan sebagainya (Effendy, 2001).  Lionberger (1960) mengemukakan bahwa faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses difusi dan adopsi inovasi antara lain adalah umur, tingkat pendidikan dan karakteristik psikologiknya.  Dilihat dari aktivitas komunikasi, Burt (1987) menyatakan bahwa komunikasi akan lebih mudah dilakukan antara orang-orang yang mempunyai hubungan bersifat homofili yaitu hubungan karena adanya persamaan karakteristik personal seperti: usia, ras, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya.
            Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciri-ciri yang mencerminkan karakteristik individu dapat berbeda-beda, tergantung pada penekanan masing-masing.  Dengan kata lain, pilihan karakteristik personal tertentu tergantung pada tujuan penelitian yang hendak dilakukan. Misalnya, sejauhmana karakteristik personal yang dipilih tersebut dapat menjelaskan hubungan antara keterkaitannya dengan keterdedahan terhadap media massa, keterlibatan dalam jaringan komunikasi dan distorsi informasi tentang pesan penyuluhan sapi potong.    Karakteristik personal yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: pendidikan formal, kelas ekonomi dan pemilikan media massa serta perilaku komunikasi interpersonal informal dan keterdedahan media massa (radio, televisi dan suratkabar).  Pada penelitian ini karakteristik personal, termasuk keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal informal dijadikan peubah bebas terhadap keterlibatan anggota komunitas (kelompok ternak) dalam jaringan komunikasi sapi potong.

Perilaku Komunikasi atau Keterdedahan Media Massa
            Pandangan tentang perilaku komunikasi warga masyarakat desa, sangat dipengaruhi oleh teori aliran komunikasi massa yang berlaku. Hasil penemuan studi-studi awal komunikasi menunjukkan bahwa perilaku komunikasi pemuka masyarakat tidak banyak berbeda dengan perilaku komunikasi warga masyarakat lainnya.  Mereka umumnya pasif dan tinggal menerima saja informasi yang dihantarkan oleh media massa.
            Menurut studi-studi ini, aliran informasi dari sumber ke penerima, selalu bersifat langsung, segera dan sangat menentukan terhadap khalayak penerima. Studi-studi ini menghasilkan suatu model pendekatan yang sifatnya searah (Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000), yang sering dikemukakan sebagai model jarum suntik (Hypodermic Needle Model). Media massa merupakan gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik khalayak penerima yang pasif.  Model ini sering disebut dengan istilah teori peluru (Bullet Theory) atau Mechanistic Stimulus Response Theory dari De Fleur (De Fleur dan Rokeach, 1982). Teori ini menganggap bahwa komunikasi massa memiliki kekuatan yang besar.
            Menurut model ini, setiap anggota khalayak menerima pesan langsung dari sumber suatu medium tertentu.  Apabila suntikan tersebut cukup kuat, maka akibat yang dapat ditimbulkan suntikan tersebut pada khalayak penerima adalah terpengaruh untuk bertindak menurut isi pesan yang dikomunikasikan (Tubbs dan Moss, 2000). Jadi, komunikasi yang terjadi dapat terlihat seperti peluru yang menghantarkan gagasan, perasaan atau pengetahuan, atau motivasi hampir secara otomatis dari satu individu ke individu lain (Schramm dan Roberts, 1974).
Kemudian, Lazarsfel dan Menzel (dalam Depari dan MacAndrews, 1998) melalui studi penelitiannya untuk mengetahui seberapajauh media massa berperan dalam perubahan, membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar. Pengaruh media massa pada khalayak yang ditujunya tidaklah sedemikian kuat, seperti apa yang kita bayangkan. Seperti, keperkasaan media yang dipakai oleh Nazi antara 1930-1940 sebagai propaganda terhadap rakyat yang mampu menggiring berjuta-juta orang untuk turut dalam perjuangan mereka di Jerman Nazi. Atau penyiaran sandiwara radio  tentang “invasi dari Mars oleh Orson Welles tahun 1938” yang benar-benar hidup sehingga menyebabkan ribuan orang menjadi panik di seluruh Amerika Serikat (Lane dan David dalam Schramm dan Roberts, 1974).
Ternyata menurut De Fleur dan Rokeach (1982) masih ada sumber lain yang sifatnya interpersonal pada khalayak penerima, di samping media massa.  Sumber pengaruh ini tak lain adalah pemuka pendapat atau pemuka masyarakat setempat (Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Pemuka-pemuka masyarakat itu melalui hubungan personal sehari-hari mempengaruhi orang-orang lain dalam pembuatan keputusan dan pembentukan opini (Wright dalam Tubbs dan Moss, 2000).
            Hasil penemuan ini kemudian digunakan oleh peneliti-peneliti komunikasi massa pada waktu itu untuk mengembangkan model aliran pesan komunikasi massa yang lain, yaitu model aliran pesan komunikasi dua tahap (two step flow of communication).
            Menurut model ini ada tiga kemungkinan aliran pesan sampai ke khalayak penerima. Pertama, pada banyak kesempatan, informasi diteruskan dari berbagai media massa (melalui radio, televisi dan media cetak) dan diterima oleh pemuka pendapat. Pemuka-pemuka tersebut mempelajari dan menyaring informasi yang telah diterima dari media massa itu, kemudian diteruskan kepada orang-orang lain yang berada dalam kawasan pengaruhnya (De Fleur dan Rokeach, 1982; Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Rogers (1995) selanjutnya mengungkapkan bahwa tahap pertama aliran informasi dari sumber kepada pemuka-pemuka masyarakat umumnya merupakan transfer informasi, sedangkan tahap kedua, dari pemuka masyarakat kepada pengikut-pengikutnya melibatkan juga penyebaran pengaruh.   
Kedua, informasi yang tersebar melalui radio, televisi dan media cetak dan diterima oleh kelompok pendengar, pemirsa dan pembaca (forum media/farm forum); dan tersebar kepada orang-orang lain atau ke masyarakat. 
Ketiga, informasi yang tersebar dari iklan melalui radio, televisi atau suratkabar dan diterima oleh pendengar, penonton atau pembaca; dan tersebar ke masyarakat atau individu-individu lainnya.
            Hal di atas, yaitu uraian tentang two-step-flow secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengaruh media massa tidaklah sedemikian kuat dan selangsung apa yang pernah diperkirakan orang.   Sehingga peneliti-peneliti komunikasi massa mulai berpikir bahwa efek-efek media diperantarai (mediated) oleh peubah-peubah lain, dan karenanya hanya sedang-sedang saja dalam kekuatannya  atau kekuasaannya (Littlejohn, 1996). Salah satu di antaranya adalah peubah keterdedahan/terpaan media massa (selective exposure dan perception exposure).
            Seseorang boleh saja terdedah pada suatu gagasan baru, baik melalui media massa maupun melalui saluran interpersonal, dan kemudian terlibat dalam pertukaran informasi tentang pesan tersebut dengan rekan-rekannya (Rogers, 1995).
            Studi berikut menyarankan agar kita lebih reseptif pada kenyataan bahwa aliran pesan komunikasi massa itu, tidak hanya terbatas pada dua tahap saja, melainkan banyak tahap. Mencakup semua model tahapan komunikasi. Model ini menunjukkan terdapat banyak variasi dari penyebaran pesan-pesan dari sumber informasi kepada khalayak penerima.  Hal ini dikemukakan karena pemuka-pemuka masyarakat itu boleh jadi berkomunikasi dengan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pemuka masyarakat juga (Tubbs dan Moss, 2000), atau membandingkan isi media itu dengan isi media lainnya.
            Akhir-akhir ini, ahli-ahli komunikasi semakin memperkirakan bahwa khalayak komunikasi massa tidak lagi sebagai khalayak yang pasif, penurut dan terisolasi, melainkan lebih sebagai khalayak yang aktif dan tidak mudah dikontrol. Hal ini digambarkan oleh Schramm (Tubbs dan Moss, 2000) sebagai berikut:
“suatu khalayak yang sangat aktif mencari apa yang ia inginkan, lebih banyak menolak daripada menerima isi komunikasi, berinteraksi baik dengan anggota-anggota kelompok yang diikutinya maupun dengan isi media yang diterimanya, dan sering menguji isi media massa yang diterimanya dengan jalan mendiskusikannya dengan orang-orang lain ataupun membandingkannya dengan isi media lainnya.”
Namun demikian, sampai saat ini peneliti-peneliti komunikasi masih tetap mendalami dalam hal apa khalayak tersebut aktif.  Informasi yang didapat kemudian menunjukkan bahwa khalayak itu jelas memiliki kemampuan untuk memilih saluran komunikasi yang akan digunakan.  Ia menentukan apa yang akan didengar, dilihat dan dibacanya.  Misalnya, ia akan membeli suratkabar pilihannya dan akan menonton program televisi yang disenanginya (Tubbs dan Moss, 2000).  Kemudian, bagaimana ia meneruskan apa yang dilihat, didengar dan dibaca tersebut kepada orang-orang lain di sekitarnya.
            Apa yang diuraikan di alenia di atas, kemudian dijelaskan melalui fenomena “selective exposure,” yaitu kecenderungan untuk lebih menyukai keterdedahan pada komunikasi yang sesuai dengan sikap dan opini seseorang (Sears dan Freedman dalam Schramm dan Roberts, 1974; Tubbs dan Moss, 2000; dan Rogers, 1995).  Ditambah dengan kemudahan aksesibilitas dan meningkatnya kepemilikan media massa maka penelitian ini memfokuskan amatannya pada  perilaku komunikasi impersonal, berupa perilaku keterdedahan responden peternak sapi potong pada media massa radio, televisi dan suratkabar.

 
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS


Kerangka Berpikir

            Kemampuan masyarakat (peternak) untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar untuk memperoleh dan memahami informasi, kemudian memprosesnya menjadi pengetahuan tentang adanya kesempatan-kesempatan bagi dirinya, melatih diri agar mampu berbuat, dan termotivasi agar mau benar-benar bertindak (Slamet, 2003). Kegiatan proses belajar tentang sesuatu program dapat mencapai hasil yang baik dalam waktu yang lebih singkat, diperlukan usaha-usaha khusus yang bersistem dan berstrategi di bidang pendidikan non-formal. Lingkup tugas tersebut merupakan kerja Penyuluhan, yang merupakan pendidikan non-formal untuk semua orang, untuk menolong dirinya sendiri, melalui belajar sambil bekerja dan dengan melihat menjadi yakin secara kontinyu untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Lionberger dan Gwin, 1982; Dahama dan Bhatnagar, 1985).
            Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan tidak akan pernah berdiri sendiri. Slamet (2003) menegaskan bahwa praktek penyuluhan pembangunan di lapangan jelas sekali menuntut pendekatan interdisiplin. Menurut beliau, pembangunan pertanian di Indonesia dapat berhasil karena sejak semula menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi yang dirangkum oleh ilmu penyuluhan pembangunan (Slamet, 1992; Slamet, 2003).
            Lebih lanjut, Slamet (2003) mensinyalir bahwa para petani Indonesia sebagai khalayak sasaran penyuluhan pembangunan telah berubah secara nyata. Pada umumnya profil populasi petani Indonesia juga telah berubah secara positif. Secara makro populasi petani telah menjadi lebih kecil jumlahnya secara persentil tetapi lebih tinggi kualitasnya, yang ditandai oleh lebih baiknya tingkat pendidikan mereka, lebih mengenal kemajuan, kebutuhannya meningkat, harapan-harapannya juga meningkat, serta pengetahuan dan keterampilan bertaninya juga telah jauh lebih baik. Para petani kini telah memiliki pola komunikasi yang terbuka. Mereka telah lebih mampu berkomunikasi dengan orang-orang dari luar sistem sosialnya, dan telah lebih mampu berkomunikasi secara impersonal melalui berbagai media massa (Slamet, 1995; Kasryno, 1995; dan Slamet, 2003).  Pernyataan yang dikemukakan Slamet dan Kasryno ini sebenarnya telah diungkapkan oleh Hagen (1962), bahwa berubahnya petani dalam berusahatani disebabkan karena berubahnya pengetahuan petani, pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh fungsi informasi. Dalam kaitan ini pengaruh media massa seperti siaran radio, televisi, suratkabar dan berbagai terbitan lainnya, dapat mendorong lebih cepatnya penerimaan gagasan dan teknologi baru yang disampaikan dalam penyuluhan pembangunan pertanian, di samping interaksi sosial secara langsung.
            Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku komunikasi petani, termasuk dalam hal ini peternak sapi potong dalam mengikuti kegiatan penyuluhan diduga telah bergeser, yang dulunya dominan memanfaatkan informasi penyuluhan melalui saluran komunikasi interpersonal lewat sistem penyuluhan “tetesan minyak” bersifat top down ke sistem penyuluhan “LAKU (latihan dan kunjungan), dan kini diduga sudah lebih memanfaatkan atau “terdedah” informasi penyuluhan melalui media massa.       
Komunikasi sebagai gejala sosial yang turut membentuk perilaku dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yaitu pertama: faktor struktural yang di dalamnya termasuk aspek karakteristik personal, pelapisan sosial, dan ketersediaan sarana-prasarana yang memberikan kemudahan mendapatkan informasi (accessibility).  Kedua, adalah penerimaan informasi (acceptability) menyangkut aspek kultural (kebudayaan).  Jadi keberhasilan komunikasi ditinjau dari ada tidaknya hambatan struktural (karakteristik personal) dan penerimaan (kultural).
            Dari kerangka berpikir di atas dapat dilakukan eksplorasi teoritikal mengenai kasus-kasus yang menimbulkan gagasan untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik personal dikaitkan dengan tingkat pengunaan media massa dan jaringan komunikasi di perdesaan. Pertama, mengapa penelitian komunikasi yang menjadi fokus pengamatan?  Karena, ingin melihat bagaimana pola jaringan komunikasi di antara peternak sapi potong. Apakah benar telah terjadi perubahan perilaku pada khalayak sasaran penyuluhan ke arah perilaku komunikasi impersonal.  Diduga telah terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak untuk mendapatkan informasi.  Dalam penelitian ini “pergeseran” dilihat dari perbedaan penggunaan media komunikasi oleh peternak maju dibandingkan dengan peternak kurang maju. Peternak kurang maju, kurang memanfaatkan media massa dalam mendapatkan informasi dan lebih mengandalkan media interpersonal.  Sebaliknya, peternak maju tingkat pemanfaatan media massanya lebih besar dibandingkan pada peternak kurang maju dalam mendapatkan informasi.  Kedua, karena metode penelitian ini menggunakan hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisis, maka jaringan komunikasi dapat juga dijadikan peubah yang turut diamati sebagai peubah terikat. Ketiga, peubah terikat lain yang juga ingin dipelajari adalah perubahan informasi yang terjadi pada kegiatan penyuluhan sapi potong, diukur berdasarkan peubah distorsi pesan.  Mengingat obyek studi mengenai jaringan komunikasi ini adalah seluruh partisipan kelompok peternak, maka karakteristik peternak tersebut otomatis dapat diartikan juga sebagai pelapisan sosial.  Pelapisan di sini atau karakteristik personal haruslah dipandang sebagai suatu kontinum agar dapat diuji secara statistik, untuk melihat perbedaan kategori karakteristik personal mana yang menghalangi komunikasi antara anggota jaringan komunikasi dengan orang-orang yang tidak menjadi anggota jaringan komunikasi.
Rogers (1995) menyatakan bahwa jaringan komunikasi akan lebih mudah terbentuk di antara orang-orang yang mempunyai persamaan atribut. Faktor karakteristik personal yang diduga mempengaruhi jaringan komunikasi tersebut adalah: pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa.  Faktor tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak dilihat berdasarkan perilaku keterdedahan media massa (media exposure) meliputi: keterdedahan terhadap siaran radio, televisi dan suratkabar) dalam mencari dan menerima informasi. Adapun faktor perilaku responden dalam memanfaatkan media interpersonal dilihat dari perilaku komunikasi interpersonal peternak sapi potong dalam mencari, menerima, mengklarifikasi dan menyebarkan terpaan pesan dari media massa atau diperoleh dari sumber interpersonal lain. Ketiga faktor ini diduga berhubungan dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. Dimana ketiga faktor tersebut pada penelitian ini dijadikan sebagai peubah bebas. Walaupun demikian, diduga karakteristik personal pun berhubungan dengan perilaku keterdedahan media massa dan perilaku memanfaatkan media interpersonal.  Keterkaitan antar peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi penyuluhan ini, digambarkan dalam model penelitian seperti tersaji pada Gambar 2 berikut.



 















 

 


Gambar 2. Kerangka berpikir model hubungan berbagai peubah penelitian

                  
            Desa lokasi penelitian ini dapat dikategorikan sebagai “desa terbuka.” Artinya mudah disentuh oleh berbagai macam informasi yang berasal dari luar desa, karena adanya berbagai prasarana dan fasilitas media massa. Prasarana tersebut misalnya jalan aspal, fasilitas kesehatan, pasar dan koperasi (KUD).  Sarana pelayanan ini juga menjadi ajang tempat pertemuan untuk saling tukar-menukar informasi bagi orang-orang yang saling berjumpa di tempat-tempat tersebut.
Selain media massa, “informasi” yang sampai ke warga masyarakat di lokasi penelitian lewat saluran birokrasi desa, penyuluh lapangan, pedagang, pemodal, pendamping, ketua kelompok, melalui sesama anggota kelompok, rumah ibadah dan sebagainya.
Dengan adanya berbagai prasarana, media massa dan berbagai lembaga yang mampu menyalurkan berbagai informasi tersebut, maka desa lokasi penelitian ini dapatlah dikatakan penyaluran informasinya sejalan dengan model komunikasi banyak tahap. Kelemahan model ini adalah tidak mampu menggambarkan orang-orang yang tidak terlibat pada jaringan komunikasi interpersonal  dan tidak dipengaruhi oleh pemuka pendapat, tetapi selalu nampak pada hampir setiap penelitian yang menggunakan metode analisis jaringan komunikasi.  Mereka ini juga perlu dikenai atau disentuh informasi, atau bahkan yang paling membutuhkan informasi untuk dapat serta memanfaatkan fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan perdesaan.  Orang-orang inilah yang disebut sebagai pemencil (Rogers dan Kincaid, 1981).  Untuk memperjelas proses terjadinya jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok ternak di desa penelitian, Gambar 3 berikut ini mencoba memvisualisasi proses pembentukan jaringan tersebut yang mampu menggambarkan para pemencil jaringan komunikasi yang diteliti.

                                              TAHAP PERTAMA                         TAHAP KEDUA

            (1)                                           (2)                                                     (3)
Sebelum terkena                        Sesudah terkena                        Jaringan yang terbentuk
       informasi                                  informasi                            setelah terkena informasi    

            Gambar 3.  Proses pembentukan jaringan komunikasi
 
            Ilustrasi (1) dan (2) adalah kepala keluarga belum membentuk jaringan komunikasi. Pada ilustrasi (2) kepala keluarga sudah mendapat informasi, yang kemungkinan diperoleh dari berbagai macam saluran, forum dan media.  Sedangkan ilustrasi (3) terlihat sejumlah kepala keluarga peternak sapi potong membentuk jaringan komunikasi dengan cara bertanya kepada orang-orang yang dipercayainya sebagai usaha konfirmasi atas informasi yang didapatnya.
Dari Gambar 3 terlihat bahwa hanya sebagian dari warga desa atau anggota kelompok peternak yang memberikan respons terhadap informasi yang diterimanya dari berbagai saluran dengan mencari tambahan informasi atau mengonfirmasikan informasi tersebut kepada jaringan sosialnya.  Orang-orang inilah yang kemudian menjadi anggota jaringan komunikasi yang mendapatkan tambahan informasi melalui jaringan sosialnya.  Sedangkan sebagian lagi tidak berusaha menanyakan kembali atau mengonfirmasikan informasi yang telah mereka terima.
            Dalam kerangka teori, studi empirik menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai banyak hubungan cenderung memiliki informasi dan pengaruh yang besar.  Orang-orang ini disebut sebagai pemuka pendapat.  Tentu saja hal ini juga berlaku di desa lokasi penelitian, dimana masyarakat desa di Jawa umumnya menggunakan orientasi nilai paternalistik yang menyebabkan peranan pemuka pendapat sangat besar dalam derap dinamika masyarakat. Terutama dalam hal pengambilan keputusan, dimana orang-orang cenderung membentuk pola jaringan komunikasi yang memusat kepada orang-orang tertentu, yaitu mereka yang kelas ekonominya relatif lebih tinggi dan memiliki semacam kredibilitas karena dianggap mengetahui atau memang memahami hal-hal yang ingin diketahui oleh anggota masyarakatnya.  Di samping itu, karena jaringan komunikasi sapi potong yang diteliti ini merupakan program pemerintah, maka yang menjadi pemuka pendapat semestinya cenderung pula adalah orang-orang yang juga mempunyai status formal.  Karena desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian bukan termasuk desa dengan masyarakat sudah maju, maka pemuka pendapatnya cenderung bersifat polimorfik.  Artinya, seorang pemuka pendapat dapat menjadi sumber informasi lebih dari satu jenis informasi.  Hal ini dimungkinkan karena pemuka pendapat ialah orang yang mobilitas dan kontak sosialnya tinggi.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis utama yang diuji dalam penelitian ini adalah “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi.” Dengan melihat asumsi pada kerangka berpikir di atas yang menyebutkan, peternak sapi potong dalam penelitian ini dibagi menjadi dua golongan yakni “peternak kurang maju” dan “peternak maju” sebagai pengganti dimensi waktu. Dimana indikasi perbedaan pemanfaatan media massa antara peternak maju dan kurang maju, menunjukkan pergeseran tingkat pemanfaatan media massa. Termasuk perbedaan di antara masing-masing kategori berdasarkan tingkat pendidikan formal dan status ekonomi peternak sapi potong dalam memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi, merupakan indikator terjadinya pergeseran pemanfaatan media massa.  Sehingga pengujian hipotesis pertama di atas, dapat ditunjukkan oleh hipotesis kerja sebagai berikut:
H1a =    adanya perbedaan nyata tingkat pemanfaatan media massa untuk mendapatkan informasi antara peternak maju dengan kurang maju.
H1b  =   di antara masing-masing peubah personal (tingkat pendidikan, kelas ekonomi, pemilikan media massa) dan perilaku pemanfaatan media interpersonal peternak, terdapat perbedaan nyata tingkat pemanfaatan media massa untuk informasi dari lokasi yang berbeda.
Selain hipotesis utama di atas, dari kerangka berpikir tentang keterkaitan antar peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, dirumuskan pula beberapa hipotesis kerja sebagai berikut:
H2    =  Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan keterdedahan media massa.
H3    =  Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan perilaku komunikasi interpersonal informal.
H4    =  Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong.
H5    =  Terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong.
H6    =  Terdapat hubungan nyata antara keterdedahan media massa dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong.
H7    =  Terdapat hubungan nyata antara peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi informasi.

 
METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi
Populasi dalam penelitian ini ialah kepala keluarga peternak sapi potong yang terhimpun dalam kelompok peternak, yang berdomisili dan berusaha di tiga kabupaten yakni Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat; Kabupaten Sukohardjo, Jawa Tengah dan Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Penentuan tiga kabupaten dan penentuan kelompok terpilih dilakukan berdasarkan pada tingkat kemajuan kelompok peternak sapi potong.  Data tingkat kemajuan kelompok peternak tersebut diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternak (Ditjenak) Departemen Pertanian RI.
Kabupaten Sukabumi dipilih karena termasuk kategori kabupaten yang kelompok peternaknya relatif baru dan belum maju. Alasan pertimbangan lain dipilihnya Kabupaten Sukabumi adalah karena kabupaten ini memiliki motto untuk menjadikan “Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten peternakan,” dan telah merancang untuk mengembangkan Pembangunan Kawasan Agribisnis Terpadu Ternak Sapi Potong di wilayah Sukabumi Selatan. Kecamatan terpilih di Kabupaten Sukabumi ini adalah Kecamatan Nyalindung dan Kecamatan Surade.
Sedangkan kelompok peternak terpilih di Kabupaten Sukohardjo dan Gunung Kidul termasuk kategori kelompok “utama” atau sudah maju dan pernah jadi juara lomba ternak sapi potong tingkat nasional. Baik di Kabupaten Sukohardjo maupun Gunung Kidul diambil satu kecamatan terpilih yakni Kecamatan Polokarto dan Gedangsari, dimana di masing-masing kecamatan tersebut terdapat kelompok peternak sapi potong pemenang Lomba Agribisnis Ternak Sapi Potong tingkat Nasional pada tahun 2003.

Sampel
Sampel berasal dari populasi yang tersebar di empat kecamatan terpilih diambil sebanyak 125 responden, yang mewakili kelompok peternak sapi potong yang sudah eksis (maju) yakni dari dua  kelompok peternak sapi potong, satu dari Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul dan satu lagi dari Desa Mranggen Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo; dan dua kelompok dari kelompok peternak sapi potong yang relatif baru, dari Desa Cisitu Kecamatan Nyalindung dan dari Desa Jagamukti Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.
Penentuan besarnya sampel yang mewakili populasi sebanyak 125 orang ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan nonteknis. Pertimbangan teknis dilihat berdasarkan (a) variabilitas atau derajat keragaman data yang dipelajari, (b) tingkat kepercayaan dalam angka estimasi yang dihasilkan, (c) presisi atau batas penyimpangan yang bisa ditolerir dalam angka estimasi, dan (d) rencana analisis data. Sedangkan pertimbangan nonteknis berupa efisiensi biaya, keterbatasan tenaga peneliti dan waktu yang tersedia (Scheaffer et al., 1992).  Perhitungan Penetapan jumlah sampel dilakukan atas pertimbangan ragam (varians =2) yang didapat di lapangan (diambil dari peubah yang paling besar sebagai pembatas) yakni dari data kelas ekonomi pada selang kepercayaan 90% bagi  a.  Secara umum untuk menghitung nilai n atau penarikan jumlah sampel adalah sebagai berikut:



                                                       2
n   =   (z 2 )2  ------------
                                              a2

 
 




        Keterangan:
                        n   =  Jumlah peternak yang dijadikan contoh                                                
                       = Taraf nyata
                     2 = Ragam
                      z    = Nilai peubah untuk normal baku
                      a    = Konstanta sehingga  a merupakan selang kepercayaan (1-)
Untuk memperoleh akurasi yang tinggi, secara teori nilai a harus kecil sehingga diperoleh nilai n relatif besar. Berdasarkan rumus di atas, dengan menggunakan selang kepercayaan dugaan 90% (yang diambil dari tabel z =1,645) diperoleh nilai 
                         (4,04632E+15)                  
n  = (1,645)2  ---------------------  = 109 orang.  Agar n data cukup layak/ mewakili
                          (10.000.000)2
(representativeness), diambillah jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 125 responden peternak, dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya pencilan dan keragaman yang tinggi.
Desain Penelitian

Untuk memetakan (mapping) jaringan komunikasi, diambil dua kelompok peternak sapi potong yang maju (“sedyo rukun” atau Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul dan kelompok “subur” atau Polokarto Kabupaten Sukohardjo) dan dua kelompok belum maju (Cisitu dan Surade) sebagai unit contoh. Contoh ini diambil dengan teknik “sampling intact system” (Rogers dan Kincaid, 1981).  Dengan metode “intact system” ini, semua individu dalam setiap kelompok peternak sapi potong sebagai suatu sistem sosial  adalah sebagai responden.
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survei deskriptif korelasional. Sedangkan pemetaan jaringan komunikasi menggunakan kajian analisis jaringan komunikasi yang dilakukan dengan pembuatan matriks hubungan komunikasi yang berasal dari hasil pertanyaan sosiometris.  Dari matriks tersebut dibuat sosiogram jaringan komunikasi sapi potong.
Dipilihnya metode analisis jaringan komunikasi, karena metode ini dapat dengan jelas mendeskripsikan jaringan komunikasi dengan sosiogram. Metode ini bertitik tolak dari analisis konvergensi yang berlandaskan pada teori cybernetic, yakni teori yang memandang tingkah laku manusia dari perspektif sistem-sistem (Rogers dan Kincaid, 1981). Teori ini beranggapan bahwa perilaku seseorang akan lebih ditentukan oleh relasi-relasi sosialnya daripada ciri-ciri individunya.
Sedangkan analisis korelasional digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong.  Faktor yang diduga berhubungan secara nyata dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi tersebut adalah tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa, serta perilaku komunikasi interpersonal yang digunakan dan keterdedahan media massa (radio, tv dan suratkabar).  Termasuk melihat keterkaitan hubungan karakteristik personal terpilih dengan pemanfaatan media massa maupun pemanfaatan media interper-sonal, hubungan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi dengan tingkat informasi yang dimiliki (distorsi pesan), hubungan  kelas ekonomi dengan pemusatan jaringan komunikasi, serta hubungan kelas ekonomi dengan macam kepemimpinan komunikasi pemuka pendapat.
Data dan Instrumentasi

Data
Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang diambil, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kuantitatif, yakni data yang berkaitan dengan peubah bebas berupa karakteristik personal terpilih, saluran komunikasi interpersonal yang digunakan dan keterdedahan media massa, dan data peubah terikat berupa peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong dan distorsi; serta data kualitatif (soft data) berupa hasil wawancara mendalam (indepth interview) kepada responden dan informan, dimana informasi dikumpulkan dengan alat tape recorder.
Data sekunder meliputi kondisi umum wilayah penelitian, data ternak dan kelompok peternak serta data yang relevan dengan penelitian ini yang diperoleh dari kantor desa/kecamatan lokasi penelitian dan kantor dinas peternakan maupun KIPP (Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian) Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sukohardjo dan Kabupaten Gunung Kidul, UPP (Unit Penyuluhan Pertanian) dan KCD (Kepala Cabang Dinas) kecamatan lokasi penelitian.  Di samping itu dilakukan studi literatur, diskusi dan observasi lapangan untuk memperoleh gambaran wilayah, situasi dan kondisi lokasi penelitian.
Data primer yang dikumpulkan terdiri dari:
1.      Karakteristik personal terpilih yang meliputi: pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa.
2.      Perilaku komunikasi interpersonal yang digunakan, berupa aktivitas interaksi peternak secara individu dengan pembina, penyuluh, pejabat dinas peternakan dan pejabat terkait lainnya, pedagang, pemodal dan pendamping, atau dengan sesama peternak, kontak tani dalam bentuk komunikasi tatap muka.  Perilaku komunikasi interpersonal dalam hal ini meliputi: perilaku menerima, mencari, mengklarifikasi atau mendiskusikan dan menyebarkan informasi tentang sapi potong.
3.      Keterdedahan media massa yang meliputi: perilaku komunikasi peternak dalam mencari atau mendapatkan informasi dari siaran radio, televisi dan suratkabar.
4.      Data jaringan komunikasi yang terdiri atas sosiogram yang mengandung indikasi jenis jaringan, arah arus informasi, anggota jaringan, pemencil, tingkat informasi masing-masing individu baik yang menjadi anggota jaringan, orang yang mempunyai posisi sebagai pemuka pendapat, orang yang berposisi sebagai pengikut pemuka pendapat, jaringan utama dan sub-sub jaringannya. Peran-peran Komunikasi yang diamati dari sosiogram jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong ini meliputi: mutual pairs, neglectee dan star.

Instrumentasi
Untuk keperluan pengumpulan data diperlukan alat bantu kuestioner berupa daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati terhadap objek penelitian.  Kuestioner terdiri atas tiga bagian yakni bagian pertama mengidentifikasikan karakteristik personal, bagian kedua untuk memperoleh data tentang perilaku komunikasi interpersonal dan keterdedahan media massa, serta bagian ketiga untuk memperoleh data tentang jaringan komunikasi dan distorsi.  Beberapa data tambahan untuk pendalaman dikumpulkan melalui interview dan observasi ke lokasi penelitian.

Validitas dan Reliabilitas Instrumen.  Penentuan validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan dengan uji coba kuestioner.  Uji coba kuestioner dilakukan terhadap peternak yang memiliki ciri-ciri relatif sama dengan peternak yang dijadikan sampel penelitian.  Pelaksanaan uji coba dilaksanakan dari tanggal 1-10 Desember 2004 di Desa Nyalindung dan Desa Kertaangsana Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengumpulan data uji coba dilaksanakan melalui wawancara langsung dengan 30 peternak.

Validitas Instrumen.  -- Validitas instrumen merupakan suatu tingkat keabsahan kuestioner sebagai alat ukur untuk menunjukkan sejauhmana instrumen tersebut benar-benar mengukur apa yang seharusnya ia ukur (Kerlinger, 1986; Rakhmat, 2005, Wimmer dan Dominick,1983). Pengukuran validitas instrumen diarahkan ke validitas isi atau “content validity,” yakni sejauhmana isi alat pengukur tersebut memadai mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep, dan diarahkan ke validitas konstrak atau “construct validity,” yaitu dengan melihat faktor-faktor apa yang dapat menerangkan keragaman  (varians) sesuatu yang diukur (Kerlinger, 1986).
            Untuk mencapai validitas instrumen, maka langkah yang biasa dilakukan adalah: (1) menentukan peubah-peubah apa yang mungkin berhubungan dengan sesuatu yang menjadi pokok pengamatan, (2) menyesuaikan dengan apa yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk mendapatkan data yang sesuai, (3) menjadikan teori-teori dan kenyataan yang telah diungkapkan pada berbagai kepustakaan sebagai dasar membangun instrumentasi, (4) menyesuaikan isi pertanyaan/pernyataan dengan keadaan peternak dan lingkungan komunikasinya serta (5) memperhatikan nasehat-nasehat para ahli, terutama Komisi Pembimbing.   Tingkat validitas suatu alat ukur bisa diketahui dari nilai koefisien validitasnya yang memiliki rentang dari nol sampai 1,00 dengan pengertian semakin mendekati angka satu maka validitas semakin sempurna. Dengan menggunakan rumus korelasi moment product nilai koefisien validitas instrumen penelitian ini dapat diperoleh (Kerlinger, 1986; Singarimbun dan Effendi, 1995). 
Hasil uji korelasi produk momen, Pearson correlation menunjukkan nilai total validitas sebesar 0,4299 pada taraf nyata 5%, yang bila dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi (rtabel) = 0,361 menunjukkan nilai yang lebih besar; maka secara keseluruhan butir pertanyaan dikatakan valid.  Apabila dilihat per butir pertanyaan, maka hasil hitungan uji validitas ini menunjukkan ada tiga butir pertanyaan tidak signifikan, yakni butir pertanyaan nomor 7 (P7), butir P14 dan butir P23.  Koefisien validitas ketiga butir tersebut berada di bawah angka kritis, bahkan negatif.  Untuk itu, dua butir pertanyaan tak valid (P7 dan P14) dihilangkan dari kuestioner yang diberikan kepada responden, karena pernyataan tersebut bertentangan dengan pernyataan/pertanyaan yang lain.  Sedangkan pertanyaan nomor 23 (P23) didiversifikasi atau dipecah menjadi tiga butir pernyataan yang lebih spesifik, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.

Reliabilitas Instrumentasi. -- Malo dan Trinoningtias (1991) mengemukakan bahwa reliabilitas instrumen adalah tingkat kemantapan atau konsistensi suatu alat ukur atau disebut juga keterandalan alat ukur. Reliabilitas lebih mudah dimengerti dengan memperhatikan tiga aspek dari suatu alat ukur, yakni unsur kemantapan (stabilitas), unsur ketepatan (akurasi ataupun presisi) dan yang ketiga ialah unsur error ataupun kesalahan pengukuran dimana semakin kecil keragaman (variabilitas) maka semakin tinggi akurasi instrumen pengukuran tersebut, oleh karena semakin kecil eror yang terdapat (Kerlinger, 1986).  Analisis reliabilitas digunakan untuk mengukur tingkat akurasi dan presisi dari jawaban yang mungkin dari beberapa pertanyaan.  Dalam penelitian ini metode yang digunakan ialah metode konsistensi internal, dengan Reliability Analysis Scale Alpha (Cronbach’s Alpha).  Hasil analisis uji keterandalan terhadap kuestioner penelitian ini diperoleh  nilai koefisien reliabilitas alfa Cronbach sebesar 0,6635. Karena nilai rhasil = 0,6635 > rtabel = 0,361, dapat dikatakan bahwa kuestioner yang digunakan terandal (reliabel).

Pengumpulan Data
            Pengumpulan data primer dilaksanakan selama dua bulan, dari tanggal 14 Desember 2004 sampai 16 Februari 2005 dengan teknik wawancara memakai kuestioner dan observasi lapangan, termasuk  pengumpulan data sekunder.
            Pengumpulan data dilakukan di kelompok peternak sapi potong Cisitu  Kecamatan Nyalindung dan kelompok Surade Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, di kelompok Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan di kelompok Polokarto Kabupaten Sukohardjo Jawa Tengah.

Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan dua macam metode, yakni Pertama: analisis jaringan komunikasi untuk merekonstruksikan struktur peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong yang terbentuk di empat lokasi penelitian. Analisis jaringan komunikasi dilakukan dengan menggunakan teknik sosiometri, untuk mendapatkan sosiogram. Kedua, analisis statistik deskriptif yang relevan misal, tabel distribusi, frekuensi, rataan (boxplot) dan persentase, serta  untuk melihat hubungan menggunakan metode tabulasi silang (cross tab), uji lintas (path analysis), uji beda vektor nilai tengah (Inferences about a mean vector) atau T2 Hotelling, uji diskriminan yang bertatar (stepwise), analisis matriks korelasi, ana-lisis biplot, analisis korespondensi (correspondence analysis) dan uji khi-kuadrat dengan bantuan program SPSS versi 12 for Windows dan program SAS seri 8.2.

Analisis Jalur
Pengujian hubungan antara peubah pemberi pengaruh kepada peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, dilakukan analisis regresi linear ganda (multiple linear regression).   Adapun bentuk umum untuk regresi linear ganda peubah tak bebas Y atas X1, X2, …, Xk ditaksir oleh: 



Y = b0  +   b1 X + b2 X 2  +   …  +  bk Xk

 
 


dengan konstanta b0 dan koefisien-koefisien b1, b2 ,…,  bk dapat ditaksir berdasarkan n buah pasang data (X1, X 2 , …, Xk, Y) yang diperoleh dari pengamatan (Sudjana, 1996). Berdasarkan model regresi linear ganda di atas ditentukanlah koefisien lintas (path coefficient).  Koefisien jalur ini pada dasarnya merupakan koefisien beta atau koefisien regresi baku. Notasi yang dipakai untuk koefisien jalur ialah pij dengan pengertian i menyatakan akibat atau peubah tak bebas dan j menyatakan penyebab/peubah bebasnya. Koefisien ini bisa dicantumkan pada garis jalur yang bersesuaian dalam diagram jalur.  Dalam penelitian ini, tampilan diagram dan koefisien jalur  faktor-faktor yang mempengaruhi peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong tersaji pada Gambar 4.  Dalam diagram jalur tersebut, pendidikan (X1) dan kelas ekonomi (X2) merupakan peubah eksogenus.  Korelasi antara kedua eksogenus ini dilukiskan berupa garis beranak panah tunggal pada ujungnya, dengan nilai p21.  Peubah pemilikan media massa (X3), X4, X5, X6, X7, X8 dan Y adalah peubah endogenus.  Jalur juga berupa garis beranak panah tunggal pada ujungnya, ditarik dari peubah-peubah bebas sebagai penyebab kepada peubah-peubah tak bebas yang diambil sebagai akibat.

                                                                 py1
                               p41
                                                                                 py5
                p31
                                                              p45
                                     
                                              p53                                                                                  py4
     p21                                                                        
                                                                                 
                                                                                   py3
                                         p63
                                                                                                py6
                                                                                             p46
                p32                       p73                                                               
                                                          p62
                                                                                                                    p47                               py8

                                   p72                                                                         py7                                                             
                                            py2

                                                                                              
 







Terdedah radio  Z5
 
                                p51
                 

Komunikasi interpersonal Z4
 


Pemilikan media massa Z3
 
 







Dis
tor
si

Zy2
 

 

Terdedah tv Z6
 
                                                                                                                            py2y














 




Pemuka pendapat     Z8

 
      
                                            
                                                           

Gambar 4. Tampilan diagram jalur antar peubah yang mempengaruhi peran-peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong dan distorsi pesan
           

Dari diagram jalur ini, diturunkanlah model jalur, yang persamaannya (dinyatakan dalam angka baku z) menjadi sebagai berikut:
z1 = e1
z2 = p21 z1 + e2
z3 = p31 z1 + p32 z2 + e3
z4 = p41 z1 + p45 z5 + p46 z6 + p47 z7 + e4
z5 = p51 z1 + p53 z3 + e5
z6 = p62 z2 + p63 z3 + e6
z7 = p72 z2 + p73 z3 + e7
zy = py1 z1 + py2 z2 + py3 z3 + py4 z4 + py5 z5 + py6 z6 + py7 z7 + ey
dengan persamaan ini, maka koefisien-koefisien jalur dapat dihitung dinyatakan oleh korelasi rij.  Oleh karena itu harga-harga peubah dinyatakan dalam angka baku, maka untuk n buah pengamatan  berlaku rumus: (Sudjana, 1996)

rij =

 
           


Di samping itu, diagram jalur pada Gambar 4 menyajikan pula peubah-peubah residual untuk menunjukkan efek peubah-peubah yang tidak termasuk dalam model rekursif antara peubah-peubah bebas (karakteristik personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal) yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan peubah tak bebas (peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong). Peubah residual tersebut adalah X8 (pemuka pendapat) dan Y2 (distorsi pesan), dimana untuk menghitung koefisien jalur antara peubah X8 dan Y (peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong), dihitung dari model persamaan:
z8 = e8
zy = py8 z8 + ey
dan menghitung koefisien jalur antara peubah Y dan Y2 (distorsi pesan), dihitung model jalur dari model persamaan:
zy = ey
zy2 = py2y zy + ey2
            Perhitungan kesemua koefisien jalur di atas dapat dibantu dengan pengolahan data dan prosedur analisis regresi menggunakan piranti lunak program SPSS versi 12 for Windows.

Matriks Korelasi
            Untuk mendapatkan gambaran data hasil pengamatan yang terdiri dari banyak peubah dengan melihat seberapa kuat hubungan antara peubah-peubah itu terjadi, dapat ditentukan derajat hubungan antara peubah-peubah tersebut dalam bentuk matriks koefisien korelasi.
            Untuk menentukan koefisien-koefisien korelasi  rij antara xi dan xj, dan koefisien-koefisien korelasi  dengan  rumus ryi antara y dan xi, dapat dibantu dengan jalan memanfaatkan jasa komputer.  Untuk itu amatan peubah xi (i = 1, 2, …, k) dan y diubah menjadi bilangan baku zx dan zy seperti berikut:



zx   dan   zy

 
 



kemudian menggunakan bilangan-bilangan baku ini,  koefisien-koefisien korelasi sederhana rij antara xi dan xj, dan ryi antara y dan xi secara umum dihitung dengan rumus:   rxy   (Sudjana, 1996).
Analisis Biplot
Untuk mendapatkan gambaran keragaan umum tentang objek dan gambaran tentang  peubah, baik tentang keragamannya maupun korelasinya, maka digunakan analisis biplot. Dimana panjang vektor akan memberikan gambaran tentang keragaman. Semakin panjang vektor peubah tersebut, makin tinggi keragamannya. Sedangkan sudut antara vektor menunjukkan korelasi antara peubah.  Bila sudut antara kedua vektor tersebut mendekati 0 maka makin besar korelasi positif antara kedua peubah tersebut. Korelasi sama dengan 1 diperoleh bila= 0.  Bila sudut antara kedua vektor mendekati , makin besar korelasi negatif antara kedua peubah tersebut.  Korelasi sama dengan -1 akan diperoleh bila = .  Makin dekat  terhadap /2, makin kecil korelasi kedua peubah tersebut dan korelasi sama dengan 0  atau  tidak ada  korelasi diperoleh apabila = /2.    
Metode analisis ini digunakan untuk menyajikan data peubah ganda dari ruang yang berdimensi banyak ke dalam ruang yang berdimensi rendah, sehingga dimaksudkan data lebih mudah untuk ditafsirkan.  Hal ini sesuai dengan istilah bi dalam biplot dikaitkan dengan peragaan bersama atau serempak berupa penumpangtindihan antara vektor-vektor yang mewakili baris dan kolom matriks (Siswadi dan Suhardjo, 2002).
Data yang digunakan untuk analisis biplot berupa matriks X berpangkat r, berukuran  n x p (n = banyaknya objek dan p = banyaknya peubah) dikoreksi dengan nilai tengah.  Matriks X diuraikan menggunakan konsep Penguraian Nilai Singular (PNS).  Dengan menggunakan program statistik SAS seri 8.2 didapat hasil grafik Biplot, adapun bentuk persamaan dan penguraiannya sebagai berikut:




X  =  nUrLrAp  =  nUrLarL1-arAp  =  nGrHr
 
 



          Keterangan: U = matriks berukuran n x r dengan lajur saling ortonormal
                  L = matriks diagonal berukuran r x r dengan unsur pada diagonal
                        utamanya ialah akar kuadrat dari akar ciri matriks X’X
                        dan unsur-unsur diagonal ini disebut nilai singular matriks X
                 A = matriks berukuran p x r dengan lajur saling ortonormal
                 r  = pangkat dari matriks X.

dengan mendefinisikan G = ULa dan H = AL1-a ;       0 < a < 1.
Fakta yang diperoleh untuk a = 0 (G = U dan H = AL) yang digunakan dalam studi ini, adalah:
1.   hi hj = (n-1)sij, dengan sij = (n-1)-1 xik-) (xjk-).
      Artinya, penggandaan titik antara vektor hi dengan hj akan memberikan gambaran koragam antara peubah ke-i dengan peubah ke-j.
2.   = (n-1)-1/2 si.
      Artinya, panjang vektor tersebut akan memberikan gambaran tentang keragaman peubah ke-i.  Makin panjang vektor hi dibandingkan dengan vektor lainnya, katakanlah hj, makin besar pulalah keragaman peubah ke-i dibandingkan dengan peubah ke-j.
3.      cos  = rij,  merupakan sudut antara vektor hi dengan vektor hj dan rij merupakan korelasi antara peubah ke-i dengan peubah ke-j.  Bila sudut antara kedua vektor tersebut mendekati 0 maka makin besar korelasi positif antara kedua peubah tersebut. Korelasi sama dengan 1 diperoleh bila = 0.  Bila sudut antara kedua vektor tersebut mendekati , makin besar korelasi negatif antara kedua peubah tersebut.  Korelasi sama dengan -1 akan diperoleh bila = .  Makin dekat  terhadap /2, makin kecil korelasi kedua peubah itu, dan korelasi sama dengan 0 atau tidak ada korelasi diperoleh bila = /2.
4.      Bila pangkat X = p, maka (xi-xj) S-1 (xi-xj) = (n-1) (gi-gj)’ (gi-gj).
Artinya, (kuadrat) jarak Mahalanobis antara xi dengan xj akan sebanding dengan (kuadrat) jarak Euclid antara gi dengan gj.  Makin kecil jarak Euclid antara titik gi dan gj yang terlihat dalam plot akan memberikan gambaran makin dekatnya xi dengan xj yang diukur dengan menggunakan peubah ganda asal dengan jarak Mahalanobis.  Sebaliknya, makin besar jarak Euclid antara titik gi dan gj yang terlihat dalam plot akan memberikan gambaran makin jauhnya xi dengan xj yang diukur dengan menggunakan peubah ganda asal dengan jarak Mahalanobis.


Uji Beda Vektor Nilai Tengah
Untuk menguji hipotesis pertama “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi” digunakan uji beda vektor nilai tengah (Inferences about a mean vector) dengan alat uji T2 Hotelling (Johnson dan Wichern, 2002).
Uji T2 Hotelling ini memiliki kemampuan melihat adanya perbedaan antara dua kelompok amatan.  Karena amatan perubahan berdasarkan dimensi waktu tidak mungkin dilakukan, digunakanlah upaya melihat perubahan tersebut atas dasar lokasi pemilihan sampel penelitian.  Satu kelompok kurang maju (Kecamatan Nyalindung dan Surade, Sukabumi)  dan satu kelompok lagi yang maju (Kecamatan Polokarto Sukohardjo dan Kecamatan Gedangsari Gunung Kidul).  Gambaran input analisisnya tersaji pada Tabel 3 berikut ini. 
Tabel 3. Data yang diolah dengan T2 Hotelling
Observasi
(Responden)

Peubah
X4-1    X4-2    X4-3    X4-4    X5     X6     X7
Status
Kelompok
1
2
.
.
n1



K1
(Kelompok Maju)
1
2
.
.
n2



K2
(Kelompok Kurang Maju)

Keterangan:                                                                 X5    =  Perilaku keterdedahan radio
X4-1   =  Perilaku menerima informasi sapi potong (pasif)             X6    =  Perilaku keterdedahan tv        
X4-2   =  Perilaku mencari informasi sapi potong (aktif)                 X7    = Perilaku keterdedahan koran
X4-3   =  Perilaku klarifikasi/diskusi informasi sapi potong             n1     = Banyaknya observasi K1
X4-4   =  Perilaku menyebarkan informasi sapi potong                   n2     = Banyaknya observasi  K2

Perhitungan rumus uji statistik T2 Hotelling adalah sebagai berikut:

T2 =  (x1 x2)T S-1  (x1 x2)

 
 
           



Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok dilanjutkan Uji F dengan rumus;


F-hitung  =   T2

 
           

Keterangan:
                  n1   =  ukuran sampel pada kelompok 1
                  n2   =  ukuran sampel pada kelompok 2
                   =  banyaknya peubah yang diamati
                  S-1 =  invers matriks koragam
                  x1  =  vektor rataan kelompok 1      
                  x2  =  vektor rataan kelompok 2      

dengan derajat bebas (p, n1 + n2p – 1).  Bila Fhitung > Ftabel (p, n1 + n2 p – 1) dimana  = 0,05, menyatakan bahwa ada perbedaan perilaku komunikasi di kalangan peternak sapi potong pada kelompok maju dan kurang maju yang memiliki perbedaan karakteristik personal yang diuji. Sedangkan untuk penguatan deskripsi analitis terjadi pergeseran tersebut, digunakan matriks korelasi antar indikator-indikator dari peubah yang diamati dan penyajian analisis biplot.

Analisis Diskriminan
            Analisis lainnya adalah analisis diskriminan. Analisis ini bertujuan mencari garis atau persamaan yang mampu membedakan antar kelompok dengan baik. Jadi, masalah yang ditelusuri dalam analisis diskriminan ialah (1) mencari cara terbaik untuk menyatakan perbedaan antar kelompok objek (masalah diskriminasi); (2) cara untuk mengalokasikan suatu objek (baru) ke dalam salah satu kelompok tersebut (masalah klasifikasi).
            Fungsi diskriminan merupakan fungsi atau kombinasi linear peubah-peubah asal yang akan memberikan cara terbaik dalam pemisahan kelompok-kelompok tersebut.  Fungsi ini akan memberikan nilai-nilai yang sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok.  Fungsi ini tentunya di samping dapat digunakan untuk menerangkan perbedaan antar kelompok, juga bisa digunakan dalam masalah klasifikasi.
            Bila matriks koragam total T = (tij), matriks koragam dalam kelompok W = (wij), dan matriks koragam antar kelompok B = (bij) maka T = W + B.  Bila fungsi diskriminan Z1 = a11X1 + a12X2 + …+ a1pX= a1X  yang memaksimumkan nisbah antara ragam antar kelompok dengan ragam dalam kelompok maka yang ingin dicari ialah a1 sehingga a1’B a1/a1’Wa1 maksimum. Fungsi diskriminan lainnya yaitu Zi  = a1X  yang memaksimumkan a1’B a1/ a1’Wa1 dengan kendala tidak berkorelasi dalam kelompok dengan Z1, Z2, … , Zi-1.  Vektor-vektor  a1, a2, …, ai  dapat diperoleh sebagai vektor ciri yang berpadanan dengan akar ciri  dari matriks W-1B.
            Dari analisis diskriminan ini dapat pula digunakan untuk mencari peubah-peubah asal yang dianggap dominan untuk digunakan dalam membedakan antar kelompok.  Salah satu pendekatan yang relatif efisien dalam komputasi ialah melalui penggunaan peubah secara bertatar (stepwise) yaitu menambahkan peubah satu per satu yang relatif dominan ke dalam fungsi sampai suatu saat dimana penambahan peubah lainnya dianggap tidak menambah baik diskriminasinya.  Menurut Supranto (2004) analisis diskriminan berguna untuk menganalisis data kalau peubah kriterion atau dependen (tak bebas) berupa kategori dengan skala pengukuran nominal atau ordinal dan peubah bebasnya berskala interval atau rasio (kuantitatif, hasil penilaian/rating).

Analisis Korespondensi
            Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar peubah kelas ekonomi dengan macam kepemimpinan komunikasi ketokohan peternak yang beratribut star dalam jaringan komunikasi sapi potong, berupa analisis untuk tabel kontingensi. 
            Tujuan dari analisis korespondensi (correspondence analysis) yaitu memperagakan baris dan kolom suatu matriks data secara serentak dari tabel kontingensi dua arah dalam ruang dimensi rendah.
            Matriks korespondensi didefinisikan sebagai  iPj = (1/n..) N, dengan n = 1’N1.  Vektor yang unsur-unsurnya merupakan jumlah unsur dari vektor-vektor baris matriks P ialah r = P1; ri > 0, i = 1, 2, ..., i.  Vektor yang unsur-unsurnya merupakan jumlah unsur dari vektor-vektor kolom matriks P ialah c = P’1; cj > 0, j = 1, 2, …, j.  Definisikan Dr sebagai matriks diagonal yang unsur-unsur diagonal utamanya ialah unsur-unsur dari vektor r, yang dilambangkan sebagai Dr = diag (r), dan Dc = diag (c).
            Matriks profil baris didefinisikan  sebagai R = Dr-1P dan matriks profil kolom didefinisikan sebagai C = Dc-1P’.   Jadi, vektor r juga merupakan rataan terboboti dari profil-profil kolom dan vektor c juga merupakan rataan terboboti dari profil-profil baris.  Andaikan R = [r1, r2, .., ri] dan C = [c1, c2, .., cj], maka jarak yang digunakan untuk menggambarkan kedekatan antar profil ialah jarak Khi-kuadrat, yaitu:
(rirj)’Dc-1(rirj)  untuk jarak antara profil baris ri dengan profil baris rj, dan
(cicj)’Dr-1(cicj)  untuk jarak antara profil kolom ci dengan profil kolom cj.
Profil-profil baris dan kolom di atas ingin digambarkan dengan menumpang- tindihkannya dalam ruang berdimensi rendah.
            Bila dengan  Penguraian  Nilai  Singular  (PNS) Umum diperoleh  bahwa P – rc = ADB; A’Dr-1A = B’Dc-1B = I, maka profil baris matriks R yang posisi relatifnya sama dengan profil baris matriks R – 1c, diberikan oleh F = Dr-1AD  Profil kolom matriks C yang posisi relatifnya sama dengan profil kolom matriks C – 1r, diberikan oleh G = Dc-1BD.   Bila dengan profil baris R atau profil kolom C digunakan jarak Khi-kuadrat maka dengan profil dari matriks F dan G representasinya diperoleh jarak Euclid. Seperti halnya dalam biplot, penggambaran dalam ruang berdimensi rendah, katakanlah k maka koordinat yang digunakan untuk menggambarkan profil-profil tersebut ialah k unsur pertamanya.
            Seperti halnya dalam analisis biplot, interpretasi kedekatan antar profil dalam kategori yang sama didasarkan pada jarak Euclidnya sedangkan hubungan profil-profil antar kategori dapat ditelusuri melalui formula transisi, yaitu F = RGD-1 atau G = CFD-1.  Jarak yang jauh antar profil akan memberikan kontri-busi yang relatif besar terhadap tak adanya kebebasan antar kategori yang diamati.

            Jadi, peragaan hasil analisis korespondensi, seperti halnya dengan analisis biplot, merupakan penumpangtindihan profil-profil baris dan kolom yang dalam analisis ini diperoleh dari tabel kontingensi dengan menggunakan jarak khi-kuadrat.  Penggunaan PNS Umum (Generalized Singular Value Decomposition) dalam penghitungan analisis ini akan memberikan keterkaitannya dengan analisis lain dalam APG  atau Analisis peubah Ganda  (Siswadi dan Suhardjo, 2002).

Kerangka Pendekatan Analisis Penelitian

Kerangka pendekatan analisis dari penelitian “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” disajikan pada Tabel 4 berikut ini.  Kerangka pendekatan analisis tersebut dikembangkan dari empat masalah penelitian dan untuk menguji tujuh butir hipotesis sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
 
Tabel 4.   Kerangka pendekatan analisis penelitian

MASALAH
PENELITIAN

TUJUAN
PENELITIAN

HIPOTESIS
KOMPONEN YANG DIUKUR
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
DATA YANG DIPERLUKAN
1. Bagaimana perilaku komunikasi  peternak dalam  mendapatkan informasi.

1.  Melihat perilaku  peternak dalam mendapatkan informasi.
Hipotesis 1.
Terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh  peternak  untuk mendapatkan informasi.




Hipotesis kerja 1a:
Terdapat perbedaan nyata tingkat pemanfaatan media massa untuk mendapatkan informasi antara peternak maju dengan peternak kurang maju.

Perbandingan tingkat peman-faatan media massa dengan perilaku peman-faatan media interpersonal

Mengkaji keterde-dahan media massa dan perilaku pemanfaatan  media interpersonal antara kelompok maju dan kurang maju

Matriks korelasi,
Biplot,
Uji beda vektor nilai tengah / T2  Hotelling,
Uji diskriminan

Data keterdedahan media massa dan frekuensi komunikasi  interpersonal dengan unit analisis  Kab. Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul
Hipotesis kerja 1b:
Di antara masing-masing peubah personal dan perilaku pemanfaatan media interperso-nal, terdapat perbedaan nyata penggunaan media massa untuk mendapatkan informasi  dari lokasi yg berbeda. 

  Idem

Membandingkan antara 10 peubah amatan antar kelompok.

 Idem

  Idem
2. Bagaimana partisipasi peternak dalam Jaringan kom. sapi potong,  dilihat dari  pe-ran kom.?
2.  Mengidentifikasi tingkat partisipasi peternak dilihat dari peran kom. dalam jaringan komunikasi sapi potong
-
Peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong
-
-

Data peran kom. peternak dalam jaringan dengan unit analisis Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung kidul 
MASALAH
PENELITIAN

TUJUAN
PENELITIAN

HIPOTESIS
KOMPONEN YANG DIUKUR
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
DATA YANG DIPERLUKAN
3. Sejauhmana hubungan karakteristik  personal dgn keterdedahan media massa dan kom. interpersonal; hubungan ke-peubah tsb dengan peran kom. peternak  dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan hubungan peran kom. peternak sapi potong dengan distorsi pesan?
3.  Menganalisis hubungan karakteristik  personal dengan keterdedahan media massa dan komunikasi interpersonal; Hubungan karakteristik, keterdedahan media massa, komunikasi interpersonal dengan  peran komunikasi dlm jaringan kom sapi potong; dan hub. peran komunikasi dlm jaringan kom sapi potong dgn distorsi pesan.
Butir 2.
Terdapat hubungan nyata  antara karakteristik personal dengan perilaku keterdedahan media massa





Pendidikan
formal, kelas ekonomi, kepemilikan media massa, dengan keterdedahan media massa

Melihat korelasi dan keragaman antar peubah karakteristik personal dengan keterdedahan media massa

Analisis jalur,
Matriks korelasi,
Analisis biplot. 


Data karakteristik dan perilaku keterdedahan media massa dengan unit analisis Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul. 
Butir 3.
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan perilaku komunikasi interpersonal  informal
Pendidikan
formal, kelas ekonomi, kepe-milikan media massa, dengan perilaku kom. interpersonal
Melihat korelasi dan keragaman antar peubah karakteristik personal dengan perilaku kom. interpersonal
Matriks korelasi,
Analisis biplot.



Data karakteristik dan perilaku komunikasi interpersonal dengan unit analisis  Kabupaten Sukabumi,
Sukohardjo dan Gunung Kidul. 
Butir 4.
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan peran komunikasi anggota  kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong
Pendidikan, klas ekonomi, kepe-milikan media massa dan peran  komunikasi dalam jaringan
Melihat korelasi dan keragaman antar peubah karakteristik personal dengan peran komunikasi dalam jaringan kom.
Analisis jalur,
Matriks korelasi,
Analisis biplot.


Data karakteristik dan peran  kom. dalam jaringan dgn unit analisis Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul. 


Butir 5.
Terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi interpersonal  dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong

Perilaku kom. interpersonal dan  peran kom peternak dalam jaringan kom. sapi potong
Melihat korelasi dan keragaman antar peubah pemanfaatan kom. interpersonal dgn peran komunikasi dlm jaringan kom.

Matriks korelasi,
Analisis biplot

Data komunikasi interpersonal dan peran komunikasi dalam jaringan dengan  unit analisis  tiga kabupaten sampel.
MASALAH
PENELITIAN

TUJUAN
PENELITIAN

HIPOTESIS
KOMPONEN YANG DIUKUR
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
DATA YANG DIPERLUKAN


Butir 6.
Terdapat hubungan nyata antara keterdedahan media massa  dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong

Keterdedahan
media massa  dgn peran  kom. peternak dalam jaringan kom.

Melihat korelasi dan keragaman antar peubah keterdedahan media massa dengan peran  komunikasi

Matriks korelasi,  Analisis biplot
Data keterdedahan media massa dan peran komunikasi dalam  jaringan dengan unit analisis tiga kabupaten sampel.


Butir 7.
Terdapat hubungan nyata antara peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan
Peran  kom. peternak dalam jaringan kom. sapi potong dan distorsi pesan
Melihat korelasi dan keragaman antar peubah peran kom. dalam jaringan kom. dgn distorsi pesan

Matriks korelasi,  Analisis biplot
Data peran komunika- si dalam jaringan dan distorsi pesan dengan unit analisis  tiga kabupaten sampel 
4. Bagaimana pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong?
4.  Mengetahui pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong
-
Peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong, dan kelas ekonomi
Melihat korelasi dan keragaman antar peubah peran kom. anggota kelompok dalam jaringan kom. sapi potong dengan kelas ekonomi

Matriks korelasi
Analisis biplot

Data peran komunikasi  dan kelas ekonomi dengan unit analisis tiga kabupaten sampel


-
Karakteristik kelas ekonomi  peternak star  dalam jaringan komunikasi sapi potong, dan macam kepe-mimpinan kom.
Melihat hubungan  peubah  kelas ekonomi dan macam kepemimpinan komunikasi peternak beratribut star dalam jaringan komunikasi sapi potong

Uji khi-kuadrat,
Analisis korespondensi,

Data kelas ekonomi dan macam kepemimpinan kom. ketokohan peternak  dalam jaringan kom. sapi potong dengan unit analisis tiga kabupaten sampel 

5.  Mendesain strategi/ model
     komunikasi penyuluhan.
-













 
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Sukabumi
            Kabupaten Sukabumi termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6o57’ - 7o25’ Lintang Selatan dan 106o49’-107o00’ Bujur Timur dengan topografi umumnya bergelombang.  Pegunungan berada di bagian utara, tengah dan selatan, bergelombang sampai daerah pantai dengan ketinggian mulai 0 – 2.969 meter di atas permukaan laut.  Sedangkan secara klimatologi, kabupaten ini berada pada daerah yang beriklim sedang, suhu harian berkisar antara 18-29oC dengan kelembaban rata-rata 85%, curah hujan antara 2.000 sampai dengan 4.000 mm per tahun, dengan rata-rata bulan basah enam bulan dan rata-rata bulan kering dua bulan.
            Luas wilayah daratan Kabupaten Sukabumi seluruhnya 4.164,0427 kilometer persegi atau 416.404,27 hektar dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor di sebelah utara, Samudra Indonedia di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat, di sebelah timur Kabupaten Cianjur dan di tengahnya berbatasan dengan Kota Sukabumi.  Gunung Salak dan Gunung Gede menjadi batas alam dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur.
            Secara administratif, kabupaten ini dibagi dalam 45 kecamatan dengan 341 desa/ kelurahan.   Kawasan agribisnis sapi potong, khususnya untuk penggemukan sapi potong terdapat di sembilan kecamatan, meliputi Kecamatan Kebonpedes, Kadudampit, Gegerbitung, Cikembar, Parungkuda, Cicurug, Nyalindung, Purbaya dan Jampangtengah.  Sedangkan kawasan perbibitan, difokuskan di tiga lokasi pengembangan, yakni (1) Surade, meliputi Kecamatan Jampangkulon, Kalibunder, Cibitung, Ciracap, Waluran, Surade dan Ciemas; (2) Sagaranten, meliputi Kecamatan  Cidadap, Sagaranten, Curugkembar, Pabuaran, Tegalbuleud dan Cidolog; (3) Jampangtengah, meliputi Kecamatan Lengkong, Nyalindung dan Purbaya. Kawasan yang ketiga ini dikategorikan sebagai kawasan perbibitan baru, karena merupakan kawasan yang belum tersentuh program perbibitan.  Dipilihnya dua kecamatan penelitian yakni Kecamatan Surade dan Nyalindung adalah agar mampu mewakili kategori daerah perbibitan dan penggemukan sapi potong.
            Kecamatan Surade berada di wilayah Sukabumi Selatan, yang bagian selatannya berbatasan dengan Samudra Indonesia, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Waluran dan Kecamatan Jampangkulon, di sebelah timur dengan Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Cibitung di sebelah barat. Kelompok peternak sapi potong yang dijadikan objek penelitian di Kecamatan Surade ialah kelompok peternak Banjaran, yang berlokasi di Desa Jagamukti  dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 30 orang yang tersebar di lima dusun, yakni di Banjaran, Cisuren, Cidadap, Sinarjaya dan Dusun Kubang.  Hampir seluruh anggota kelompok peternak sapi potong ini memelihara ternaknya secara dilepas di ladang hamparan rumput alam. Pencapaian populasi ternak sapi potong mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, dimana terdapat penurunan jumlah populasi sebesar lima persen.  Salah satu penyebabnya adalah tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) yang rendah, dimana banyak sapi peternak yang belum bunting padahal sudah dua tahun dipelihara.  Menurut penuturan ketua kelompok peternak Banjaran, pelaksanaan kegiatan IB baru dibangkitkan kembali awal 2003, setelah sebelumnya sempat terhenti selama empat tahun.  Penyebab lain adalah faktor SDM, dimana mantri hewan yang kurang memberikan informasi kepada peternak tentang keadaan sapi potong peternak dan  tidak ada petugas di kantor Kepala Cabang Dinas(KCD) Kecamatan Surade.
Gambaran Desa Jagamukti dimana kelompok sapi potong “Banjaran” berada,  memiliki luas wilayah 405 Ha  dan berada 250 meter di atas permukaan laut (dpl). Termasuk daerah yang bersuhu panas karena berada diketinggian <750 dpl. Curah hujan Desa Jagamukti rata-rata 216 mm pertahun.  Kemiringan lahan 8-15 derajat dan termasuk lahan kering karena berkisar 10-20%.  Lokasi Jagamukti ini sangat berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia, baik sapi maupun ternak domba. Secara administratif desa tersebut berbatasan dengan Desa Citangkar di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Gunung Sungging, di sebelah barat Desa Swakarya dan di sebelah timur dengan Desa Cidahu.
Usahaternak sapi potong di Desa Jagamukti sangat berpotensi untuk terus dikembangkan. Potensi SDA (sumberdaya alam) dan SDM (sumberdaya manusia) perlu diolah dan dikembangkan. Umumnya peternak memelihara sapi dengan dilepas di lapangan dan dibiarkan mencari makan sendiri. Jumlah Penduduk yang banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan sapi potong.
Menurut Tabel 5, jumlah penduduk  di Desa Jagamukti adalah sebanyak 5.032 jiwa, yang terdiri atas 2.453 orang laki-laki dan 2.579 orang perempuan. Sedangkan kepala keluarga ada sebanyak 1.444 KK, berarti setiap keluarga memiliki rataan besar keluarga sekitar 3,48. Terlihat, jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan ternyata sedikit lebih banyak dari penduduk berjenis kelamin laki-laki. Penduduk yang berjenis kelamin perempuan seharusnya dilibatkan dalam kegiatan peternakan. Perempuan mempunyai sifat yang ulet dalam melaksanakan pekerjaan dan potensi ini perlu dikembangkan. Banyak sekali  potensi  yang dimiliki oleh wanita yang bernilai positif bagi pembangunan peternakan secara luas.  Mulai dari memelihara, mengolah hasil ternak sampai memasarkannya. Di lokasi penelitian semua responden berjenis kelamin laki-laki (100%). Perempuan dengan segala kemampuan dan potensi dirinya perlu dilibatkan lebih serius untuk lebih memajukan dunia peternakan Indonesia terutama  peternakan sapi potong di Desa Jagamukti.

Tabel 5.     Distribusi penduduk Desa Jagamukti menurut umur

Kelompok Umur  (Tahun)
Jumlah  (orang)
Persentase (%)
 0  -  5
647
12,86
6 – 14
860
17,09
15 – 45
2.655
52,76
46 – 60
870
17,29
Total
                        5.032
100,00
Sumber: Monografi Desa Jagamukti, 2005.

            Dari Tabel 5 diperoleh informasi bahwa hampir dua pertiga (sekitar 70 persen) penduduk Desa Jagamukti tergolong peternak usia produktif, yakni 15-60 tahun dan ini adalah potensi yang menjadi pertimbangan dalam pembangunan agribisnis sapi potong, karena di usia produktif umumnya peternak mempunyai semangat tinggi, mau bekerja keras, dinamis, kreatif, inovatif dan aktif dalam melakukan aktivitas usahaternak sapi potong yang mereka geluti.
            Sebagian besar (73%) mata pencaharian penduduk Desa Jagamukti adalah bertani, sedangkan macam pekerjaan lainnya sebagai buruh, pegawai negeri sipil (PNS), pedagang dan tukang kayu atau tukang batu. Sisanya, rata-rata satu persen ke bawah adalah bermatapencaharian sebagai sopir, aparat keamanan, karyawan swasta, guru swasta, penjahit dan montir.  Kategori jenis pekerjaan lain-lain sebanyak 70 kepala keluarga adalah  bekerja sebagai nelayan, guru SD/madrasah dan pensiunan.  Secara rinci macam pekerjaan atau mata pencaharian penduduk Desa Jagamukti dapat dilihat  pada Tabel 6 berikut ini.
 
            Tabel 6.  Macam pekerjaan penduduk Desa Jagamukti per kepala keluarga

Jenis pekerjaan
Jumlah
(KK)
Persentase
(%)
PNS (Pegawai negeri sipil)
    70
4,85
TNI/Polri
13
0,90
Guru swasta
5
0,35
Karyawan Swasta
10
0,69
Berdagang
  68
4,71
Buruh
  92
6,37
Petani
  1.055
73,06
Penjahit dan Montir
6
0,42
Sopir
15
1,04
Tukang Kayu dan Tukang Batu
40
2,76
Lain-lain
70
4,85
Total
1.444
100,00

Sumber: Monografi Desa Jagamukti, 2005
Kecamatan terpilih lainnya ialah Nyalindung berada di wilayah Sukabumi Tengah, yang bagian selatannya berbatasan dengan Kecamatan Purbaya, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kebonpedes dan Kecamatan Gunung Guruh, di sebelah timur dengan Kecamatan Gegerbitung dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikembar dan Jampangtengah. Kelompok peternak sapi potong yang dijadikan objek penelitian di Kecamatan Nyalindung  adalah kelompok peternak Cisitu, yang berlokasi di Desa Cisitu  dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 32 orang.  
Desa Cisitu memiliki luas 1.226 Ha dan berada 700 meter dpl serta termasuk pada daerah yang bersuhu panas karena <750 meter dpl, yakni rata-rata suhu udara 20-24oC pada siang hari dan 17-19oC pada malam hari. Curah hujan Desa Cisitu rata-rata 2.412 mm pertahun.  Secara administratif desa ini berbatasan dengan Desa Kertaangsana di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Margaluyu, di sebelah barat Desa Cintamiang dan di sebelah timur dengan Desa Nyalindung.
Usahaternak sapi potong di Desa Cisitu sangat berpotensi untuk terus dikembangkan. Potensi SDA dan SDM perlu diolah dan dimanfaatkan secara optimal. Jumlah Penduduk yang banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan usahaternak sapi potong.  Gambaran jumlah penduduk  di Desa Cisitu adalah sebanyak 1.360 kepala keluarga (KK), dengan jumlah jiwa 4.305 orang yang terdiri atas 2.161 orang laki-laki dan 2.144 orang perempuan.
            Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Cisitu adalah bertani, sedangkan macam pekerjaan lainnya sebagai buruh atau pekerja karyawan, pedagang dan pegawai negeri sipil (PNS). Secara rinci mata pencaharian penduduk Desa Cisitu dapat dilihat  pada Tabel 7.
  
            Tabel 7. Macam pekerjaan penduduk Desa Cisitu per kepala keluarga
Jenis Pekerjaan
Jumlah
(KK)
Persentase
(%)
PNS (Pegawai negeri sipil)
9
0,66
Petani/Buruh
813
59,78
Pedagang
            124
9,12
Buruh/Pekerja Karyawan
336
24,71
Pensiunan
15
1,10
Lain-lain
63
4,63
Total
1.360
100,00

Sumber: Monografi Desa Cisitu, 2005.

            Dari jumlah penduduk di atas, menunjukkan potensi tenaga kerja di Desa Cisitu cukup besar.   Kategori jenis pekerjaan lain-lain sebanyak 63 kepala keluarga adalah  bekerja sebagai sopir, guru SD/madrasah.  Hal ini berarti tingkat kelahiran di Desa Cisitu masih terkendali.
Adapun sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Cisitu adalah satu buah PUSTU (Puskesmas Pembantu), 17 buah  masjid, tiga buah SD dan enam buah madrasah, 39 buah mushola, enam buah MCK, 12 buah sumber air bersih, sebuah wartel yang dalam kondisi rusak dan koperasi non KUD satu buah.  Desa Cisitu mempunyai enam kelompoktani, lima kelompok lanjut dan satu pemula.

Kabupaten Gunung Kidul dan Sukohardjo
Kabupaten Gunung Kidul termasuk wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Sukohardjo di Propinsi Jawa Tengah.  Dua kabupaten ini merupakan pilihan lokasi untuk kelompok peternak sapi potong kategori maju, karena kedua kelompok ini pernah menjadi yang terbaik tingkat nasional (Juara I).  
Untuk Kabupaten Gunung Kidul dipilih kelompok perbibitan sapi potong “Sedyo Rukun” yang berlokasi di Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari.  Desa Ngalang ini memiliki luas wilayah 1.481,7910 Ha dan berada 300-375 meter dpl, dengan suhu udara rata-rata 19 -32oC dan curah hujan  ± 320 mm pertahun.  Secara administratif desa bertopografi dataran tinggi berbukit ini berbatasan dengan Desa Hargomulyo di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Gading Kecamatan Playen, di sebelah barat Desa Nglegi Kecamatan Patuk dan di sebelah timur dengan Desa Pengkol Kecamatan Nglipar.
Usahaternak sapi potong kelompok Sedyo Rukun di Desa Ngalang adalah usaha perbibitan dengan target produksinya ialah pedet, sehingga pemilihan bibit dalam proses reproduksi sangat diperhatikan. Kelompok Sedyo rukun dalam proses reproduksi seratus persen dilakukan dengan cara IB, sehingga kelompok tidak memerlukan adanya pejantan. Keuntungan yang diperoleh dengan proses reproduksi seperti ini adalah anggota kelompok yang akan mengawinkan induknya dapat menentukan waktu yang tepat dan dapat memilih bibit unggul yang diinginkan untuk mendapatkan hasil pedet yang bernilai jual tinggi serta dapat menghindari tertularnya penyakit yang dibawa oleh pejantan.
Bibit yang telah dihasilkan oleh anggota kelompok, apabila berkelamin betina dan mutunya baik diutamakan digunakan untuk induk sendiri atau dijual dalam kelompok.  Apabila bibit yang dihasilkan adalah jantan/betina dengan mutu kurang baik, maka anggota kelompok akan menjualnya ke luar kelompok atau ke pasar.
Jumlah penduduk Desa Ngalang berkisar sekitar 1.688 kepala keluarga (KK) dengan jumlah jiwa 7.180 orang, terdiri atas 3.351  orang laki-laki dan 3.829  orang perempuan. Gambaran jumlah penduduk  yang banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan usahaternak sapi potong.   Sama halnya dengan penduduk Desa Cisitu, sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Ngalang adalah bertani, menyusul sebagai buruh atau pertukangan, pedagang, penjual jasa/sopir, pegawai negeri sipil dan pensiunan. Lain-lain di sini adalah kepala keluarga yang masuk kategori tidak memiliki pekerjaan tetap dan umumnya adalah rumahtangga muda yang masih menumpang dengan orangtuanya. Secara rinci mata pencaharian penduduk Desa Ngalang dapat dilihat  pada Tabel 8.

            Tabel 8. Macam pekerjaan penduduk Desa Ngalang per kepala keluarga
Jenis Pekerjaan
Jumlah
(KK)
Persentase
(%)
PNS
42
2,49
Petani/Buruh
522
30,92
Pedagang
413
24,47
Buruh/Pertukangan
420
24,88
Pensiunan
32
1,90
Penjual jasa/sopir
173
10,25
Lain-lain
86
5,09
Total
1.688
100,00

Sumber: Monografi Desa Ngalang, 2005.

Adapun sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Ngalang adalah satu buah Puskesmas, 11 buah  masjid, 17 buah mushola, dua  buah taman kanak-kanak, lima buah SD dan satu SLTP, 39 buah mushola, satu wartel, satu orari, 506 buah pesawat televisi, 759 radio, 15 buah sepeda, 105 motor, 13 mobil dan tiga buah truk. Selain itu terdapat satu buah industri kecil di desa tersebut berupa selepan beras, enam buah industri rumah tangga, dua buah toko, 36 buah warung dan 200 meter saluran irigasi.
Populasi ternak di Desa Ngalang sendiri meliputi 32.140 ekor ayam kampung, 100 ekor itik, 500 ekor kambing dan 600 ekor sapi potong. Sedangkan kegiatan pertambangan bahan galian yang ada di Desa Ngalang, berupa batu gunung (240 m3), batu kali (330 m3) dan batu bangunan (2600 m3).
Kelompok sendiri telah memiliki koperasi kelompok yang diberi nama “Koperasi Sedyo Rukun,” dengan nomor badan hukum 0341/BH/KDK -12-3, tertanggal 5 Mei 2000.  Koperasi  tersebut kini telah memiliki tiga unit usaha Simpan Pinjam, 17 buah unit usaha Bahan-bahan Kredit dan sebuah unit usaha Ekonomi Desa. 
Kelompok peternak sapi potong yang berdiri pada bulan Februari 1989 ini, kini berstatus kelas kelompok utama dan telah memiliki 30 anggota kelompok dengan jumlah ternak sebanyak 150 ekor.  Prestasi kelompok yang telah diraih dalam mengimplementasikan pengembangan kawasan terpadu agribisnis sapi potong adalah:
(a) di aspek agribisnis hulu, berupa:
      1.   Usaha pakan, yang dilakukan oleh kelompok dengan menyediakan pakan sapi bagi anggota kelompok dalam bentuk melakukan gerakan penanaman rumput kolonjono, gliricide, lamtoro dan turi di pematang sawah milik anggota maupun di Daerah Aliran Sungai (DAS),  memanfaatkan limbah pertanian (rendeng kedelai, kacang tanah dan jerami padi), memanfaatkan hasil sampingan panen padi yaitu katul dan membuat casapro untuk pakan penguat, melayani penjualan konsentrat jadi bagi anggota kelompok.
      2. Usaha perbibitan, dengan memanfaatkan seratus persen IB bagi anggota kelompok yang akan mengawinkan induk sapi potong.
      3.   Usaha obat/vaksin, yakni  menjual obat-obatan sederhana yang dibutuhkan anggota seperti obat cacing dan  membuat obat tradisional dari biji lamtoro.
(b)  di aspek on-farm,  berupa:
upaya mengembangkan dan memantapkan kelembagaan kelompok.  Mulai dari merapihkan struktur kelompok, memantapkan pengurus kelompok, mendeskripsikan tugas pokok pengurus, membina anggota kelompok, membantu merapihkan macam administrasi kelompok dan mengefektifkan pelaksanaan kerja kelompok.  Memberikan pelatihan di proses produksi, seperti pemilihan bibit, proses reproduksi, pengelolaan pakan, sistem perkandangan, pengendalian dan pencegahan penyakit, pembinaan aktivitas dan ragam usaha kelompok, serta meningkatkan SDM kelompok dengan mengadakan penyuluhan, studi banding, pelatihan, simposium insap (intensifikasi sapi potong) dan  mengikuti pameran (pekan nasional).  Pemeliharaan  sapi potong di kelompok Sedyo Rukun dipadukan dengan budidaya tanaman pangan, dimana kotoran sapi sebagai hasil sampingan diolah menjadi pupuk kompos sehingga kotoran sapi yang sebenarnya merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman pangan. Sedangkan limbah dari tanaman pangan berupa rendeng kedelai dan kacang maupun jerami dapat disimpan sebagai tendon pakan alternatif yang akan dimanfaatkan pada saat musim kemarau. 
(c)  aspek agribisnis hilir, berupa:
      1.   Usaha penanganan pasca panen, dengan melakukan pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk fine compos yang dilaksanakan oleh masing-masing anggota.
      2.   Usaha pemasaran hasil, dengan mengkoordinir pemasaran sapi bakalan maupun induk afkir milik masing-masing anggota, dimana bagi anggota yang melakukan penjualan ternak dikenai iuran penjualan sebesar Rp. 10.000,00.
(d) aspek penunjang, dilakukan kegiatan berupa:
      upaya penguatan modal kelompok melalui iuran anggota setiap menjual sapi dan mencarikan sumber bantuan modal pinjaman bergulir (misalnya bantuan dari dinas perekonomian Kabupaten Gunung Kidul, pinjaman lunak dari PT Dana Reksa).
Untuk Kabupaten Sukohardjo dipilih kelompok peternak sapi potong “Subur” yang berlokasi di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto.  Desa ini memiliki luas wilayah 441,7840 Ha, terdiri dari 256,7230 Ha lahan sawah, 53,8750 Ha tegalan, 119,5845 Ha lahan pekarangan dan permukiman, 11,6015 Ha berupa jalan, sungai dan kuburan.  Suhu udara rata-rata dan curah hujan pertahun mirip dengan Desa Ngalang di Kabupaten Gunung Kidul.  Secara administratif desa bertopografi datar ini berbatasan dengan Desa Wonorejo dan Desa Jatiroso di sebelah utara, di sebelah selatan dengan Desa Godog, di sebelah barat Desa Bakalan dan di sebelah timur dengan Desa Polokarto dan Rejosari.
Usahaternak sapi potong kelompok tani ternak Subur di Desa Mranggen adalah usaha perbibitan dan kereman/penggemukan, dengan usaha pendukung pembuatan hijauan pakan ternak, pengolahan air kencing, pengadaan sapronak dan obat-obatan/ vaksin, pengolahan hasil ternak. Usaha lainnya berupa tani padi, tani melon, empon-empon (bahan baku jamu gendong) dengan memanfaatkan pupuk kompos (kotoran sapi).
Jumlah penduduk Desa Mranggen saat ini ada sebanyak 2.189 KK dengan jumlah jiwa 8.413 orang yang terdiri atas 4.051 laki-laki dan 4.362  orang perempuan. Gambaran jumlah penduduk  berdasarkan umur dan jenis kelamin tersaji pada Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9.     Distribusi penduduk Desa Mranggen menurut
umur dan jenis kelamin
Kelompok Umur
(Tahun)
Laki-laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
0   -  6
601
688
1.289
15,32
7   - 12
670
745
1.415
16,82
13 – 15
342
329
671
7,98
16 – 24
631
708
1.339
15,92
25 – 40
669
686
1.355
16,10
> 40
1.138
1.206
2.344
27,86
Total
4.051
4.362
8.413
100,00

Sumber: Monografi Desa Mranggen, 2005.

Sedangkan distribusi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan, seperti yang tersaji pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar (hampir 58 persen) mata pencaharian penduduk Desa Mranggen adalah bertani sebagai buruh tani, menyusul petani peternak sekitar 32 persen (624 kepala keluarga petani dan 82 kepala keluarga peternak).  Sepuluh persen sisanya bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, jasa pengangkutan/montir, PNS dan pensiunan.

Tabel 10. Macam pekerjaan penduduk Desa Mranggen per kepala keluarga
Jenis Pekerjaan
Jumlah
(KK)
Persentase
(%)
Petani Peternak
706
32,25
Buruh tani
1.259
57,51
Pedagang
34
1,55
Jasa Pengangkutan, montir
32
1,47
Pengrajin
20
0,91
PNS
106
4,84
Pensiunan
32
1,47
Total
2.189
100,00

Sumber: Monografi Desa Mranggen, 2005.

Adapun sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Desa Mranggen adalah lima  buah taman kanak-kanak, tujuh unit SD  dan dua SLTP, ditambah 19 unit lembaga pendidikan keagamaan. Memiliki sarana telepon umum dan layanan wartel serta tv umum. Termasuk satu televisi umum yang ditarok di kelompok, pesawat televisi hadiah dari Ibu Presiden sebagai Juara tingkat Nasional Lomba Kelompok Tani Ternak bidang Agribisnis Peternakan tahun 2003. Jumlah pesawat televisi di Desa Mranggen ada sebanyak 756 unit, 2.157 buah radio, 62 sepeda, 105 motor, 21 mobil dan empat buah truk.
Populasi ternak di Desa Mranggen sendiri meliputi 1.029 ekor sapi potong, 15.250 ekor ayam ras, 3.396 ekor ayam kampung, 2.210 ekor bebek/itik, 489 ekor domba dan 310 ekor kambing.  Ketersediaan hijauan pakan ternak (HPT) sangat mendukung, di antaranya kebon pakan ternak (rumput gajah, king grass dan setaria) yang ditanam di tanah Kas Desa seluas dua hektar dengan produksi HMT sekitar 20 ton per hektar, cukup banyak limbah pertanian yang belum termanfaatkan (jerami padi, pucuk tebu, tebon dan rendeng/daun kacang tanah, daun ketela, daun jagung), lahan sekitar sawah yang subur telah digunakan untuk penanaman rumput, lamtoro, turi dan gamal.
Pada awal dibentuk kelompok dengan nama Kelompok Tani Ternak Subur pada tahun 1998 memiliki 25 orang anggota.  Kini, telah berkembangan menjadi 40 orang, tetapi yang aktif dan dapat ditemui saat dilaksanakan penelitian hanya 33 orang.  Jumlah pemilikan ternak juga berkembang dari 104 ekor, kini menjadi 308 ekor dengan skala kepemilikan ternak per anggota 5-9 ekor.  Pertemuan rutin kelompok setiap 35 hari sekali (selapanan) setiap hari Minggu Kliwon merupakan modal sosial bagi masyarakat di lokasi penelitian, termasuk aktivitas pengajian.
Berkat ketekunan, keingintahuan, keuletan dan mengutamakan gotong royong dari anggota kelompok serta adanya bimbingan dari Dinas /Instansi terkait dalam hal ini Sub Dinas Peternakan Sukoharjo dan KCD Peternakan, PPL dan Mantri Hewan Polokarto, maka kelompok tani ternak Subur mengalami kemajuan dari berbagai segi antara  lain kelompok telah mengelola ternaknya dengan sistem agribisnis.  Kelas kelompok juga mengalami peningkatan dari kelas Pemula (11 Januari 1999) menjadi Lanjut (12 Januari 2000), lalu meningkat menjadi Madya (15 Januari 2001) dan dikukuhkan menjadi kelas Utama pada tanggal 7 Januari 2002.
Semua anggota kelompok “Subur” telah menjadi anggota KUD Sukodono yang berada di Desa Wonorejo Kecamatan Polokarto.  Prestasi kelompok yang telah diraih dalam mengimplementasikan pengembangan kawasan terpadu agribisnis sapi potong di antaranya adalah:
(a) di aspek agribisnis hulu, berupa:
      1.   Usaha pakan, baik hijauan maupun konsentrat dihasilkan dari kelompok sendiri.  Hijauan pakan ternak dipenuhi dari kebun bibit HPT kelompok, lahan pekarangan, lahan tegalan masing-masing anggota, lahan Kas Desa dan turus jalan.  Hijauan pakan ternak yang diberikan berupa hijauan segar, kering maupun pakan olahan seperti: hay, silase, amoniasi jerami dan teknologi pakan UMMB (urea mollases multinutrition Block) atau permen sapi.  Formulasi yang dipakai untuk membuat UMMB adalah sebagai berikut: mollases/tetes 5 kg, onggok 1,75 kg, bekatul 2,5 kg, bungkil kedelai 0,75 kg, kapur 1,25 kg, urea 0,6 kg, garam 1 kg dan mineral laktat 0,125 kg.    Konsentrat yang diberikan pada sapi berasal dari produksi kelompok sendiri yang diolah di pabrik pakan mini kelompok, dengan bahan baku lokal berupa bekatul, onggok/gemblong, tepung jagung, tetes, bungkil kelapa dengan komposisi sebagai berikut: bekatul 39%, bungkil kelapa 18%, tepung jagung 18%, onggok 22%, urea  dan garam masing-masing satu persen, mineral/kapur dan tetes masing-masing 0,5%.  Sedangkan bahan baku non-lokal (bungkil kelapa sawit) disuplai dari PT Sempulur dengan kerjasama kemitraan. Konsentrat yang diproduksi oleh kelompok Subur sejak November 2001 ini selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri juga dijual kepada peternak luar anggota. 
      2. Usaha perbibitan, di kelompok Subur berasal dari produksi kelompok, yakni dengan memelihara induk yang dikawinkan dengan pejantan unggul (Simmental, Limousin, Brahman, Brangus) melalui inseminasi buatan/IB. Untuk meningkatkan mutu genetik ternak kelompok melakukan sistem perbibitan dengan pencatatan (recording), seleksi, pengafkiran dan peremajaan.  Pemilihan bibit sapi dengan seleksi induk yang sesuai dengan kriteria bibit. Untuk meningkatkan conception rate (tingkat kebuntingan) beberapa hal telah dilakukan seperti pemahaman tanda-tanda berahi, pemahaman saat yang tepat untuk IB, pemeriksaan kebuntingan dan alat reproduksi secara rutin.  Seleksi pedet hasil IB yang baik digunakan untuk bibit dan yang kurang baik diafkir untuk dijual atau digemukkan dulu baru dijual. Skala usaha per anggota di kelompok tani ternak sapi potong Subur berkisar 5-9 ekor per kepala keluarga (KK).
      3.   Usaha obat/vaksin, dilakukan kelompok bekerjasama dengan UPTD Poskeswan Dinas Pertanian yang menyediakan obat dan vaksin antara lain: obat cacing (piperazine, pipedon bollus),  vitamin (B12, B Compleks, B1, ADE) bioselamin, hematopan, gusanex, super killer (obat lalat), ivomex, antibiotik, antihistamin (delladryl) starbio dan lain-lain.  Pengobatan secara rutin berupa vaksinasi massa setiap tiga bulan sekali dilakukan kelompok bekerjasama dengan dinas peternakan sekaligus dilaksanakan pesta patok ternak.
(b)  di aspek on-farm,  berupa:
upaya mengembangkan sistem budidaya dalam bentuk satu kawasan kandang kelompok, di samping masing-masing anggota juga mempunyai kandang individu di lahan pekarangan rumah.  Pemeliharaan  sapi potong di kelompok Subur dipadukan dengan budidaya tanaman pangan, dimana sekitar lokasi kelompok tersebut ada sawah dengan sistem pengairan teknis yang dapat ditanami sepanjang tahun.  Kotoran sapi sebagai hasil sampingan diolah menjadi pupuk kompos sehingga kotoran sapi yang sebenarnya merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman pangan. Sedangkan limbah dari tanaman pangan yang berasal dari penggilingan padi, sisa ampas pembuatan tepung tapioka dan penggilingan  jagung juga dijadikan pakan sapi.  Di samping itu lahan di sekitar rumah merupakan lahan yang sangat cocok untuk ditanami rumput dan tanaman tahunan sebagai sumber pakan sapi. 
Air di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto tersedia cukup melimpah, yang berasal dari air permukaan dan air dalam tanah (sumur) yang tersedia sepanjang tahun. Air tersebut digunakan untuk kebutuhan keluarga, persawahan, peternakan dan lain-lain.
 (c) aspek agribisnis hilir, berupa:
      1.   Usaha penanganan pasca panen, dengan melakukan penjualan hasil ternak berupa ternak sapi (lokasi kelompok dekat dengan Pasar Hewan Bekonang), penjualan daging (ada anggota yang menjadi jagal) dan mengolah hasil produksi ternak sapi antara lain pembuatan kripik paru, dendeng, kripik kulit yang dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani Subur.  Limbah kotoran ternak dan sisa pakan diolah menjadi pupuk kompos/organik dengan menggunakan EM4 atau Stardex menjadi bokasi dan fine compos.   Mengolah air kencing menjadi pupuk berkualitas tinggi. Usaha pembuatan pupuk kompos mulai dirintis tanggal 1 Januari 2003, sedangkan fermentasi air kencing dilakukan pada tanggal 29 Januari 2003.  Dengan adanya pengolahan pupuk kandang dan air kencing sangat mendukung usaha lain kelompok, yaitu berupa usahatani padi, hortikultura (seperti melon dan sayuran), rumpun tanaman empon-empon sebagai bahan baku jamu gendong.
      2.   Usaha pemasaran hasil, yang dikelola oleh seksi pemasaran kelompok tani ternak sapi potong Subur antara lain: (a) penjualan obat-obatan/vaksin dan sapronak melalui Kios Sapronak, (b) penjualan sapi berupa pedet,  induk afkir dan bakalan, (c) penjualan sapi kereman, (d) penjualan konsentrat, (e) penjualan pupuk organik dan (f) penjualan air kencing yang telah difermentasi.
(d) aspek penunjang, dilakukan kegiatan berupa:
      Upaya penguatan modal kelompok melalui iuran anggota, keuntungan usaha kelompok, jasa pelayanan IB, jasa pelayanan kesehatan, fee penjualan ternak dan fee pembelian bahan baku.  Melakukan kegiatan kemitraan dengan (1) PT Sempulur Desa Mranggen, Polokarto untuk pengadaan bahan baku non-lokal konsentrat (bungkil kepala sawit), dimana kelompok mendapat fee dari PT Sempulur sebesar Rp. 25,-/Kg setiap pengadaan bungkil kelapa sawit tersebut; (2) PT INI (suplayer peternakan) dan jagal lokal, setiap penjualan sapi kereman anggota kelompok memberikan jimpitan kepada kelompok sebesar Rp. 5.000,-/ekor sedangkan dari PT INI memberikan fee sebesar Rp. 10.000,- per ekor ke kelompok, (3) PT TOA (Pabrik Pupuk Kompos) Kecamatan Polokarto dalam hal pemasaran bahan baku dan pupuk kompos. Setiap penjualan pupuk kandang peternak memberikan jimpitan ke kas kelompok sebesar Rp. 5,-/Kg, demikian pula setiap pembelian pupuk kandang PT TOA memberikan fee ke kelompok sebesar Rp. 5,-/Kg; (4) CV Lembah Hijau Multi Farm Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo dalam hal pengadaan Starbio, Stardex maupun penjualan pupuk kompos. Setiap pembelian produk dari CV Lembah Hijau Multi Farm, maka kelompok mendapatkan fee sebesar 10 persen.  Saham kelompok tani ternak Subur di PT Sempulur pada tanggal 1 Januari 1999 sebesar 50 juta rupiah.

Karakteristik Peternak Sapi Potong

            Hasil analisis peubah-peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas karakteristik personal peternak sapi potong disajikan dalam Tabel 11.  Sesuai dengan hipotesis sebelumnya, ada tiga peubah karakteristik yang dianalisis derajat hubungan dengan peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, yakni tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa.
Tabel 11.   Sebaran responden berdasarkan karakteristik personal di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen)


Jenis
Peubah

Kategori
Kelompok Kurang maju
Kelompok Maju

Gabungan
Cisitu
Surade
Total
Gedang
 sari
Polo-
karto
Total
Umur

< 31 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
> 60 tahun
9,38
25,00
21,88
28,12
15,62
10,00
20,00
26,67
20,00
23,33
9,68
22,58
24,19
24,19
19,36
10,00
30,00
16,67
20,00
23,33
3,03
33,34
30,30
27,27
6,06
6,34
31,75
23,81
23,81
14,29
8,00
27,20
24,00
24,00
16,80
Pendidikan
Formal
  Tak sekolah/
tak lulus SD
SD
SMP/SMA

6,25
87,50
6,25

40,00
46,67
13,33

22,58
67,74
9,68

0,00
43,33
56,67

33,33
51,52
15,15

17,46
47,62
34,92

20,00
57,60
22,40
Banyaknya
Kursus yg
Diikuti
Tidak pernah
Sedikit (1-2)
Banyak(> 3)
12,50
84,38
3,12
73,34
23,33
3,33
41,94
54,84
3,22
23,33
53,33
23,34
0,00
96,97
3,03
11,11
76,19
12,70
26,40
65,60
8,00
Pemilikan
Media Massa
Tidak punya
Punya 1
Punya 2
Punya > 3
15,63
15,63
62,50
6,24
23,33
20,00
50,00
6,67
19,36
17,74
56,45
6,45
0,00
6,67
83,33
10,00
0,00
3,03
87,88
9,09
0,00
4,76
85,71
9,53
9,60
11,20
71,20
8,00
Status Ekonomi
Rp < 55 juta
Rp 55-110 juta
Rp>110 juta
90,63
9,37
0,00
66,67
23,33
10,00
79,03
16,13
4,84
26,67
26,67
46,66
48,48
30,30
21,22
38,10
28,57
33,33
58,40
22,40
19,20
n

32
30
62
30
33
63
125

Rataan umur responden peternak sapi potong adalah 47,43 tahun dengan kisaran antara 20-77 tahun. Proporsi terbesar dari para peternak sapi potong di kelompok maju ternyata umurnya antara 31-40 tahun atau relatif muda dan energik, sedang di kelompok kurang maju berada pada kisaran umur 41-50 tahun dan 50-60 tahun (muda sampai menjelang tua).  Bahkan Tabel 11 mengungkapkan bahwa proporsi yang berumur di atas 60 tahun lebih besar pada peternak kelompok kurang maju (sekitar 19%) dibandingkan dengan di kelompok maju (hanya 14%).  Secara keseluruhan, peternak sapi potong ini dominan berumur antara 31-40 tahun (27%), menyusul masing-masing sekitar 24 persen berumur 41-50 tahun dan 51-60 tahun. Ini berarti umur peternak tergolong masih muda dan masuk kategori usia produktif untuk melakukan aktivitas usahaternak sapi potong yang penuh dinamika, menuntut kerja keras dan keberanian mengambil resiko.
            Peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini sebagian besar (hampir 58%) berpendidikan Sekolah Dasar (SD/sederajat).  Kecenderungan yang sama juga tampak pada peternak dari status kelompok kurang maju dan maju (Tabel 11), hanya saja untuk peternak dari status kelompok kurang maju proporsi kedua terbesar (hampir 23%) adalah berpendidikan tidak tamat SD atau tidak pernah sekolah, baru kemudian berpendidikan formal sekolah lanjutan (hampir 10%).  Sedangkan peternak dari kelompok maju proporsi kedua terbesar (hampir 35%) berpendidikan sekolah lanjutan (SMP/SMA). Bahkan di kelompok peternak “Sedyo Rukun” Desa Gedangsari tak satupun anggota kelompok yang tidak bersekolah/tidak tamat SD, sebagian besar (hampir 57%) peternak di kelompok status maju ini berpendidikan sekolah lanjutan.  Jadi, terlihat bahwa tingkat pendidikan formal peternak sapi potong pada kelompok maju relatif lebih tinggi dibandingkan dengan peternak sapi potong kelompok kurang maju.  Kedepan memang dituntut peternak yang masih muda dan dengan tingkat pendidikan menengah bahkan sarjana, sehingga dapat lebih mudah mengadopsi inovasi serta mengimplementasikan teknologi dan bisnis peternakan sapi potong.  Menghadapi tantangan globalisasi (pasar bebas) beberapa tahun mendatang, tentulah dituntut peternak-peternak yang mampu bersaing dan disandingkan dengan peternak-peternak bangsa asing.  Untuk itu, dibutuhkan peternak yang memiliki jiwa dan sikap entrepreneurship atau wawasan bisnis yang optimal, memiliki daya juang yang tinggi, dinamis, inovatif, kreatif, tekun dan ulet.
Pendidikan non-formal yang dimiliki para anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah berupa kegiatan yang dilakukan peternak untuk menambah wawasan dan pengalaman di luar pendidikan formal.  Pada Tabel 11 diungkapkan bahwa sebagian besar (hampir 66 persen) responden telah mengikuti kursus atau pelatihan-pelatihan di bidang pertanian/peternakan maupun di luar pertanian seperti kewirausahaan dan koperasi sebanyak satu atau dua kali. Peternak kelompok maju cenderung mengikuti kursus/pelatihan maupun penyuluhan lebih banyak daripada peternak-peternak kelompok kurang maju.  Malahan tidak ada satupun peternak maju kelompok tani ternak Subur di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto yang tidak pernah ikut kursus penyuluhan.  Hampir 97 persen responden anggota kelompok tani ternak Subur tersebut telah mengikuti satu sampai dua kali pelatihan dan kursus-kursus.
Bila diamati lebih mendalam, ternyata antara peternak kelompok maju dan kurang maju tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam banyaknya kursus yang telah diikuti selama ini. Peternak sapi potong di kedua kelompok tersebut umumnya menyatakan bahwa pernah mengikuti kursus atau pelatihan, yakni peternak kelompok kurang maju sekitar 58% dan peternak maju 89 persen.
Adapun macam kursus yang cenderung dominan diikuti oleh peternak kelompok kurang maju adalah tanaman pangan (hampir 39 persen), menyusul budidaya ternak sapi (sekitar 37 persen), SLPHT (hampir 22 persen) serta masing-masing sekitar tiga persen ikut kursus koperasi dan pelatihan pakan.  Sedangkan peternak kelompok maju hampir seluruhnya (97%) sudah ikut kursus budidaya ternak sapi potong, bahkan ada yang sampai dua atau tiga kali ikut kursus lainnya. Kursus dominan berikutnya yang diikuti peternak maju seperti tersaji pada Gambar 5 ialah SLPHT (32 persen), menyusul kursus lain-lain (30 persen) seperti kursus alsintan, kehutanan dan lingkungan hidup, kelompok dan KSM, mitra cai serta beternak domba. Lalu, kursus koperasi (21 persen), membuat atau menyusun ransum pakan komplit (hampir 16%) dan kursus tanaman pangan (hampir 13%).
 
            Gambar 5.  Diagram kolom macam kursus yang pernah diikuti

Secara Gabungan dapat dilihat pada Gambar 5, bahwa macam kursus yang dominan (sekitar 66%) diikuti responden ialah kursus budidaya beternak sapi potong termasuk yang berkaitan dengan perbibitan, produksi dan reproduksi/IB hingga pembuatan kompos,  menyusul SLPHT/Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (sekitar 31 persen),  pelatihan tanaman pangan (sekitar 29%), perkoperasian (hampir 10%), pakan (sekitar delapan persen) termasuk membuat silase, amoniasi jerami dan konsentrat.  Ada sekitar 15 persen ikut penyuluhan lain-lain.
Sama seperti peubah “banyaknya kursus yang diikuti oleh peternak,” pada peubah kepemilikan media massa pun terlibat bahwa baik peternak kurang maju maupun maju  sama-sama dominan sudah memiliki media massa. Pada kelompok kurang maju hampir 80 persen peternak yang punya media massa di rumahnya dan pada peternak maju seluruhnya pada memiliki media massa. Berarti, tidak terdapat perbedaan kepemilikan media massa di antara peternak kelompok kurang maju dan maju. Distribusi anggota kelompok peternak menurut pemilikan media massa (radio, televisi, telepon/Hp, berlangganan koran dan majalah) disajikan pada Tabel 11.  
Pada kelompok kurang maju baik Cisitu maupun kelompok Surade, kelompok maju Gedangsari dan Polokarto, keempat-empatnya memiliki  proporsi terbesar kepemilikan media massa berada pada anggota kelompok yang mempunyai dua macam media massa. Artinya kepemilikan tersebut masih dalam kategori umum yang terjadi di masyarakat, yakni hanya memiliki radio atau televisi saja, atau punya keduanya.  Secara gabungan, terdapat sekitar 71 persen peternak yang masuk kategori memiliki dua macam media massa, 11 persen yang memiliki satu macam media massa (hanya radio atau televisi saja) dan hanya delapan persen peternak yang memiliki tiga atau lebih media massa, yakni kombinasi radio, televisi, Telepon/Hp, berlangganan suratkabar maupun majalah.  Selebihnya, sekitar sembilan persen anggota kelompok peternak yang sama sekali tidak memiliki media massa di rumahnya. Meski demikian para peternak tersebut menyatakan, bahwa mereka tetap suka menonton televisi atau mendengar radio bersama di rumah sanak keluarga atau menumpang di tetangga.    Pada Tabel 11 lebih jauh terungkap, bahwa pada kelompok kurang maju terdapat sekitar 19 persen peternak yang tidak memiliki media massa dan yang terbesar (23%) adalah di Surade. Ini disebabkan lokasi kelompok Banjaran yang berada di dataran tinggi yang sulit mengakses siaran televisi.  Siaran televisi yang bisa ditangkap di Surade hanya tiga, yakni RCTI, SCTV dan Indosiar dan itupun memerlukan bantuan antena parabola, karena stasiun relay televisi hanya ada di Cibungur yang jaraknya hampir tujuh km dari lokasi kelompok. Siaran dari stasiun lain, termasuk TVRI kurang jelas tertangkap.
 Macam media massa yang dimiliki para peternak kelompok sapi potong dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.

            Gambar 6. Diagram kolom kepemilikan media massa
Diagram kolom (columns diagram) pada Gambar 6 menunjukkan bahwa macam media massa yang hampir dimiliki semua peternak adalah televisi (sekitar 87%) dan radio (76%), sedangkan media massa lainnya sedikit sekali responden yang memiliki, seperti handphone (delapan persen), telepon rumah dan suratkabar (masing-masing mendekati enam persen) dan berlangganan majalah (hampir lima persen).  Perbedaan yang jelas terlihat antara kelompok maju dan kurang maju dalam kepemilikan media massa adalah peternak di kelompok maju lebih banyak yang mempunyai pesawat televisi, telepon, berlangganan suratkabar dan majalah, sedangkan kepemilikan pesawat radio lebih sedikit dibandingkan dengan peternak-peternak di kelompok kurang maju Kelas ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong diukur berdasarkan tingkat kekayaan yang dimiliki keluarga peternak tersebut yang dilihat dari nilai asset benda-benda materiil dan pskologis yang seringkali sangat berpengaruh pada penguasaan ekonomi (Rossides, 1978), baik berupa tanah (sawah, kebon dan sebagainya), rumah, ternak, alsintan, modal usaha, tabungan dan deposito, sarana komunikasi dan telekomunikasi, sarana transportasi dan perabotan rumah tangga.
Dari data kumulatif tentang tingkat kekayaan ini, lebih lanjut dapat dibuat kelas atau kategori, yang menurut Warner dan Lunt (1941) sebagai upaya membuat peringkat (hierarchy class) dengan komposisi mulai dari upper-upper class sampai ke lower-lower class.  Dengan menggunakan statistik “the boxplot” upaya menentukan peringkat dapat dilakukan, termasuk mengkategorikan peubah kelas ekonomi bagi peternak anggota kelompok ternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini.

 


















           Gambar 7.  Diagram  kotak garis  kelas ekonomi  peternak  per kelompok amatan
Hasil olahan boxplot seperti yang disajikan pada Gambar 7 terlihat bahwa terdapat empat responden yang memiliki nilai rasio status/kelas ekonomi yang sangat tinggi yakni responden nomor 16 di Gedangsari, nomor 53 dan 59 di Polokarto serta  responden nomor 81 di Cisitu adalah data pencilan, sehingga tidak diikutkan dalam penghitungan rata-rata.  Pertimbangan tidak diikutkannya data pencilan tersebut, karena nilai rataan sangat dipengaruhi oleh nilai ekstrem.   
Kelas ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong seperti terlihat pada Tabel 11 menunjukkan, bahwa sebagian besar (sekitar 79%) peternak kelompok kurang maju tergolong rendah, yakni yang memiliki tingkat kekayaan  kurang dari 55 juta rupiah,  sekitar 16% tergolong peternak berstatus ekonomi kategori sedang dengan kisaran tingkat kekayaan 55 sampai 110 juta rupiah dan hanya lima persen  peternak berstatus ekonomi yang tinggi di atas 110 juta rupiah.  Bahkan tidak ada satupun anggota kelompok peternak Cisitu tergolong kelas ekonomi tinggi.  Hal ini kontras sekali dengan anggota kelompok peternak maju yang sebagian besar merupakan para peternak berstatus ekonomi sedang sampai tinggi (hampir 62%) dan sekitar 38 persen sisanya ialah peternak dengan kelas ekonomi rendah.  Terdapat perbedaan kelas ekonomi peternak sapi potong di kelompok maju dan kurang maju, tentunya berimplikasi pada pelapisan masyarakat yang tentunya membawa prestise tersendiri atau gengsi bagi peternak tersebut.
Secara gabungan terlihat, bahwa lebih dari separuh peternak sapi potong masuk kategori kelas ekonomi rendah, sekitar 22% kategori sedang dan sekitar 19% sisanya masuk kelas ekonomi tinggi.
Bila dikaitkan dengan tingkat pendapatan para peternak tersebut yang diukur berdasarkan besar pengeluaran keluarga selama sebulan terakhir, ternyata klaster kelas ekonomi di atas tidak begitu berpengaruh dengan tingkat pendapatan.  Dimana terlihat secara gabungan pada diagram palang bersusun Gambar 8 mendeskripsikan, bahwa peternak sapi potong yang berpendapatan kecil hanya mencapai 34 persen, malah yang terlihat dominan (sekitar 51%) adalah peternak dengan pendapatan sedang (berkisar antara Rp 750 ribu sampai Rp 1.500.000,-), sedangkan yang berpendapatan besar di atas satu setengah juta rupiah sekitar 15 persen.

Gambar 8.    Diagram palang bersusun sebaran peternak berdasarkan tingkat pendapatan per bulan

Rata-rata pendapatan keluarga peternak sapi potong secara gabungan adalah satu juta rupiah sebulan. Rata-rata pendapatan anggota dari dua kelompok peternak maju berada pada kategori sedang, dengan rataan pengeluaran per bulan sebesar Rp. 894.500,- untuk Gedangsari dan Rp. 1.040.200,- untuk Polokarto. 
Pada kelompok kurang maju rataan pendapatannya sangat variatif.  Rataan pengeluaran peternak kelompok Surade masuk kategori tinggi (Rp. 1.407.370,-).  Sedangkan peternak kelompok Cisitu berada pada kategori  rendah, sekitar Rp. 894.500,-  per bulan.  
Walaupun demikian ada seorang responden kelompok Cisitu yang memiliki tingkat pendapatan yang sangat tinggi (hampir 2,5 juta rupiah per bulan), yakni  responden nomor 81.  Responden ini adalah pencilan dan tidak diikutkan dalam penghitungan rata-rata pada analisis boxplot tingkat pengeluaran per bulan, yang dapat dilihat  pada Gambar 9 berikut.